9. Dewasa Sebelum Waktunya

7.5K 804 8
                                    

Pagi ini Fanny dan Bu Rani sedang dijalan menuju rumah budhe Nur setelah dari rumah bulik Ratmi untuk mengantar kue yang kemarin sore mereka buat. Untuk tetangga dekat bu Rani sudah mereka bagikan kemarin, tinggal membagikan untuk kerabat bu Rani yang rumahnya lumayan jauh dari rumah bu Rani, jadi pagi ini baru bisa mereka antar.

Beruntung bulik Ratmi tidak ada di rumahnya, beliau sedang pergi ke pasar, tadi yang menerima kue adalah anak beliau. Jadi tidak ada yang merusak mood Fanny pagi ini. Saat sudah sampai depan rumah yang kata bu Rani adalah rumah budhe Nur, mereka dikejutkan dengan suara tangisan anak kecil yang nyaring.

Segera bu Rani dan Fanny mempercepat langkah mereka memasuki rumah budhe Nur, "Assalamu'alaikum." salam bu Rani dan Fanny berbarengan.

"Wa'alaikum salam." budhe Nur keluar dan menjawab salam dengan Daffa di gendongannya yang masih sesegukan. Sepertinya suara tangisan yang tadi Fanny dengar adalah suara tangisan Daffa.

"Loh kenopo iki mbakyu kok cucu ganteng ku iki nangis?" tanya bu Rani hendak mengambil alih Daffa ke gendongannya, namun anak itu tidak mau. Putra bungsu Ardi itu malah mengulurkan kedua tangannya ke arah Fanny yang sontak walaupun bingung Fanny tetap membawa Daffa ke gendongannya. Ketika menemukan posisi nyaman Daffa langsung menyembunyikan wajah mungilnya ke ceruk leher Fanny.

Melihat itu budhe Nur menghela nafas pelan dan bu Rani yang terkekeh, "haduh haduh, rupanya posisi para eyang sudah tergantikan oleh kakak Fanny ya cu." gurau beliau.

"Sepertinya iya dik Rani, ayo monggo masuk dulu." budhe Nur menjawab gurauan bu Rani dan membawa tamunya untuk masuk dan duduk.

"Sebentar ya dik Rani tak buatkan minuman dulu." budhe Nur hampir beranjak namun dicegah bu Rani.

"Kok merepotkan mbak yu, aku kesini cuma mau ngantar kue, kemarin aku sama Fanny bikin banyak," ucap bu Rani menaruh bungkusan kue diatas meja.

"Loh yo aku ini yang merepotkan dik Rani, kenopo ndak di titipkan ke Ardi saja? Kan kemarin Ardi baru dari rumah dik Rani tho?" tanya budhe Nur heran.

"Yo ndak papa tho mbak yu, sekalian biar Fanny tau rumahnya sampean dan dik Ratmi," jawab bu Rani yang di angguki budhe Nur.

"Lha iki mau kenopo Daffa kok nangis mbak yu?" tanya bu Rani penasaran.

"Daffa iki mau minta diantar ke rumah sampean, pengen ketemu sama nak Fanny. Kemarin Ardi sempat janji bakalan antar dia, eh tiba-tiba ndak jadi. Katanya nanti takut merepotkan sampeyan dan nak Fanny, ya nangis lah anaknya," jelasnya.

"Lah yo ndak merepotkan tho, lha wong cucu sendiri kok repot. Malah aku senang rumah jadi rame. Lha terus kok ndak sampean antar saja?"

"Niatku sih begitu, tapi dik Rani tau sendirilah sifat Ardi bagaimana, dia keras kepala melarang aku mengantar anaknya, padahal anaknya sudah tantrum begitu," jawab budhe Nur menghela nafas berat.

Sementara dua wanita paruh baya itu sibuk berbicara, Fanny menepuk nepuk lembut punggung kecil Daffa yang ada di pelukannya. Dilihatnya Daffa, mata anak itu sudah mulai tertutup dan tak menunggu waktu lama bocil Ardi itu sudah tertidur pulas di pelukan Fanny.

"Bu, sepertinya Daffa tertidur karena kelelahan menangis," ucap Fanny pelan karena takut membangunkan Daffa.

"Maaf ya merepotkan nak Fanny, bisa tolong bawa Daffa ke kamarnya?" tanya budhe Nur yang diangguki Fanny.

Kemudian Fanny beranjak dengan Daffa yang tertidur pulas di gendongannya setelah melihat anggukan bu Rani, dia mengikuti langkah budhe Nur ke salah satu kamar untuk membaringkan Daffa ke ranjang.

Bukan Sembarang JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang