Menjelang sore mobil Ardi baru sampai di depan rumah bu Rani. Sebelum pulang kerumahnya, Ardi memang berniat mengantarkan Fanny terlebih dahulu, baru setelah itu dia dan kedua putranya pulang ke rumah mereka sendiri.
Ardi membukakan pintu mobil untuk Fanny membuat Fanny tersentuh dengan perlakuan pria itu. Fanny yang hendak keluar dari mobil harus tertunda karena Daffa yang tertidur sejak tadi di pangkuannya tidak mau melepaskan pelukannya pada Fanny, padahal mata anak itu tertutup.
Melihat itu, Ardi memutuskan untuk masuk ke jok belakang dan berusaha membantu Fanny dengan mengambil alih Daffa dari pelukan Fanny. Namun, anak itu semakin erat memeluk Fanny dan menangis ketika hendak dipisahkan.
Mendengar tangisan adiknya, Dimas pun terbangun dan menyadari bahwa ternyata mereka sudah sampai di rumah eyang Rani nya. Dia melihat Ardi yang tengah kesusahan melepaskan Daffa yang menangis dari pelukan Fanny.
Dia segera bangkit dan ikut masuk ke jok belakang. Dengan jahil Dimas seakan tidak sengaja terjatuh dan menimpa punggung sang ayah, Ardi yang tak siap pun terdorong ke depan dan menimpa Fanny yang terbentur kaca jendela mobil dengan Daffa yang kini sudah terdiam ada ditengah tengah keduanya.
Sesaat mata kedua sepasang manusia itu beradu. Fanny merasakan jantungnya berdegub lebih kencang dari biasanya, pun begitu pula dengan Ardi, bahkan jantung pria itu seperti mau melompat dari tempatnya.
Dari jarak sedekat itu mereka bisa mengamati wajah masing masing. Ardi menatap dalam wajah cantik Fanny, merangkum dalam ingatannya wajah itu dengan mata yang memancarkan cinta, kekaguman dan ketulusan.
Sedangkan Fanny, dia baru menyadari bahwa ternyata Ardi termasuk lelaki yang tampan. Banyak bergaul dengan lelaki tampan di dunianya dulu karena tuntutan pekerjaan membuat Fanny terbiasa kala melihat setiap lelaki tampan. Namun kali ini rasanya berbeda. Ardi, lelaki itu mungkin tak setampan aktor terkenal di dunianya dulu, tapi pesona dan kharisma yang lelaki itu miliki mampu membuat Fanny merasakan perasaan asing yang selama ini di hindari nya.
Dimas yang melihat itu pun tersenyum lebar, rencananya berhasil. Kemudian dengan tengil anak itu meledek sang ayah dan Fanny yang masih dalam posisi itu, "ayah dan kak Fanny dilanjut nanti saja tatapannya, kasihan adek abang kejepit begitu." setelah berkata seperti itu Dimas langsung kabur dan masuk ke rumah eyang Rani nya.
Keduanya pun tersadar dan segera memperbaiki posisinya masing-masing. Lalu tanpa kata, Ardi langsung keluar mobil dan masuk ke rumah bulik nya, meninggalkan Fanny yang masih menenangkan diri dengan Daffa dipangkuan nya yang sedari tadi diam dan menatap bingung atas apa yang terjadi barusan.
*****
Fanny menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi, dia kembali mengingat kejadian tadi. Saat Ardi mencoba membantunya mengambil alih Daffa dari pelukannya dan membuat kulit mereka bersentuhan. Entah mengapa tiba-tiba dia merasakan gelenyar aneh tapi menyenangkan.
Apalagi saat dia dan Ardi tak sengaja terjatuh dalam posisi yang intim dan cara pria itu menatap nya dalam seakan memberi tau bahwa pria itu mempunyai perasaan lebih padanya juga sukses membuat perasaan Fanny jungkir balik. Intinya semua yang terjadi hari ini membuat Fanny menyadari dan bertanya tanya, apa mungkin dia mulai ada rasa pada Ardi? Entahlah, masih terlalu dini untuk Fanny menyimpulkan itu.
Saat keluar dari kamar mandi, Fanny menemukan Dimas dan Daffa yang tertidur kembali di ranjangnya. Apakah dua bocah ini akan kembali menginap lagi? Dan apakah selama itukah dirinya di kamar mandi sampai dua bocah itu tertidur?
Keluar kamar, Fanny berniat mencari bu Rani dan Ardi, mungkin? Jika pria itu memang masih disini dan belum pulang ke rumahnya. Tadi setelah kejadian itu Ardi memang belum pulang karena membujuk Dimas dan Daffa yang masih tidak mau pulang bersamanya.
Sedangkan Fanny izin ke kamar mandi. Tapi melihat Dimas dan Daffa yang malah tertidur di kamarnya tadi membuat Fanny menebak jika kedua anak itu bersikeras tidak mau pulang. Jika begitu maka seharusnya Ardi pun juga sudah pulang.
Setelah mencari bu Rani di seluruh ruangan, Fanny masih tetap tidak menemukan beliau. Apa mungkin beliau di luar? Fanny pun berjalan keluar dan menemukan mobil Ardi masih terparkir di tempatnya tadi. Fanny pun semakin bingung, jika mobilnya masih ada lalu dimanakah orangnya? Tak mungkin kan pria itu meninggalkan mobilnya disini?
Saat akan menghampiri mobil Ardi, samar samar Fanny mendengar seseorang menyebut namanya. Sontak Fanny langsung menghentikan langkahnya dan berjalan pelan untuk mencari tau dimana letak sumber suara.
Mencoba menajamkan indra pendengar nya. Fanny menemukan asal suara itu di samping rumah bu Rani, masih dengan langkah pelan dia bersembunyi di balik tembok dan melihat ternyata dua orang yang dicarinya sedang berbincang di sana, di samping rumah bu Rani yang ditumbuhi tanaman.
Namun, kenapa harus disana? Kenapa tidak di dalam rumah saja? Apakah ini pembicaraan yang rahasia sehingga tak ada orang yang boleh tau termasuk dirinya? Lalu kenapa namanya di sebut dalam pembicaraan tersebut?
Banyaknya pertanyaan di otak Fanny membuat Fanny semakin penasaran dan curiga. Selama ini dia terlalu santai, padahal dia tau tak ada yang bisa di percaya di dunia novel ini meskipun orang itu baik seperti bu Rani dan keluarganya. Memasang telinga baik baik, Fanny siap mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
"Ya, Ardi mencintai Fanny bulik," ucap suara laki laki yang bisa Fanny pastikan itu milik Ardi.
Eh, apa yang Fanny dengar barusan? Ardi? Menyukainya? Tidak tidak, bukan menyukai lagi, tapi sudah mencintai! Apakah telinganya bermasalah? Baiklah mari dengarkan lagi dengan seksama.
"Ardi jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat Fanny. Dan semakin jatuh saat melihat semua perlakuan serta ketulusan Fanny pada anak anak," jelas Ardi tegas tak ada keraguan.
Rasanya tubuh Fanny hampir limbung jika tidak berpegangan pada tembok setelah mendengar ucapan tegas Ardi.
"Tapi. Ardi tau batasannya bulik, karena Fanny adalah calon istri Satria. Dan Ardi tidak mungkin bisa jika harus merebutnya, sekalipun untuk anak anak." kali ini nada suara Ardi terdengar lirih dan sendu.
"Maafkan bulik karena tidak bisa membantumu kali ini. Satria juga anak bulik dan tentu saja bulik ingin Satria bahagia. Jika memang nantinya kamu dan Fanny berjodoh, pasti akan ada caranya. Tapi jika tidak, maka ikhlaskan Fanny bahagia dengan Satria ya le," kata bu Rani penuh sesal.
Apa ini? Apa maksud perkataan bu Rani pada Ardi? Kenapa bu Rani berkata seperti itu? Padahal kan beliau yang paling tau jika Fanny tidak ada hubungan apapun dengan Satria, anaknya.
Dan lagipula beliau sendiri yang membuat kebohongan seolah olah Fanny adalah calon istri anaknya, ya meskipun Fanny tau beliau melakukan itu agar Fanny bisa leluasa tinggal di rumah beliau. Tapi kenapa beliau terus mengatakan kebohongan itu disaat keponakannya sendiri sudah mengakui perasaannya pada Fanny. Mendengarnya entah mengapa membuat hati Fanny merasa tak terima.
"Ardi mengerti bulik, justru Ardi yang harusnya minta maaf karena sudah lancang mencintai calon istri sepupu sendiri, Ardi akan berusaha sebaik mungkin untuk melupakan Fanny."
Mendengar perkataan Ardi entah mengapa membuat hati Fanny juga sakit.
"Bulik ndak bisa menyalahkan mu le. Karena sesungguhnya perasaan seperti itu memang ndak bisa ditebak kapan akan datang dan kapan akan pergi. Kamu juga bukan Tuhan yang bisa mencegahnya. Hanya yang di atas yang bisa membolak balik kan perasaan. Jadi kamu jangan merasa bersalah ya le."
Sudah! Sudah cukup dia mendengarnya, Fanny tidak sanggup lagi. Semakin Fanny ingin mendengarkan perbincangan kedua orang itu, semakin sakit pula hatinya.
Kenapa hatinya ikut merasa sakit? Apa mungkin jika dia memang sudah menyukai Ardi? Secepat itu? Ah entahlah, Fanny tak tahu dan tak ingin memikirkannya sekarang.
Fanny butuh istirahat untuk menenangkan hati dan fikiran nya yang lelah dan kacau. Hari ini sungguh menguras energi nya. Dengan langkah lemas, Fanny memutuskan untuk masuk ke dalam rumah.
*****
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Sembarang Janda
FantasyKecelakaan di tempat kerja lalu tiba-tiba terbangun di dunia novel yang dialami Stefanny sukses membuatnya menyadari bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, termasuk transmigrasi. Bukannya mendarat di raga antagonis seperti impiannya Stefan...