Bab 8

579 61 1
                                    

Setelah tiba di hotel, Elang langsung mengobati kaki Evelia yang ternyata benar-benar memar. Lutut mulus istrinya itu terlihat membiru begitu dia menggulung sedikit celananya ke atas.

"Aku baik-baik saja, Lang." Ucap Evelia menenangkan Elang yang terlihat khawatir. Dia bahkan langsung berniat mengompresnya. Padahal pria itu belum berhenti setelah menggendongnya sedari tadi.

"Kaki mu memar." Ucap Elang untuk kesekian kalinya. Mulai mengompres lutut Evelia dengan handuk kecil yang dia minta dari salah satu pelayan hotel.

"Ya, hanya memar sedikit."

"Kita nggak bisa pulang hari ini. Kaki mu masih sakit. Kita pulang besok atau lusa, ya?"

Evelia membasahi bibirnya yang terasa kering. "Aku baik-baik aja, Lang." Ujarnya berusaha meyakinkan. Tidak ingin membuat pria di depannya berubah pikiran dan semakin mengkhawatirkannya.

"Tetap aja, Vi. Kita nggak mungkin kembali dengan kaki mu yang seperti ini. Apalagi ini hampir malam."

"Kenapa nggak mungkin? Kita cuman perlu naik mobil. Dan aku cuman duduk tanpa melakukan apa pun dengan kaki ku, kan?" Keukeh Evelia. Terdengar begitu memaksa membuat Elang menatapnya tak percaya.

Dia seakan melihat orang lain di depannya saat ini, bukan Evelia yang penurut dan juga selalu bersikap dewasa. Yang tidak suka memaksakan kehendaknya sendiri.

"Kenapa?" Tanyanya begitu Elang hanya diam menatapnya. Pria itu hanya diam dengan kedua mata tak lepas menatap kedua matanya. "Sekarang dan besok sama aja, kan? Kita juga akan pulang. Lalu kenapa harus menunggu besok kalau hari ini kita juga bisa pulang?"

"Setidaknya, kalau besok,... kaki mu sudah lebih baik." Gumam Elang yang masih bisa di dengar Evelia. Membuat wanita itu pun menatap Elang sepenuhnya.

Memperhatikan bagaimana raut wajah yang beberapa hari ini terlihat cerah itu-kini mulai meredup. Evelia merasa ada yang salah di sini, apa dia sudah sangat keterlaluan pada pria di depannya?

"Baiklah," ucap Evelia pada akhirnya. Membuat Elang menatap ke arahnya.

"Apa?"

"Kita akan kembali besok atau lusa."

Senyum Elang terbit, begitu pun rona wajahnya yang berangsur-angsur mulai terlihat kembali cerah. Apa pria di depannya ini memiliki dua kepribadian? Bagaiman mungkin dia begitu mudah merubah raut wajahnya hanya karna jawaban yang Evelia berikan?

"Kamu serius, kan?"

Dengan sedikit ragu Evelia mengangguk. "Lagi pula kamu pasti capek karna tadi gendong aku, kan?"

Sebenarnya Elang baik-baik saja. Terutama dengan berat tubuh Evelia yang lebih kurus dari sebelum-sebelumnya. Tapi, kali ini ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Jadi yang dia lakukan adalah mengangguk cepat. Sangat cepat sampai membuat dia pasti terlihat bodoh di depan wanita itu.

"Iya." Ucapnya memperjelas. "Apalagi jarak dari kebun teh ke sini itu lumayan jauh." Keluhnya lebih berlebihan. Mengundang wajah tak enak Evelia. Wanita itu menatap Elang tak enak bercampur malu.

"Apa aku seberat itu?"

"Lebih dari yang aku duga, kamu lebih berisi sekarang." Ucap Elang, sedikit berbohong. Karna nyatanya wanita itu jauh lebih kurus dari sebelum kecelakaan. Ah, tentu saja, saat itu wanita itu kan,..

"Benarkah?" Tanya Evelia. Mulai memeriksa lengannya. Menyentuhnya dengan tangannya, membolak-baliknya.

Elang mengangguk dengan bibir berkedut menahan senyum. Dia begitu menikmati percakapan mereka saat ini. Jika boleh meminta, dia ingin selalu seperti ini dengan istrinya. Sudah lama dia merindukan momen-momen seperti sekarang.

Duduk berdua, mengobrol, bercanda dan saling berbagi cerita satu sama lain tentang apa pun. Hingga berakhir mereka akan menghabiskan waktu berdua-bermesraan. Mengingat semua itu, membuat Elang kian merindukan istrinya. Sangat-sangat merindukan wanita itu yang selalu membuatnya merasa nyaman berada di dekatnya.

"Tapi Bi Yati bilang, tubuh ku lebih kurus dan juga lebih kecil sekarang."

"Aku yang dulu sering menggendong mu, Vi, jadi aku lebih tahu."

Evelia berdecak. Terlihat kesal. Tidak suka dengan jawaban Elang. "Kamu tahu nggak sih, kalau pembahasan berat badan itu sangat sensitif untuk kami para perempuan?"

"Oh ya?" Tanya Elang pura-pura tidak tahu. Wajahnya terlihat polos kali ini.

"Ya."

Mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Elang kembali berujar dengan nada jenaka. "Tapi nggak masalah kok, walau kamu gendut, kamu masih tetap kelihatan cantik di mata ku."

"Gombal."

"Serius," Elang mengangguk yakin. "Kamu itu selalu cantik di mata ku, walau kamu gendut aku tetap cinta kok sama kamu."

"Elang!" Tegur Evelia.

Elang tergelak. Tertawa renyah sedang Evelia menatapnya penuh kekesalan yang jelas.

"Maaf-maaf," Ucap Elang terkekeh gemas. Memanjangkan tangannya untuk mencubit pipi Evelia yang lebih tirus. Benar, istrinya itu jauh lebih kurus dari sebelum ini. Bahkan Elang bisa melihat jika pipi wanita itu tak sechubby dulu.

"Candaan kamu nggak lucu, tau nggak?" Tepis Evelia kesal.

"Enggak," gelengan kepala Elang yang kian disambut tatapan kesal oleh Evelia. Dia merenggut. Semua itu terlihat begitu menggemaskan di mata Elang. Hingga dia pun terus menatap Evelia lama dan dalam. Rasa rindu kian menggerogotinya. Membuat dia semakin ingin membekap tubuh wanita di depannya itu. Menghirup dalam aroma tubuh yang sudah lama tak ia hirup.

"Kenapa?"

"Hmm?"

"Ada yang salah dengan wajah ku?" Elang menggeleng. Membuat Evelia kian menatapnya heran.

"Aku cuman merasa senang karna kamu nggak berusaha menghindari ku lagi." Elang menari sudut bibirnya lebih lebar. "Vi, kalau kamu nggak nyaman menganggap ku sebagai suamimu, kamu boleh kok menganggap ku sebagai teman."

Teman? Bisik Evelia dalam hati. Tidak menyangka jika Elang akan bersikap sejauh ini.

Meski Elang mengatakan dengan senyuman di bibirnya, entah mengapa Evelia merasa tidak nyaman. Apalagi tatapan mata pria itu yang terlihat begitu redup. Seakan ada banyak perasaan yang dia tahan di sana.

Bagaimana cara Elang menatapnya, tersenyum juga memperhatikannya. Membuat Evelia merasa aneh.

Apa yang terjadi padanya? Kenapa Evelia mendadak merasa aneh? Apa ini wajar?

"Mungkin dengan kita berteman. Kamu pelan-pelan akan merasa nyaman dengan ku." Tambah Elang lagi. Meraih tangan Evelia untuk ia genggam erat. Begitu erat seakan dia takut tidak bisa menggenggam tangan wanita itu lagi suatu hari nanti. "Tapi tolong, jangan menghindar, apalagi menjaga jarak dari ku seperti biasa. Karna jujur, aku nggak suka ketika melihat kamu selalu menjaga jarak dan menghindar." Dia menggeleng lemah.

"Mungkin kamu akan menganggap aku terlalu berlebihan dan gombal. Atau apa pun itu. Tapi kamu harus tahu, Evelia. Jika aku nggak bisa jauh darimu, apalagi jika harus melihat mu yang selalu menghindar karna tidak nyaman. Seakan ada jarak yang begitu jauh diantara kita-yang padahal kita begitu dekat."

Seakan ada ribuan jarum yang menusuk tenggorokannya, Evelia hanya bisa menatap dalam diam Elang. Tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dan tubuhnya semakin terasa kaku ketika Elang lagi-lagi mengungkapkan perasaan pria itu padanya. Perasaan yang mungkin saja pria itu pendam selama ini.

"Aku cinta kamu, Vi. Selalu cinta kamu. Jadi tolong, jangan pernah pergi apalagi lari dari ku. Aku cinta kamu, selamanya akan selalu begitu. Karna itu, aku nggak bisa jika harus melihatmu, orang yang aku cintai, merasa tertekan, takut dan tidak nyaman berada di dekat ku."

"Elang,"

"Aku akan selalu menunggu mu untuk membalas cinta ku seperti dulu, aku akan berusaha semampu ku, jadi tolong," Elang menunduk. Menatap tangan Evelia yang kini berada dalam genggamannya. "Tolong kasih kesempatan buat aku untuk membuktikan semua itu, tolong biarkan aku terus berusaha untuk dekat denganmu seperti dulu."

"Tolong kasih aku satu kesempatan lagi, Evelia. Aku mohon."

Akan'kah Badai Berlalu? (Sekat Tak Berjarak) SELESAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang