2. "Kamu taken sama anak tante aja gimana? Gratis kok, nggak perlu nyewa dulu."

2.6K 201 9
                                    

Wanita dengan setelah ala anak kuliahan yang masih menempel sejak pagi itu menghembuskan nafas lelah, meletakkan barang bawaannya di lantai, lalu merebahkan tubuh di sofa. Rasa-rasanya hari ini ia ingin pingsan saja, agar tak bertemu dengan Bapak Awan Wawan Bakwan terhormat. Haish! Mengingatnya saja membuat wanita itu menggeram kesal. Setumpuk makalah dan sifat kejamnya berhasil membuat Pak Awan otomatis masuk dalam daftar hitam milik wanita itu. Ingat baik-baik! Pak-Awan-masuk-dalam-daftar-hitamnya.

"Argh!" Nia mengusap wajahnya kasar. Bayangan kejadian siang tadi saat dirinya menyerahkan makalah pada Pak Awan benar-benar membuatnya frustasi.

"Kamu itu tau PUEBI nggak?" Sinisnya saat ia baru saja membuka lembar pertama dari makalah.

"I-iya, pak." Wanita itu menelan saliva susah payah, mengingat cara kerjanya yang asal-asalan tadi. Asal tumpuk, beres.

"Kamu SD berapa tahun, hah?" Pak Awan mengetuk-ngetuk bolpoin nya ke meja.

"Enam tahun, pak."

"Yakin enam tahun?" Salah satu alis Pak Awan terangkat, menatap Nia dengan terang-terangan. Apalagi mimik wajahnya, seperti... menghinanya?

Nia mengangguk dalam. Wajahnya, ia tundukkan dalam, tak berani menatap mata Pak Awan secara langsung.

"Saya rasa kamu berbohong."

"Lihat ini, baris pertama saja PUEBI-mu sudah salah. Penggunaan koma, ini juga penggunaan huruf kapital salah. Kayak gitu kamu ngaku lulus SD?" Pak Awan menatapnya tajam.

"Nggak malu sama ijazah kamu? Ck! Kalau guru SD kamu tahu, pasti beliau sudah malu sekali punya murid seperti kamu. Bikin makalah aja nggak becus. PUEBI salah, ketikan nggak rapi, nulis asal-asalan. Sebenernya keahlian kamu itu apa, hah?" Lanjutnya.

Wanita yang sejak tadi menunduk itu mengetatkan rahagnya, berusaha menelan mentah semburan naga dari lelaki dihadapannya itu dengan lapang dada. Ia memejamkan mata. Perih rasanya saat kerja kerasmu sama sekali tak di hargai. Ralat, bukan hanya tak di hargai, tapi di caci maki!

"Oh, saya tahu apa keahlian kamu." Pak Awan tersenyum meremehkan.

"Murid teladan, kan? Terlambat datang, pulang duluan, eh?"

Dasar Awan Sialan!

🐐🐐🐐

Plak!

"Aduh!" Teriakan kesakitan terdengar melengking dari bibir gadis yang sejak tadi terlentang di sofa. Kakinya yang sejak tadi menggantung pada sandaran sofa otomatis turun kebawah. Tubuhnya reflek menegak saat tahu siapa gerangan yang melakukan tindak kekerasan padanya.

"Kamu itu cewek. Bangun! Nggak patut cewek tiduran di sofa, mana kakinya naik ke ataa lagi. Bangun!" Nia mencebik kesal. Tangannya mengusap lengan bekas tampolan Ibunya. Mana langsung memerah lagi, ck, panas pula.

"Hish! Sakit, bu." Sungutnya sebal. "Nia baru aja rebahan, udah di suruh bangun. Nia capek, bu." belum habis kekesalannya, wanita itu malah ganti merengek.

"Kamu itu nggak ada kerjaan lain apa? Kerjaannya cuma rebahan terus." Balas ibu, tak memerdulikan rengekan putrinya.

Nia berdecak kesal. Tubuhnya langsung melorot ke lantai saat tahu ibunya duduk di lantai. Sekesal apapun Nia pada ibu, sopan santun tetap nomor satu. Itu yang selalu diajarkan ibunya dulu. "Rebahan itu termasuk pekerjaan, ibuku. Saat rebahan kita berusaha untuk merilekskan badan," Alibinya. "Nggak gampang tahu!"

"Halah! Kamu tiap hari kerjaannya cuma rebahan mulu. Kalo kata anak twitter nih, kamu itu termasuk kaum rebahan." Ibu menoyor kepala Nia pelan.

Kembali mendapat tindak kekerasan, wanita itu memberengut kesal. Astaga! Jika saja yang melakukan bukan ibunya, sudah dipastikan ia akan melapor pada polisi atas tuduhan penganiayaan dan tindak kekerasan. "Ya biarin. Malah enak, kerjaannya rebahan mulu. Surga dunia."

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang