15. "Jangan-Jangan Kamu Suka Aku?"

177 13 1
                                    

Harum kokoa memenuhi balkon kamar Rania. Secangkir coklat panas mengepul tersaji, baru saja diseduh dengan toping whipped cream kesukaannya. Rasa legit dengan after taste pahit itu membuatnya candu. Baginya, rasa manis dan pahit itu lebih terasa seimbang jika dibandingkan dengan coklat panas yang menyisakan rasa manis saja. Sama seperti taste kehidupannya, manis namun akhir-akhir ini lebih dominan asam dan pahit. Tapi tak apa, setidaknya secangkir coklat panas ini mampu menghalau angin malam yang mulai merasuk hingga membuatnya merinding.

"Hiii," ia merapatkan cardigan, berusaha melindungi tubuh agar tak masuk angin. Besok pagi ia harus berangkat kuliah.

Sambil memetik asal gitar dipelukannya, mata gadis itu menelusur ke rumah tetangganya. Tumben sekali tetangganya itu tak datang menyambang. Sudah beberapa hari ini tetangganya itu sunyi senyap. Biasanya setiap malam Aryan akan datang berkunjung untuk menemani Rania begadang sampai subuh. Namun entah kenapa hingga hampir tengah malam lelaki itu masih belum kelihatan batang hidungnya. "Mati kali ya?" pikirnya.

"Nggak mungkin ah, masa segampang itu Aryan mati. Orang dia nabrak truk aja masih selamat," ucapnya diakhiri dengan kikikan. 

"Apa ngambek? Marah sama gue?" gadis itu sibuk berpikir hingga dahinya berkerut. "Jijay banget. Masa cowok ngambekan!" raut wajahnya kentara sekali menunjukkan rasa jijik sekaligus khawatir.

Gadis itu menyandarkan kepalanya pada tubuh gitar. "Telfon aja kali ya," tangannya melepaskan pegangan pada gitar, beralih menyaut telfon genggam di sampingnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk gitar , tak sabar menunggu panggilannya yang tak segera dijawab. "Sialan emang!" umpatnya saat Aryan malah menolak panggilannya.

"Apaan?" lelaki itu baru menjawab setelah dua kali percobaan. 

"Dimana?"

"Rumah."

"Nggak kesini?"

"Aku sibuk," astaga! sok ngartis sekali bujangan satu ini.

"Halah! Sok sibuk," ejeknya.

Terdengar kekehan di ujung sana, "Sibuk beneran aku," jawabnya.

"Sibuk apaan?

"Sibuk mikirin kamu," jawabnya disertai kekehen.

"Halah, udah cepetan kesini!" serunya kesal diakhiri aksinya menutup panggilan ssecara sepihak

Tak berselang lama, tetangga menyebalkannya itu akhirnya muncul. Langkahnya nampak pongah sekali, layaknya raja kikir di cerita-cerita legenda rakyat. "Cih, kebanyakan gaya kamu!" ejeknya saat Aryan baru saja menyentuh pagar.

Tangannya terkatup dengan mulut melebar, sebelum akhirnya bergegas menutup pagar. "Diam wahai rakyat jelata!" hardiknya.

Rania melemparkan tatapan mengejek. "Diam kawan, kita sama-sama mahasiswa jelata tak punya uang," tangannya bersedekap, seakan menutup diri untuk menerima kritikan lebih jauh.

Aryan paham, lelaki itu hanya mendengus sesaat lalu beringsut duduk di kursi kayu samping Rania. Keduanya dipisahkan oleh meja kecil tempat Rania menyimpan coklat panasnya. "Nih," Aryan melempar setumpuk kertas berbendel penuh tulisan ke atas meja. "Sesuai permintaan kamu,"

Rania melirik dengan minat, "Wah, secepat itu?" tangannya langsung bergerak menyusuri tiap lembar. Gadis itu sesekali menggumam saat sampai pada suatu paragraf, lalu mengangguk-angguk seakan tengah menilai sesuatu. "Oke, good. Thanks," serunya dengan mata berbinar.

Aryan mengangguk sebagai jawaban. Bahunya mengendur, bersandar pada tatakan kursi. Melirik coklat panas yang masih mengepul, tangannya tanpa permisi langsung mengambilnya lalu meneguknya hingga setengah. "Buat apa sih?" tanyanya kemudian.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang