Bab 14

545 51 3
                                    

Elang membawa Evelia ke rumah utama, rumah besar yang sudah beberapa hari tak mereka kunjungi. Atau hanya Evelia saja yang tak mengunjungi rumah itu, sedang Elang sebaliknya? Entahlah, Evelia tak pernah bertanya pada pria itu.

Setelah tiba di rumah itu, Elang hanya meminta Evelia untuk masuk, sedang pria itu memilih memutar mobilnya dan pergi. Meninggalkan Evelia yang terdiam di tempatnya, mematung dengan pandangan lurus ke depan, menatap mobil yang kini bergerak menjauhinya.

Evelia tidak tahu kenapa ia merasakan perasaan tak nyaman dan gelisah, hanya dengan menatap wajah Elang yang menatapnya kecewa, terluka dan tidak percaya, membuat perasaanya tak karuan. Seperti, ia merasa bersalah dan salah.

Ketimbang berteriak, marah dan mencercanya habis-habisan, pria itu hanya diam dan menyimpannya. Ketimbang menuduh atau menyalahkannya, pria itu bahkan hanya diam dan membungkam mulutnya.

Padahal, bisa saja ia bertanya, atau menuduh Evelia macam-macam dan menyudutkannya. Tapi, dari pada melakukan semua itu, pria itu hanya diam dan bungkam. Seolah-olah apa yang ia lihat tadi, apa yang Evelia lakukan tadi bukanlah sesuatu hal yang patut dipertanyakan.

Evelia bahkan sudah mempersiapkan diri untuk membalas pria itu jika saja ia menuduh Evelia yang bukan-bukan. Kembali melempar kesalahan dan menjelaskan pertemuannya dengan Kamal. Yang semua itu untuk membicarakan keluarganya yang selama ini pria itu sembunyikan keberadaanya. Namun, apa yang terjadi ini? Kenapa pria itu hanya diam dan bungkam? Kenapa ia tak mengatakan apa pun yang membuat tuduhan Evelia tentang pria itu benar?

Evelia masih diam di tempatnya, mematung dengan perasaan yang tidak menentu.

Sebenarnya, pria macam apa yang Evelia nikahi itu? Kenapa ia tak seperti yang Evelia pikirkan selama ini? Atau, hanya Evelia yang berpikiran picik di sini? Hanya dia yang berpikiran buruk tentang pria itu? Sedang alasan untuk semua pertanyaan yang selama ini mengganggunya adalah hal yang selama ini Evelia takutkan?

"Loh, Non Lia? Ngapain cuman diam di sini?"

Evelia memutar kepalanya, menemukan Bi Yati yang menatapnya cemas.

"Ada apa, Non? Kenapa?"

"Bi,..?" Untuk alasan yang tidak ia ketahui, Evelia merasa perasaannya sesak luar biasa. Membuat kedua matanya terasa panas dan perih.

"Non, ada apa?"

Evelia menggeleng, teringat bagaimana ia akhir-akhir ini berpikiran buruk tentang Elang. Tentang pria itu juga orang-orang di sekitarnya.

Hingga rasa penyesalan itu kini berubah menjadi isak yang tak bisa di bendung, tak bisa ditahan dan keluar tanpa komando. Ia menangis dan memeluk wanita tua yang kini terlihat mengkhawatirkannya. Mengusap punggungnya lembut dan berusaha menenangkannya.

****
"Jadi non Lia lagi berantem sama mas Elang?"

Evelia hanya mengusap air matanya dengan tisu, lalu diam dan berpikir sebelum mengangguk dan menggeleng.

"Bibi nggak ngerti sama apa yang non Lia maksud. Maksudnya gimana? Berantem atau enggak?"

"Nggak tahu, tapi kayaknya Elang marah deh, Bi sama aku."

Bi Yati tersenyum, mengangsurkan gelas di tanganya dan meminta majikannya untuk meminumnya.

"Aku benar-benar merasa bersalah sama dia."

Bi Yati tersenyum. "Nggak perlu khawatir, Non. Bibi kenal gimana mas Elang. Kalau pun marah mas Elang nggak akan lama marah sama non Lia."

"Tapi-"

"Tadi mas Elang sempet nelpon bibi, Bilang kalau non Lia ada di depan rumah. Mas Elang juga minta bibi buat mastiin non Lia makan dan istirahat."

Evelia kehilangan kata-kata, ia menatap wanita tua di depannya tak percaya. Sampai Bi Yati menunjukkan layar ponselnya, di mana ada nama Elang di sana, di panggilan masuk yang baru beberapa menit yang lalu bekas menghubungi Bi Yati. Evelia hanya bisa diam dan kian merasa bersalah.

Akan'kah Badai Berlalu? (Sekat Tak Berjarak) SELESAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang