11. "Aku dilamar."

1.2K 163 29
                                    

"Nama saya Awan Danuarta, tante."

"Awan, Arta..."

"Nama saya Awan Danuarta, tante."

"Nama saya Awan Danuarta, tante."

"Nama saya Awan Danuar-"

"Iya-iya. Nama dia Awan Danuarta." Wanita yang sejak tadi asyik melamun itu akhirnya bergerak juga. Sejak tadi, tubuh Rania membeku di tempatnya dengan raut wajah tegang nan suram. Pikiran-pikiran setan muncul dan hilang silih berganti, membuatnya semakin naik darah mengingat betapa kesal dirinya dengan Awan.

Rania menggelengkan kepalanya berkali-kali, mencoba mengusir Awan dari pikirannya. Namun, semakin ia mencoba untuk mengusir Awan dari pikirannya, maka semakin dalam pula Awan menyelami pikirannya. Nanti kalau nyelamnya terlalu dalam, eh nggak sengaja berlabuh di hati kan berabe.

"Terkutuklah Awan sialan!" Umpat Rania. Dengan sekuat tenaga, wanita itu melempar bantal yang ada di pelukannya ke lantai, menyalurkan rasa kesal dan emosinya yang sudah memuncak.

"Jangan mengumpat. Entar nilai IPK lo di matkul Pak Awan rendah, Papa bisa marah." Seolah mendapat bisikan surgawi, wanita itu mulai menyesali perkataannya barusan. Diambilnya kembali bantal yang baru saja ia lempar, dan menatanya kembali ke tempat semula. Ia menghela nafas panjang karena pikiran-pikiran setan yang mampir malah makin membuatnya overthinking.

"Pak Awan kan pernah mainin lo, lo masa masih tetep nerima perjodohannya?"

"Lo tau apa tentang Pak Awan sampai lo berani nerima perjodohan ini?"

"Ck, lo nggak nyadar diri? Tipe ideal Pak Awan pasti yang cantik, tinggi, langsing, kulitnya mulus kayak keramik."

"Pak Awan juga ganteng, lah lo? Lo buluk, Nia."

"Udah buluk, masih aja banyak tingkah."

"Diam!" Gadis itu berteriak nyaring, seolah memerintahkan suara-suara itu untuk diam. Ia tahu dan paham betul resiko yang akan ia hadapi. Akan tetapi, posisinya saat ini yang terhimpit oleh orang tuanya membuat dirinya tak bisa berkutik.

Tuing.
Rania mengalihkan pandangannya ke arah ponsel yang tergeletak di atas nakas. Satu pesan singkat muncul di layar ponselnya.

Aryan Ayanan
Keluar yok. Laper.

Jemari Rania meraih ponselnya, menatap sebentar pada jam yang tertera di beranda ponselnya. Menarik nafas panjang, Rania memilih menerima ajakan Aryan. Daripada terus-terusan overthinking memikirkan si Awan Danuarta itu. Yang ada ia malah semakin gila karenanya.

Aryan Ayanan
Gassin. Otw kerumah lo.

Rania hanya melirik sebentar balasan dari Aryan. Detik selanjutnya, ia lantas mengambil cardigan yang tergantung di samping lemari lalu mengenakannya. Wanita itu mematut dirinya di cermin yang menempel pada lemari bajunya.

"Pakai babydoll, cardigan, sama jilbab instan boleh lah ya. Males ganti baju juga."

Setelah selesai bergaya di depan cermin, wanita itu memutuskan untuk segera turun, ia tak ingin membuat Aryan menunggu terlalu lama. Saat kakinya berpijak di tangga terakhir, radar di telinganya menangkap suara renyah Aryan yang tengah berbincang dengan Papanya. Keyakinannya terbukti saat matanya menangkap interaksi antara Papa dan Aryan. Lelaki itu nampak antusias saat berbincang dengan papanya.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang