12. "Jadi pacarku?"

376 49 3
                                    

Telinga Aryan berdenging untuk waktu yang cukup lama. Seperti di hantam bongkahan batu besar, kepala lelaki itu tiba-tiba berdenyut nyeri. Ditambah lagi pandangan matanya mengabur, rasanya ia akan pingsan saat ini juga. Tapi kenyataan telak yang baru saja menghantamnya turut mengembalikan kesadarannya. Sedikit demi sedikit lelaki itu mulai bisa mengontrol tubuhnya meski hingga saat ini otaknya masih terlalu beku untuk mencerna segalanya.

"Lo-lo, dilamar?" tanyanya sampai tergagap sangking tak percayanya.

"Iya." Wanita itu mengangguk tenang. Kerlewat tenang untuk Aryan yang tengah mendapat serangan petir tiba-tiba seperti ini.

"Lo-" kalimatnya tertelan mentah-mentah saat menyadari hatinya mulai berdenyut nyeri. Memejamkan mata sesaat, lelaki itu mengumpat dalam hati, memaki keadaan jantungnya yang mendadak terasa mati.

'Sialan, sebenarnya gue kenapa?'

Rasa pening di kepala Aryan semakin bertambah pening kala memikirkan yang tengah menimpa dirinya. Mengapa hanya dengan berita pertunangan Rania mempu membuat tubuhnya bereaksi sefrontal ini.

"Sebentar-sebentar," Dahi lelaki itu mengernyit kala kepalanya semakin pusing. "Siapa yang melamar?" Meski merasakan ngilu luar biasa di dadanya, lelaki itu tetap melanjutkan pembicaraan ini. Terlanjur penasaran dengan berita pertunangan Rania yang datang tiba-tiba. Bahkan dirinya saja tak pernah membayangkan berita ini akan keluar dari mulut sahabatnya itu. Rasanya aneh, ngilu, dan... menyakitkan? entalah, untuk urusan itu Aryan tak terlalu yakin dengan apa yang sedang ia rasakan.

Rania menghembuskan nafas keras. Raut wajah gadis itu seketika mendung kala mengingat sosok sang 'calon suami'. Calon suami? sejak kapan dirinya mengakui dosen menyebalkan itu sebagai calon suaminya? memikirkan sebutan 'calon suami' saja ia sudah bergidik ngeri. Hii, jangan sampai hal itu sampai terjadi.

Tapi, mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terjadi. Ia tak bisa mengubah sesuatu yang sudah terjadi. Yang bisa ia lakukan adalah mengatasi bencana yang tengah menimpa dirinya. Sebisa mungkin ia menyiapkan perahu karet besar untuk menampung semua beban dan masalahnya. Dirinya harus menyelamatkan diri secepat mungkin sebelum terjangan banjir kedua datang.

"Kamu tahu Pak Awan?" tanya gadis itu tanpa minat. Tangannya mengaduk es jeruk dihadapannya tanpa minat.

"Pak Awan dosen di fakultas lo yang katanya sering ngusir lo dari kelas itu?" jawab Aryan cepat. Wajah lelaki itu kian serius. Mencoba mengorek lebih dalam mengenai sosok lelaki sialan yang berani melamar gadisnya ini.

Rania mendengus mendengar penuturan Aryan. Ck, apakah harus menyebutkan hingga sedetail itu? Mendengarnya saja membuat darahnya kembali mendidih. Bayangkan saat dirinya diusir dari kelas seketika memenuhi otaknya. Lelaki itu... Ia bersumpah tak akan membiarkan lelaki menyebalkan itu mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk pernikahan yang akan berlangsung 2 bulan lagi.

"Iya." jawabnya ketus, terlampau kesal dengan kenyataan yang mengharuskannya terikat hubungan dengan Awan.

Netra Aryan menyipit, wajahnya berubah kuyu. "Gimana bisa?" bukan, kalimatnya tidak dimaksudkan untuk Rania, namun lebih pada dirinya sendiri. Bagaimana ia bisa kecolongan hingga separah ini. Setiap hari selalu bertemu dan menempel dengan Rania membuat dirinya tak pernah berpikir sejauh itu. Hatinya merasa aman-aman saja karena Rania yang selalu berada di sekitarnya. Tapi kini, saat dirinya terlalu nyaman dengan posisinya, ia malah kecolongan. "Jangan bercanda, Ni. Ini nggak lucu."

Kepala Rania menggeleng dua kali. "Dia mempermainkan aku, Aryan!" rengek Rania. Wajah wanita itu sudah merah padam dengan bibir yang digigit kuat.

Mengabaikan rasa ngilu dan pening yang masih menyergap, tangan Aryan terulur untuk menggenggam punggung tangan Rania saat melihat manik gadis itu yang mengembun. Sepertinya kali ini Rania tak main-main dengan ucapannya. Menyadari betapa serius permasalahan saat ini membuat bebannya kian bertambah. Bukan hanya beban pikiran, tapi juga beban hati. "Cerita ke aku," Lelaki itu merubah panggilannya, tanda bahwa dirinya sedang serius saat ini.

"Beberapa hari ini dia tiba-tiba muncul di hidupku. Selalu aja muncul tanpa peringatan. Kayak bayang-bayang. Muncul seenaknya, pergi seenaknya." Lelaki itu mendengar dengan seksama cerita yang meluncur dari bibir mungil gadis dihadapannya itu. Sesekali ibu jarinya mengusap punggung tangan Rania yang terasa dingin. Lebih-lebih hatinya yang ikut mendingin saat ini. Meski begitu ia tetap memasang telinganya lebar-lebar untuk mengetahui setiap detil alur peristiwa yang terjadi.

"Awalnya aku ngerasa risih, tapi pada akhirnya aku jadi terbiasa dengan sikapnya. Hingga seminggu lalu tiba-tiba Pak Awan ngelamar aku," nafas Aryan tercekat diikuti helaan nafas kasar dari Rania. "Awalnya aku kaget dan bingung. Ini pertama kalinya ada cowok yang menyampaikan niat baiknya ke aku.

"Aku bingung sampai nggak bisa tidur semalaman. Kamu tahu sendiri aku belum pernah dapet kalimat pernyataan kayak gini. Makanya aku kalut banget. Antara kaget, bingung, tapi... seneng." Wanita itu menunduk, mengingat betapa memalukannya dirinya kala itu membuatnua tak berani menatap manik mata Aryan. Ia terlampau malu untuk sekadar melanjutkan ceritanya.

Melihat Rania yang terdiam, lelaki itu memutuskan untuk angkat bicara.  "Lalu kamu terima?" nafas lelaki itu terhenti ditenggorokan. Sejujurnya ia sangat tak siap dengan kenyataan yang sedang menimpanya saat ini.

Rania menggeleng perlahan sebagai jawabannya. "Dia mempermainkan aku, Aryan," gadis itu menghembuskan nafas perlahan. "Dia berlagak seolah tak terjadi apa-apa diantara kami. Aku marah, aku sakit hati. Itu kali pertama aku dapat pengakuan cinta, tapi malah dipermainkan."

"Aku nggak tahu apa yang dipikiran Pak Awan. Setelah dia mempermainkan aku, dengan tiba-tiba dia datang lalu kembalu melamarku, Aryan..." rengekan Rania semakin keras terdengar, tanda wanita itu benar-benar lelah dengan masalahnya.

Tangan Aryan mengepal erat. Mata lelaki itu memerah menahan amarah. Mendengar bagaimana gadisnya bercerita dengan kesungguhan yang nyata membuat sudut hatinya kian berdenyut. Jika saja Rania sedang tak ada dihadapannya kini, dapat dipastikan meja yang menjadi pembatas mereka sudah patah jadi dua. "Jangan berurusan sama dia lagi, Nia. Ada aku."

"Nggak bisa." jawab Rania yang mengundang tanda tanya dari Aryan. "Kamu lupa kalau aku udah dilamar?" ingatnya.

Ah, benar juga. Gadisnya itu sudah dilamar. Fakta itu kembali menyudutkan batinnya. Menghimpitnya hingga ia tak bisa bernafas. Aryan yang menderita kini kembali menguasai diri lelaki itu. "Kamu suka dia?" sungguh, butuh perjuangan luar biasa untuk mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi mengganjal dihatinya. Mengenai lelaki yang melamar Rania, itu urusan belakangan. Yang perlu ia perjelas di sini adalah mengenai perasaan wanita itu. Jika Rania tidak menyukai lelaki itu, maka tak masalah. Selama Rania tidak jatuh cinta, ia masih bisa membuat gadis itu agar tetap berada di sisinya. Ia terlampau tak sanggyp untuk hidup sendiri tanpa kehadiran gadis itu. Sebut saja Rania adalah candunya saat ini.

Dengan tegas Rania menggeleng kuat. "Mana mungkin aku suka sama cowok yang mempermainkan perasaanku!" serunya berapi-api.

Aryan menghela nafas lega. "Lalu... bagaimana?"

Rania melepaskan tautan tangannya. Kini bukan Aryan yang menggenggam tangannya, namun justru gadis itu yang tiba-tiba menarik kedua tangan Aryan, menggenggamnya erat. Manik matanya menatap Aryan penuh harap. "Bantu aku, Aryan,"

Sedikit menyipit, Aryan menatap aneh pada Rania, namun sedetik kemudia lelaki itu mengangguk mengiyakan. "Bantu apa?"

"Jadi pacarku."

Pupil mata Aryan melebar. Baru saja beberapa menit lalu ia kena serangan jantung, dan sekarang kini ia kembali dikejutkan dengan permintaan absurd Rania. "Jadi-pacar?" Aryan menelan ludahnya bulat-bulat. Bukannya ia tak mau, hanya saja ini semua terlalu mendadak. Kabar pertunangan Rania saja sudah membuatnya pening luar biasa, dan sekarang... Ah, hatinya serasa sedang dipermainkan saat ini. Tadi sedih luar biasa, tapi sekarang, entah bagaimana menyebutnya, tapi ada sedikit rasa bahagia yang membuncah.

Rania mengangguk mantap. Matanya menatap Aryan sungguh-sungguh. "Pacar bohongan nggak apa-apa. Yang penting bantuin aku untuk batalin pernikahan ini. Ya?"

👑👑👑

Terimakasih kepada suara indah V di lagu Sweet Night (original soundtrack Itaewon Class) yang sudah menemaniku menulis bab ini. xixiix. aku merekomendasikan lagu ini bagi pecinta lagu chill dan mellow. lagunya seenak itu :)))
dan juga, lagu Winter Falls by Stray Kids yang berhasil bikin hatiku campur aduk. huhu.

pencet bintangnya dong kakak. bintang dan komenmu jadi penyemangatku untuk ngelanjutin cerita ini nih.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang