Sudah satu minggu ini Fanny berada di rumah bu Rani, dia sudah lumayan mengenal desa tempat tinggal bu Rani ini. Seperti pagi ini Fanny memutuskan untuk pergi ke pasar sendiri untuk membeli bahan bahan untuk membuat kue.
Di rumah bu Rani, Fanny kadang merasa bosan karena tidak melakukan aktivitas apapun selain membantu bu Rani memasak dan membersihkan rumah. Jadi Fanny putuskan untuk mencari aktivitas yang bisa dilakukannya, kebetulan memang Fanny dan mamanya dulu sering memasak atau membuat eksperimen kue, kadang juga ditemani Bianca, sang sahabat dan manajernya.
Rencananya sore nanti Fanny akan membuat kue bersama bu Rani. Lumayan kan daripada dia diam saja tidak ada aktivitas. Dan jika kue yang dibuatnya nanti lebih banyak, mungkin Fanny akan membagikannya ke tetangga dan kerabat bu Rani.
Di perjalanan banyak yang menyapanya, karena memang rata rata warga desa sudah tau Fanny adalah calon istri dari Satria. Saat pulang dari pasar menuju rumah bu Rani, Fanny melihat ada tiga anak kecil usia empat atau lima tahunan yang sedang berkelahi. Tepatnya dua anak yang merundung satu anak lainnya, karena jalan yang dilewati Fanny sedang sepi memudahkan dua anak kecil itu melakukan perundungan.
Melihat itu jiwa kemanusiaan Fanny menguar, meskipun karena jiwa kemanusiaan Fanny yang tinggi itu pula lah yang membuat Fanny sampai terdampar disini tapi salah satu hal yang membuat Fanny tetap melakukannya adalah karena dia penyuka anak kecil, apalagi yang menggemaskan, uuhh comel!
"Ada apa ini anak anak?" tanya Fanny saat menghampiri ketiga bocil itu.
Dua anak yang sedang merundung itu mendongak menatap Fanny lalu tanpa kata dua anak tersebut langsung berlari meninggalkan Fanny dan satu anak lainnya yang sedari tadi menunduk.
Melihat itu Fanny menghela nafas pelan, apakah wajahnya seram sampai mereka lari, padahal dia hanya bertanya bukannya membentak. Hah sudahlah.
Fanny berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anak yang menunduk tadi. "Hei anak manis, kamu gapapa kan?" tanya Fanny lembut.
Si anak mendongak menatap Fanny, lalu tiba tiba si anak menangis keras membuat Fanny kelimpungan. Dengan panik Fanny menarik si anak kedalam pelukannya dan mengelus lembut bahunya yang bergetar. Jangan salahkan Fanny, meskipun dia suka anak kecil tapi tidak ada anak kecil disekitarnya dulu, jadi dia tidak bisa menenangkan anak kecil ini selain memberinya pelukan, karena setahunya orang yang sedih pasti butuh pelukan.
Namun ajaib, setelah memeluk dan mengusap lembut bahunya, anak itu perlahan menghentikan tangisannya. Fanny merenggangkan pelukan itu untuk melihat wajah si anak, menurut Fanny si bocil ini lumayan tampan dan tentu saja menggemaskan, lihatlah wajahnya yang memerah karena menangis, pipinya yang gembul, matanya yang berkaca kaca, alisnya yang tebal, bulu matanya yang lentik dan mulutnya yang mungil mengerucut lucu. Uuhh sungguh jika bukan karena takut anak ini menangis lagi mungkin sudah Fanny cubit pipinya yang seperti bakpao itu.
Tapi sesaat kemudian Fanny baru menyadari sesuatu, anak ini bukankah anak yang kemarin datang ke rumah bu Rani bersama dua wanita paruh baya dan satu wanita yang bernama Winda? Kalau tidak salah anak ini adalah cucu budhe Nur kata bu Rani waktu itu.
"Bunda," panggil anak itu.
Sontak panggilan manis itu langsung membuyarkan lamunan Fanny dan membuat dia menolehkan wajah guna mencari tau orang yang dipanggil bunda oleh si anak. Namun, Fanny tak menemukan siapapun selain dirinya dan si anak.
Ditatap nya si anak dan Fanny terkejut saat anak itu mengulangi panggilannya lagi sambil menatap ke arahnya. "Aku? Bunda?" tunjuk nya pada dirinya sendiri yang diangguki antusias oleh si anak.
Fanny melongo melihatnya, berdehem pelan Fanny membuka suara, "anak manis, nama kakak, Fanny. Panggilnya kak Fanny bukan bunda ya sayang," ucap Fanny memperkenalkan diri.
Namun gelengan ribut anak itu serta racauan kata 'bunda' membuat Fanny kembali kelabakan dan refleks kembali memeluk anak itu supaya tidak lagi menangis.
Lama diposisi memeluk si anak dengan berjongkok membuat kaki Fanny pegal, saat tak mendengar suara tangisan si kecil lagi dan yang terdengar hanyalah deru nafas teratur membuat Fanny merenggangkan pelukannya dan melihat ternyata si anak tertidur pulas setelah kelelahan menangis. Menarik nafas pelan, Fanny memutuskan membawa si anak menuju rumah bu Rani.
*****
"Assalamu'alaikum." Fanny memasuki rumah dengan menggendong si anak yang tadi ditolongnya dan membawa barang belanjaan.
Bu Rani yang mendengar salam Fanny pun bergegas keluar dari kamar. Beliau terkejut ketika mendapati kepulangan Fanny yang tidak sendiri.
"Ya gusti nduk, iki kenopo kok Daffa ada di kamu?" tanya bu Rani sedikit cemas.
"Sebentar bu, Fanny mau taruh anak ini ke kamar dulu. Nanti Fanny ceritakan," ucap Fanny yang diangguki bu Rani setelah beliau membantu mengambil alih barang belanjaan Fanny.
Fanny memasuki kamar yang selama seminggu ini dia tempati, dengan pelan Fanny baringkan si anak tadi di kasur nya lalu ditaruhnya guling di masing-masing sisi samping agar si anak tidak terjatuh. Setelah itu Fanny keluar untuk menemui bu Rani.
Fanny menceritakan kejadian tadi tanpa mengurangi dan melebihkan. Bu Rani menghela nafas berat setelah mendengar cerita Fanny.
"Bunda Daffa itu meninggal setelah melahirkan Daffa karena pendarahan nduk. Jadi kamu maklumi lah kalau tadi dia memanggil kamu bunda, mungkin karena dia begitu merindukan sosok ibu yang tidak pernah ditemuinya," cerita bu Rani sambil menyeka air matanya.
"Daffa tinggal bersama ayahnya dan Dimas, kakaknya yang sekarang berusia tujuh tahun. Mungkin tadi Daffa keluar rumah untuk bermain bersama temannya tapi dijalan dia dirundung anak lain," jelas bu Rani.
"Lalu ayah dan kakak Daffa kemana bu sampai Daffa bermain keluar sendiri? Paling tidak ada orang atau pengasuh yang menjaga Daffa, Daffa kan masih kecil bu."
"Ayahnya jam segini pasti masih bekerja, Dimas mungkin belum pulang sekolah. Mereka tidak punya pengasuh, biasanya Daffa dititipkan ke rumah mbak Nur, neneknya," jawab bu Rani.
Fanny yang mendengar cerita bu Rani hanya mampu diam dan sesekali mengelus punggung bu Rani untuk menenangkan.
"Memangnya mengapa ayah Daffa tidak menikah lagi bu? Kasihan Daffa yang masih kecil dan membutuhkan sosok figur ibu," tanya Fanny hati hati.
"Entahlah nduk, ibu juga ndak tau. Pernah waktu itu Ardi, ayahnya Daffa sempat menerima perjodohan yang diatur orangtuanya, dan hampir saja menikah tapi entah kenapa tiba-tiba Ardi membatalkannya," jawab bu Rani sedih. Fanny hanya mengangguk, mungkin ada alasan tersendiri yang membuat ayah Daffa membatalkan pernikahannya.
"Ya sudah kalau begitu ibu mau telfon mbak Nur dan Ardi dulu kalau Daffa ada di sini, takutnya nanti mereka cemas Daffa tidak ada di rumah." Bu Rani beranjak diikuti oleh anggukan Fanny.
*****
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sembarang Janda
FantasíaKecelakaan di tempat kerja lalu tiba-tiba terbangun di dunia novel yang dialami Stefanny sukses membuatnya menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, termasuk transmigrasi. Bukannya mendarat di raga antagonis seperti impiannya Stefan...