3. "Menikahlah dengan saya."

2.2K 214 16
                                        

Merasakan sejuk yang menusuk kulit, gadis yang baru saja terjaga dari tidurnya itu kembali mengeratkan selimutnya. Embun-embun pada dedaunan dan sisa hujan tadi malam membuat suasana semakin temaram. Dingin yang menyapa membuatnya kembali mengantuk. Matanya mengerjap beberapa kali, merasa aneh karena rasanya kelopak matanya membengkak. Ah, benar juga, semalam kan dirinya menangis hebat sampai ketiduran. Tak dapat dipungkiri, hati ini terlalu sakit saat mendengar kabar pahit itu. Lagi dan lagi, ia mempertanyakan hal yang sama. Memangnya siapa dirinya hingga bisa menentukan kebahagiaan miliknya sendiri?

Rania ada untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Satu semboyan tersebut yang melekat erat pada diri Rania. Bukan tak mungkin, nyatanya selama 22 tahun hidupnya hanya ia habiskan dengan memenubi segala ekspektasi dari keluarganya. Rania harus ranking satu, Rania harus jadi anak berprestasi, Rania harus inilah, Rania harus itulah. Sampai-sampai untuk memenuhi ekspektasi dirinya saja ia angkat tangan. Apalagi kalau bukan kebebasan?

Baru saja ia melangkah di jenjang perkuliahan, dimana keluarganya menjanjikan kebebasan jika Nia mampu menembus fakultas keguruan di salah satu universitas ternama, kini dirinya kembali bergemul pada kenyataan bahwa keluarganya tak akan melepasnya begitu saja. Buktinya semalam dengan lantang ibunya meminta dirinya agar mau pedekate dengan anak lelaki Tante Yuli. Walau dengan lantang dan blak-blakan Nia menolak ide konyol ibunya, namun pada akhirnya gadis itu nurut juga. Terlalu sulit baginya menolak keinginan ibunya, entah karena efek galak ibunya, atau memang karena Nia yang terlampau menyanyangi ibu. Pun, mengingat ibunya yang ditinggal mati Bapak 7 tahun lalu membuat dirinya lebih ingin membahagiakan ibu. Yang paling penting adalah kebahagiaan ibu, senyum ibu, dan segalanya tentang ibu. Kebahagiaannya bisa nanti, menyusul.

Tak ingij semakin ruwet pikirannya, gadis itu memutuskan untuk segera bangkit merapikan tempat tidur. Melihat bantal yang masih basah oleh air mata bercampur air liur, gadis itu menghela nafas. Begini ya rasanya berkorban demj kebahagiaan orang lain. Ck, walau sebelum-sebelumnya ia juga pernah merasakan hal yang sama, tapi kali ini terasa sangat berbeda. Apalagi keputusan ibunya mengenai hal yang dirasa paling pribadi bagi Nia, pasangan. Lihat! Bahkan sampai pasangan sekalipun ia tak punya kuasa untuk menentukan pada siapa hatinya ia labuhkan.

Huh!
Seberapa ganteng sih 'calon suami'-nya hingga sampai membuat ibu kesengsem?

Setelah selesai merapikan tempat tidur, gadis itu beranjak menuju kamar mandi. Pagi ini perkuliahan pertama diisi oleh mata kuliah Pak Awan. Tentu saja ia tak ingin kembali terlambat untuk yang kesekian kalinya. Ya meskipun moodnya hari ini langsung kacau sejak bangun tidur, tapi tetap saja, ia tak ingin mengulang mata kuliah ini tahun depan.

Tubuhnya membeku sesaat kala menatap pantulan dirinya di depan wastafel. Mata membengkak dengan lingkaran hitam menjadi atensinya kali ini. Sepertinya peristiwa semalam benar-benar membawa efek besar baginya.

"Nggak, Nia nggak mau." Seru gadis itu lantang. "Nia bisa cari cowok sendiri, nggak perlu pake acara jodoh-jodohan segala!"

"Itu juga demi kebahagiaanmu nanti, Ni," balas ibu tak kalag sengit.

"Kebahagiaan apa? Kebahagiaan yang mana yang ibu maksud?" Tatapan Nia menajam sangking kesalnya, hingga tak sadar membuat nada suaranya naik berlipat kali. "Selama ini Nia nggak pernah sekalipun ngerasa bahagia," tandasnya.

Ibu mengerjap berulang kali. Sepertinya beliau terlampau kaget mendengar kalimat yang baru saja Nia lontarkan. Ada sedikit raut pias dalam wajah ibu, namun Nia tak menghiraukannya. Emosinya kali ini lebih berkuasa dari hati nurani.

"Ibu-" diam sejenak. Sorot mata ibu mulai sayu. "Ini semua demi menjamin kelangsungan hidup kamu di masa depan," pada akhirnya hanya kalimat paksaan yang meluncur dari bibir ibu, yang tentu saja membuat Nia semakin terbakar.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang