#after we meet

25 4 0
                                    

“kak, gue mau ngomong sama lo!”

“loh, nas? Ada apaan?”

Plak!

“ah…”

“pertama, gue nampar lo karena lo keterlaluan pas waktu itu ketemu sama A Dika dan lo ngebuat A Dika kena serangan panik yang bikin dia tepar hari itu…”

“loh? Nas…”

“gue bilang ya, A Dika benci sama orang yang ngelakuin kejahatan di masa lalu yang ngebuat dia kayak gini. Jadi, lo adalah salah satunya…”

“hah?”

“lo masih ga ngerti? lo itu dibenci…”

“hah?”

“gaada lagi tempat di hatinya aa buat keluarganya. Keluarganya aja jahat banget sama dia, gimana mau nerima lo lagi kak? gue tanya, gimana orang yang udah benci bahkan udah gamau ngeliat orang itu lagi dalam hidupnya bakalan nerima gitu aja, gak bisa kan?”

“Nas…”

Bruk!

Raysa ambruk dari pertahanannya. Semua perkataan Anastasya menusuk hatinya. Semua benar kah? Dia sudah dibenci oleh kakak sepupunya sendiri?

Oh, mengapa kejadian itu terjadi sih? kenapa dia harus terlibat? Mengapa dia harus tumbuh besar? Mengapa dia harus lahir diantara keluarga yang begini? Mengapa tuhan memberikannya kehidupan seperti ini?

Entah bagaimana kehidupan kedepannya, ia telah kehilangan harapan yang membuatnya bertahan selama ini. jujur, dia lebih baik mati dibandingkan hidup dengan bayang-bayang kebencian terhadap dirinya oleh orang lain.

Raysa berdiri dari duduknya sambil menghapus air mata di wajahnya dengan kasar. Dia mencari tempat duduk terdekat disana. Dia sudah menahannya dari lama, kini dia tidak boleh lagi menunda keinginannya untuk menyakiti dirinya sendiri. dia kini sibuk menemukan benda yang seharusnya membantunya untuk ini.

“mas… maafin gue kalo gue ngingkarin janji buat ga self harm…” kata Raysa dalam hati sambil membuka cutter kecil berwarna kuning. Siapa yang merasa familiar dengan cutter itu? ya, cutter itu milik Rasya. benda yang digunakan oleh mendiang kakaknya untuk menyakiti dirinya sendiri di masa lalu. Dan benda itu kini ada di tangannya untuk tujuan yang sama.

“heh? Balikin!”

Dia terkejut saat seseorang mengambil apa yang ada tangannya itu. ya, cutter itu direbut orang di belakangnya, lalu menggantinya dengan pulpen berwarna merah. Raysa tidak jadi marah pada orang itu, dia malah bingung, kenapa orang itu memberikannya pulpen merah.

“kamu pake ini buat coret-coret tangan kamu. I think it’s same with self harm… bedanya cuman itu bisa dihapus dan tanganmu masih mulus, ga luka beneran…”

“hah?”

“udah turutin aja apa yang saya suruh. Oiya, jangan self harm ya… jangan…”

Raysa terenyuh mendengar kalimat terakhir itu. matanya memanas. Sesak terasa di dadanya. Raysa melihat punggung orang yang memberikannya pulpen itu. Keenan, laki-laki itu berjalan dengan tumpukan buku di tangannya dan ranselnya menuju ke ruang dosen, sangat tenang, tanpa melihat bagaimana bingungnya Raysa saat itu.

Keenan menghembuskan nafas lega. Dia datang tepat waktu. Jika ia tidak datang tepat waktu, mungkin kejadian masa lalu akan terjadi. Beruntung ia ada disana dan menolong perempuan yang sampai sekarang masih ia sukai itu.

Baik Keenan maupun Raysa, tidak menyadari bahwa sepasang mata memperhatikan mereka dari kejauhan. Dia menaikkan kacamatanya bersamaan dengan senyumannya. Tidak sia-sia ia menceritakan kejadian itu pada Keenan. Adiknya benar-benar dijaga oleh laki-laki bernama Keenan Bagaskara itu.

|2| With[out] You • Wonyoung JangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang