Kabar mengenai Fanny yang digadang gadang adalah calon istri dari Satria, pemuda tampan dan mapan impian para gadis desa tersebar begitu cepat ke seantero penjuru desa.
Tak sedikit warga yang penasaran dengan wajah Fanny yang konon katanya sangat cantik layaknya model. Rumah bu Rani tak pernah sepi dari tamu, entah itu mampir hanya untuk sekedar memastikan kabar itu benar sampai ada yang meminta dipertemukan dengan Fanny seperti sekarang ini.
Fanny sedang duduk didampingi bu Rani yang sedari tadi menggenggam lembut tangannya. Sedangkan didepan mereka ada dua wanita paruh baya, satu wanita muda yang menatap sinis Fanny dan sesosok anak kecil laki-laki yang sedari tadi diam menatap Fanny dengan mata bulatnya, anak itu duduk di pangkuan salah satu wanita paruh baya.
Dua wanita paruh baya itu adalah kakak ipar dan adik ipar bu Rani, sedangkan satu wanita muda itu adalah keponakan adik ipar bu Rani, entah kenapa wanita itu terus menatap Fanny sinis.
"Ternyata sampeyan kemaren nang Jakarta kui soale Satria arepe ngenalno sampeyan karo cah ayu iki tho mbak yu?" tanya bulik Ratmi, adik ipar bu Rani. Bu Rani hanya mengangguk dan tersenyum.
"Fanny iki umure piro? Lulusan endi? Kerjane opo? Seumuran tho karo Winda? Ponakanku, Winda iki lulusan UGM Fann, kerjane dadi bidan nang puskesmas desa. Lha kamu Fann?" tanya bulik Ratmi seolah membandingkan Fanny dengan wanita yang sedari tadi menatap Fanny sinis dan sekarang tersenyum remeh ke arah Fanny.
"Calon mantuku iki lulusan luar negeri dik Ratmi, kerjane dadi sekretaris bos besar di Jakarta. Cocok kan karo Satria? Wis ayu, pinter, mapan, baik. Kurang opo maneh?" tandas bu Rani tegas mendahului Fanny yang tadi hendak menjawab pertanyaan bulik Ratmi.
Wajah bulik Ratmi dan Winda masam mendengar jawaban bu Rani. Sedangkan budhe Nur, kakak ipar bu Rani. Wanita paruh baya yang sedari tadi diam menyimak pembicaraan mereka dengan anak kecil di pangkuannya itu mulai membuka suara saat dirasa suasana tidak lagi kondusif.
"Ratmi, Winda lebih baik kita pulang sekarang. Sudah kesorean ini, ndak baik pulang maghrib maghrib. Dik Rani kita pamit pulang ya. Assalamu'alaikum!" pamit budhe Nur mewakili bulik Ratmi dan Winda yang sudah ngacir duluan.
Setelah memastikan tamunya itu pergi bu Rani menumpahkan kekesalannya pada Fanny, "gedeg ibu nduk sama Ratmi, dari dulu selalu begitu, menyombongkan Winda dan membandingkan keponakannya itu sama setiap perempuan yang dekat dengan Satria. Sudah tau Satria tidak pernah tertarik dengan Winda kok ya masih mengharap sampai sekarang. Dulu ibu masih bisa diam saja melihat tingkahnya, tapi lama kelamaan ibu jadi kesal, apalagi tadi dia hendak meremehkan kamu yang sudah ibu anggap putri ibu, ya sudah ibu tegasin aja sekalian biar jera mereka." cerocos bu Rani kesal.
"Tapi kan bu, nyatanya Fanny memang pantas di remehkan. Fanny hanya lulusan SMA, nggak pernah kerja, sekarang jadi janda pula," ucap Fanny sendu.
Mendengar ucapan Fanny, bu Rani membawa Fanny ke pelukan hangatnya. Tangannya mengelus punggung Fanny lembut. "Nduk, jangan dengarkan omongan buruk orang tentang dirimu. Cukup fokus untuk meraih kebahagiaanmu sendiri nduk. Ibu akan selalu mendoakan kamu," ucap beliau teduh.
*****
Bu Rani mengalihkan tatapannya dari layar televisi saat ponsel miliknya yang ada di atas meja berdering, segera beliau ambil ponsel itu dan ternyata yang menelfon nya adalah Satria, putra satu satunya yang bekerja di jakarta saat ini.
"Assalamu'alaikum Satria, ada apa tho le? Tumben kok nelfon ibu?" sindir bu Rani karena biasanya pekerjaan putranya begitu sibuk sehingga jarang menelfon dirinya.
"Wa'alaikum salam bu, ibu pripun kabare?" tanya Satria di sebrang sana.
"Alhamdulillah ibu sehat, ada apa tho le? Pasti ada yang mau kamu tanyakan kan sama ibu sampe telfon begini, soale biasane kan ibu dulu yang telfon kamu," kata bu Rani menebak maksud Satria menelponnya.
"Ngapunten bu baru bisa nelfon ibu sekarang. Jadi begini bu Satria dapat kabar dari desa kalo katanya ibu pulang dari jakarta bawa calonnya Satria, apa bener itu bu? Kalau betul kenapa ibu ndak cerita kemarin di telfon saat mengabari kalau sudah sampai rumah? Terus siapa yang ibu bawa ke rumah bu? Kenapa kok ibu kenalkan calonnya Satria sementara Satria saja ndak kenal dan baru tau tadi?" tanya Satria beruntun.
"Owalah, jadi kamu sudah dengar kabar ini dari bulik mu itu ya? Tapi kamu ndak bilang macam macam kan sama Ratmi?" todong bu Rani.
"Ndak, ibu tenang saja Satria cuma mengiyakan saja kata kata bulik Ratmi soalnya kepala Satria sudah penuh sama pertanyaan Satria yang belum ibu jawab tadi," ucap Satria sedikit kesal karena pertanyaannya belum dijawab oleh sang ibu.
"Jadi waktu di bus, ibu itu duduk sebelahan sama Fanny. Awalnya biasa biasa saja sampai lama kelamaan ibu dengar dia nangis pilu banget, ibu yang disebelahnya dengar dan kaget, ndak tau kenapa ibu tiba-tiba iba, lalu ibu tanya dia kenapa kok nangis, dia bilang baru saja di cerai dan diusir dari rumah mantan suaminya, dia sebatang kara dan bingung mau kemana. Ibu kasihan lah dengarnya, masih muda sudah jadi janda, jadi ya ibu ajak saja dia ke rumah kita sementara, lagipula ibu jadi ada yang menemani di rumah kita yang sepi ini." cerita bu Rani panjang lebar.
"Tapi bu, ibu kan belum terlalu kenal sama dia, jangan mudah percaya sama orang asing di jaman ini bu. Gimana kalau dia bohong sama ibu lalu berbuat hal yang tidak tidak?" tanya Satria cemas, ibunya ini terlalu baik jadi orang. Satria jadi takut kalau ibunya cuma dimanfaatkan.
"Husss, kamu kalau ngomong ya di pikir dulu tho le, ndak baik menuduh orang sembarangan. Lagipula dia anaknya baik kok, suka bantu bantu ibu di rumah, ndak macam macam. Wis kamu tenang saja," ucap bu Rani menenangkan.
"Tapi kenapa ibu kenalkan dia calonnya Satria ke warga desa? Ndak baik bohong begitu bu."
"Terus kalau ibu bilang bukan calon kamu lalu siapa lagi? Kerabat? Yo ndak bakal percaya orang sini. Lagian ya ini untuk sementara kok, anggap saja ibu ini berbohong untuk kebaikan, kan maksud ibu baik cuma menolongnya." bu Rani membela diri.
"Ya sudah lah terserah ibu saja, kalau ada apa apa lagi nanti bilang Satria ya bu. Jangan seperti ini, Satria tahu nya dari bulik Ratmi, sudah dulu ya bu Assalamu'alaikum," pinta Satria.
"Iya nanti ibu usahakan, wa'alaikum salam," ucap bu Rani di akhir telepon.
"Huh sudah ku duga memang Ratmi itu mulutnya lemes banget," gerutu bu Rani beranjak pergi ke kamarnya setelah mematikan televisi.
*****
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sembarang Janda
FantasyKecelakaan di tempat kerja lalu tiba-tiba terbangun di dunia novel yang dialami Stefanny sukses membuatnya menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, termasuk transmigrasi. Bukannya mendarat di raga antagonis seperti impiannya Stefan...