Bab 1

3.2K 200 15
                                    

Di sebuah ruangan bernuansa putih, dengan aroma khas obat-obatan yang begitu tajam. Seorang pria duduk di samping ranjang dengan tangan menggenggam jari tangan di depannya. Menatap wanita yang terbaring lemah di atas ranjang dengan tatapan mata yang sulit diartikan.

Sesekali helaan nafas berat terdengar keluar dari bibirnya. Nafas berat yang berkali-kali keluar dari bibirnya hingga rasanya kian menghimpit dadanya sesak.

Sudah hampir tiga bulan lamanya wanita di depannya menutup mata. Terbaring dengan banyak selang di sekujur tubuhnya, yang kadang membuat dia menatapnya tak tega.

Padahal semasa mereka bersama, wanita itu. Wanita yang berstatus sebagai istrinya tidak pernah suka berada di tempat seperti ini. Jangankan berada di sana, mencium aroma rumah sakit saja dia sangat ketakutan. 

Dia bilang, semua itu mengingatkannya pada almarhum mama juga papanya yang sudah pergi meninggalkannya. Membuat dia terus berada dalam kesedihan yang begitu dalam.

"Hai, Vi? Apa kamu tidak merindukan ku?" Lirihnya. Meremas tangan wanita di depannya yang berada di genggamannya lembut namun kian erat.

Sesekali kedua matanya menatap gamang istrinya. Seakan ingin mengatakan jika dia tidak baik-baik saja tanpa wanita itu.

Ya, pria itu adalah Elang. Elang Mahesa. Suami Evelia Atalia Bramantyo. Wanita yang kini terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan keadaan koma.

Dia dinyatakan koma dua bulan yang lalu. Setelah kejadian yang sangat mengerikan itu, yang membuat Elang kadang menyesali keputusannya lantaran membiarkan wanita itu mengorbankan dirinya untuk kesalahan yang menurutnya tidak akan bisa termaafkan oleh keluarganya.

Tapi semakin Elang memikirkan semuanya, dia semakin tahu jika istrinya tidak sepenuhnya salah. Dia melakukan semua itu pasti ada alasannya. Dan Elang menyesal lantaran tidak mencari tahu alasannya terlebih dahulu. Malah ikut menyalahkan istrinya.

"Aku merindukan mu, Vi, please bangun. Jangan buat aku menunggu terlalu lama. Dan aku mohon, tolong bangun untuk ku." Rintihnya terdengar menyedihkan. 

Bahkan dia tak peduli jika air matanya meleleh di pipinya. Membiarkan air mata itu meluncur hingga jatuh mengenai tangan Evelia yang kini berada di genggamannya.

Untuk pertama kalinya selama mereka menikah, Elang menangis untuk wanita itu. Wanita yang selama ini selalu membuatnya bertekuk lutut di hadapannya. Membuat Elang rela melakukan apa pun untuk wanita itu.

"Kamu tahu, aku menyesal sudah marah padamu, Vi. Aku benar-benar menyesal. Jadi tolong, jangan hukum aku dengan tidur seperti ini."

"Aku mohon bangun lah, Vi. Buka matamu. Setelah ini aku berjanji, aku tidak akan pernah marah apa lagi pergi meninggalkanmu. Jadi aku mohon, tolong bangun."

Sore itu, lagi-lagi Elang habiskan dengan kata-kata penuh penyesalan di depan istrinya. Di depan wanita yang mungkin saja tidak bisa mendengar apa lagi mengetahui apa yang dia katakan. Karena nyatanya, wanita itu masih betah dengan kedua mata yang tertutup rapat. Terpejam tanpa tahu kapan akan terbuka lagi.

****

Senin pagi yang cerah, Elang melangkah dengan penuh semangat. Di tangannya sudah ada sebuket bunga mawar putih besar. Yang sengaja dia bawa untuk istrinya. Bunga yang melambangkan permintaan maaf juga penyesalan.

Dulu Evelia sangat suka dengan bunga itu. Bunga mawar putih yang baru dipetik dan harum. Istrinya akan menciuminya dengan semangat jika Elang membawakannya sebuket bunga mawar putih sebagai permintaan maaf setiap kali dia membuat kesalahan. Padahal itu adalah hal sederhana, tapi Evelia seolah tak peduli. Dia begitu bahagia hanya karena sebuket bunga pemberiannya.

Akan'kah Badai Berlalu? (Sekat Tak Berjarak) SELESAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang