Pagi ini Fanny disibukkan dengan mengurus duo bocil yang pagi pagi buta sudah bangun. Layaknya ibu rumah tangga, Fanny memandikan Daffa. Untuk Dimas, bocah tengil itu mandi sendiri. Lalu memasak sarapan pagi, dan melakukan tugas seorang ibu lainnya.
Bu Rani hanya geleng geleng kepala, padahal dia juga ada dan bisa membantu Fanny memasak atau paling tidak memakaikan baju Daffa atau menyisir rambut Dimas, tapi semuanya dilarang oleh dua anak Ardi itu. Katanya mereka ingin merasakan bagaimana rasanya diurus oleh seorang ibu, jadi apa yang bisa dilakukan bu Rani selain menurut.
Fanny yang mendengar alasan itu pun sebenarnya kasihan pada kedua anak tersebut karena sudah ditinggal oleh sang ibu sejak masih kecil. Dan alhasil dia melakukan semuanya untuk Daffa dan Dimas agar kedua anak itu senang.
Perlahan naluri keibuannya keluar, membuat Fanny kadang merasa heran sendiri mengingat bagaimana dirinya dulu belum menikah dan mempunyai anak sampai berumur dua puluh tujuh tahun karena masih ingin fokus berkarir.
Namun sekarang, merasakan betapa senangnya dia saat masakannya dilahap antusias oleh mulut kecil itu, celotehan nya yang membuat Fanny gemas dan tertawa. Sanggup membuat Fanny merasakan kenyamanan yang tidak di dapatkan nya saat dia melakukan pekerjaannya dahulu.
Saat mereka semua sudah duduk di kursi meja makan masing masing, tiba-tiba terdengar suara salam dari arah luar. Bu Rani bangkit dari duduknya hendak melihat siapa yang bertamu pagi pagi begini. Tak lama bu Rani masuk dengan diikuti Ardi di belakangnya. "Sepertinya ayah kalian ndak betah di rumah sendirian ya," gurau bu Rani.
"Ayah!!!" pekik dua bocah tersebut turun dari kursi meja makan dan berlari menubruk sang ayah yang sudah berjongkok dan merentangkan kedua tangan nya.
"Para krucil nya ayah," ucap Ardi memeluk erat kedua putranya. Dimas yang tak suka dengan panggilan sang ayah pun protes, "Dimas bukan krucil ayah, adek itu yang krucil," ucapnya sambil menunjuk Daffa yang hanya mengedipkan matanya polos tak mengerti. Sontak bu Rani, Fanny dan Ardi pun tertawa melihat itu.
"Sudah sudah, kembali ke kursi kalian masing-masing. Ardi kamu pasti belum sarapan kan? Ayo kita sarapan bersama." ajak bu Rani yang ditanggapi senyuman canggung Ardi. Beliau mempersilahkan Ardi untuk duduk di meja makan.
Bu Rani kemudian tersadar kalau tidak ada kopi di meja makan, sedangkan setahunya keponakannya itu tidak bisa kalau tidak minum kopi. Menoleh ke arah Fanny beliau berkata, "Fanny tolong buatkan Ardi kopi ya," pintanya.
Fanny mengangguk lalu pergi ke dapur untuk membuat kopi. Beberapa menit kemudian Fanny datang dengan secangkir kopi ditangannya dengan asap yang masih mengepul, di taruhnya kopi tersebut di atas meja Ardi lalu dia kembali duduk di kursinya. Fanny juga berinisiatif mengambilkan sarapan untuk Ardi, "segini cukup atau tidak mas?" tanyanya memastikan.
"Cukup, terimakasih," ucapnya diangguki Fanny. Lalu Ardi mengambil piring yang sudah terisi nasi dan lauk yang di sodorkan Fanny.
Selesai membaca doa mereka memulai acara sarapan pagi. Apalagi dua anak Ardi, mereka berdua makan dengan sangat lahap sehingga membuat Ardi yang melihat itu geleng geleng kepala. Meskipun cuma nasi goreng dengan telur mata sapi, Ardi mengakui kalau nasi goreng buatan Fanny adalah nasi goreng yang paling enak yang pernah dia makan, mengalahkan masakan resto resto yang pernah dimakannya.
Sesekali Ardi juga melihat Fanny yang kadang menghentikan makannya untuk sekedar mengusap mulut dan tangan Daffa atau membenarkan makanan si kecil, hatinya lagi lagi menghangat melihat pemandangan itu.
Pemandangan itupun tak luput dari mata bu Rani. Beliau juga semakin yakin ingin menjodohkan Satria dengan Fanny. Dengan gerakan biasa beliau mengambil ponselnya yang ada di kantong daster nya kemudian diam diam memotret pemandangan indah tersebut dengan gesture seolah olah tengah bermain ponsel. Kebetulan tempat duduk bu Rani berhadapan dengan Fanny, sehingga memudahkan beliau untuk melakukan aksinya.
Selesai makan, Fanny menyiapkan bekal untuk Dimas bawa ke sekolah, lalu memasukkan nya ke dalam tas gendong anak itu. "Jangan lupa dihabiskan bekalnya ya," pesan Fanny.
Dimas mengangguk antusias dan berkata, "kakak tenang saja. Apapun itu selama masakan kakak pasti akan selalu perut aku tampung, apalagi bekalnya lucu dan imut sekali. Aku jadi ndak tega makannya," cerocos bocah itu.
Ardi yang melihat itu membayangkan, andai saja dia memiliki istri seperti Fanny, pasti pemandangan pagi ini akan selalu terjadi pada pagi pagi berikutnya di keluarga kecilnya.
Dengan masih menyeruput kopi hitam favoritnya. Ya, kopi buatan Fanny sudah menjadi favoritnya. Pokoknya apapun itu selama buatan Fanny, akan selalu menjadi favorit Ardi. Bibit bulol nya sudah mulai tercium ya gaes, wkwkwk.
Ardi kembali berandai. Andai saja Fanny bukan calon istri Satria, sudah pasti Ardi akan melamarnya saat pertama kali dia bertemu Fanny.
*****
Satria baru saja keluar dari ruangan meeting ketika ponselnya yang berada di saku celana bahannya bergetar. Mengerutkan kening, Satria penasaran foto apa yang ibunya kirim?
Dibukanya foto tersebut, dan terpampang lah foto wanita cantik yang sedang mengusap lembut mulut Daffa yang belepotan dengan latar ruang makan dirumahnya. Satria kemudian menggeser layar ke bawah untuk melihat tiga pesan sang ibu selanjutnya.
"Dia Fanny, wanita yang ibu ajak tinggal di rumah, sekaligus wanita yang ibu kenalkan sebagai calon istri kamu. Gimana? Cantik ndak le?"
"Sudah baik, cantik, pintar masak, keibuan lagi."
"Ibu suka sama dia. Ibu harap kamu mengerti maksud ibu yo le."
Satria menghembuskan nafas berat membaca pesan sang ibu. Jelas dia peka, orang pesannya kentara sekali kalau si ibu ingin Fanny jadi menantunya. Dan tentu saja siapa lagi korbannya jika bukan dia, karena memang Satria adalah anak semata wayang bu Rani.
Memang sih. Di foto tadi, wanita itu terlihat cantik dan keibuan seperti yang ibunya katakan. Tapi bukan berarti Satria langsung menyukainya, intinya semua butuh proses bro.
Saat sedang memikirkan nasib masa depannya yang ada di tangan sang ibu, Satria dikejutkan dengan suara berat seseorang dari belakang.
"Calon kamu?" tanya bos Satria, alias CEO perusahaan tempat Satria bekerja.
Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, Satria menjawab diiringi cengiran lebar, "bukan pak, itu tadi ibu saya."
"Saya tau. Maksud saya foto wanita yang dikirim ibu kamu," jelas si bos.
Satria membelalakkan matanya mendengar ucapan bosnya tersebut, "bapak mengintip pesan saya?" pekik Satria heboh lalu dia segera menutup mulutnya kala mendapati tatapan tajam sang bos.
Arjuna, bos Satria menatap kesal asisten merangkap sekretaris nya tersebut. Arjuna sampai heran kenapa bisa dia dulu merekrut Satria menjadi orang kepercayaannya?
"Saya tidak sengaja melihatnya, salah sendiri foto itu kamu perbesar," jawabnya ketus.
"Bukannya bapak tadi masih menelepon ya? Kok tiba-tiba sudah ada di belakang saya saja?" tanya Satria heran.
"Sudah selesai." beliau berlalu pergi dari hadapan Satria setelah mengucapkan dua kata yang tidak dipahami Satria.
"Percuma kaya, tapi ngomongnya irit. Mending biasa biasa saja tapi romantis seperti saya," cibir Satria ketika melihat punggung bosnya itu sudah menjauh.
*****
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sembarang Janda
FantasiKecelakaan di tempat kerja lalu tiba-tiba terbangun di dunia novel yang dialami Stefanny sukses membuatnya menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, termasuk transmigrasi. Bukannya mendarat di raga antagonis seperti impiannya Stefan...