Bab 11

442 48 0
                                    

Senyum Elang surut begitu ia melangkah ke arah Evelia dan mendapati jika wanita itu tidak sedang sendiri. Melainkan ada orang lain yang duduk bersamanya. Orang yang sangat Elang kenal dulu. Juga orang yang menjadi saingannya dalam mempertahankan hubungannya dengan Evelia. Wanita yang sampai detik ini masih menjadi istrinya, namun sekarang tak mengingatnya. Atau,... bahkan tidak akan mengingatnya lagi?

"Lia, sepertinya aku harus pergi sekarang."

Elang bersyukur Arman segera beranjak dari tempatnya, seakan paham jika Elang masih sama. Ia masih tidak suka jika ada orang yang mendekati atau bahkan mengusik miliknya.

Saat mereka berpapasan, Elang bisa melihat senyum samar yang terbit di bibir pria itu. Hanya meliriknya tanpa menoleh atau menyapanya. Seperti biasa, pria itu masih terlihat sombong dan angkuh.

Namun Elang sama sekali tidak peduli, ia pun melengos. Sama terlihat enggannya seperti pria itu.

Sampai Elang tiba di samping Evelia yang kini sudah bangkit dari duduknya. Menatapnya. Elang tidak bisa untuk tidak menarik sudut bibirnya, ia tersenyum meski dengan perasaan yang tidak menentu.

Efek dari melihat Evelia duduk dengan pria lain masih sama untuk perasaanya. Perasan itu masih pekat dan juga tidak nyaman. Namun sebisa mungkin ia tekan dan tak ingin menunjukkannya pada Evelia saat ini. Saat hubungan mereka bahkan masih tabu, semu dan tidak jelas.

Jika Elang mengakui wanita itu sebagai istrinya, berbeda halnya dengan Evelia. Wanita itu bahkan tampak kurang nyaman berada di dekatnya.

"Sudah semua, kan?" Saat Evelia mengangguk beberapa kali, Elang merasa hatinya ada yang retak. Sedikit ngilu dan nyeri.

Dia bukan tidak tahu jika beberapa kali Evelia tersenyum ke arah Arman. Apalagi saat pria itu pamit untuk pergi. Evelia membalasnya dengan senyum manis wanita itu. Sedang dengan Elang, wanita itu bahkan hanya berbicara seperlunya. Selalu memasang wajah kaku dan tertekan. Membuat Elang berkali-kali menekan perasaan sakit dan nyerinya.

"Kita pulang sekarang?" Ajak Elang kemudian. Yang tidak ingin terlalu larut dalam perasaan kurang nyamannya.

****

Diantara perjalanan mereka menuju kontrakan Elang, keadaan terasa begitu hening dan kaku.

Tidak ada obrolan apa pun diantara mereka. Berbeda halnya dengan tadi, dengan Elang yang tampak begitu semangat, kali ini Elang bahkan membiarkan keadaan diantara mereka terasa sunyi dan sepi. Ia bahkan tak tertarik untuk mencairkan suasana dan mengajak Evelia mengobrol seperti biasa.

Sampai mereka tiba di kontrakan pun, Elang langsung bergerak membereskan bawaannya. Sedang Evelia diam dan memperhatikan.

"Ini sudah larut kamu bersih-bersihlah, aku yang akan membereskan semua ini. Karna di sini hanya kita berdua, kamu nggak masalah kalau kita pesan makanan dari luar, kan?" Ujar Elang tanpa berbalik, masih sibuk dengan belanjaan di depannya. Mengeluarkannya dari plastik dan memisahkannya.

"Aku sudah makan tadi,"

Gerakan tangan Elang yang mengeluarkan belanjaan dari dalam plastik terhenti, hanya sejenak sebelum kembali meneruskan kegiatannya.

"Oh," Gumamnya pendek, berusaha bersikap biasa saja meski sebenarnya ada sesuatu yang terasa retak dalam dirinya.

"A-aku,... tadi Arman yang paksa aku buat-"

"Di sini nggak ada air hangat." Elang berbalik dan memotong ucapan Evelia, seakan ia tak ingin mendengar ucapan wanita itu lebih jauh. "Kamu mau aku panasin air buat mandi? Atau gimana, soalnya airnya di sini lumayan dingin kalau udah jam segini." Elang ingat jika isterinya itu tidak bisa mandi air dingin di malam hari, tubuhnya akan menggigil kedinginan jika sampai mandi air dingin di jam-jam seperti sekarang.

Akan'kah Badai Berlalu? (Sekat Tak Berjarak) SELESAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang