2. Diri-ku, Untuk-mu.

356 33 2
                                    

Dia-ku, segalanya.

Habiba tersenyum tipis melihat judul yang tertulis dibuku hariannya. Ia tidak tahan untuk menuangkan segala rasa bahagia yang sejak kemarin mengiringinya.

Perlakuan Ghaza, suaminya. Manis, diam dalam melakukan tindakan spesial. Ah, rasanya Habiba tak akan pernah menemukan kata 'selesai' menuliskan segala hal tentang Ghaza.

Laki-laki yang ia pikir cuek, tak tertarik pada kesukaannya itu ternyata mendukung penuh impiannya. Ghaza diam-diam sering kali memborong buku-bukunya.

Habiba tak pernah manja pada keluarganya. Sebagai anak pertama perempuan, ia tak pernah bersikap layaknya perempuan pada umumnya.

Ia termasuk keras, mandiri dan berani. Kadang, sedikit bertingkah seperti lelaki. Secara otomatis juga, Habiba menjadi pembantu tulang punggung keluarga. Ia mau tak mau harus ikut mencari nafkah dan merelakan banyak impiannya.

Keluarga Habiba bukanlah orang yang kaya, seperti Ghaza. Ayahnya membuka toko sembako dengan bantuan sang Ibu. Kedua adiknya masih sekolah. Kala itu, ayahnya mengaku cukup berat menguliahkan Habiba sebab ekonomi mereka sedag anjlok.

Jadilah, Habiba merantau ke daerah Bogor untuk bekerja. Tak cukup sampai sana, ia memanfaatkan hobinya dalam menulis untuk mencari pendapatan tambahan.

Masyallah, buku-bukunya kala itu sukses besar sampai membuat Habiba memilih resign dan fokus pada dunia literasi. Digadang-gadang, Habiba adalah penulis pertama Indonesia yang bisa menjadi jutawan dari menulis.

Habiba terkekeh geli mengingat segala tingkah lakunya pada Ghaza, hanya pada lelaki itu. Ia bisa menjadi perempuan yang membutuhkan bahu seseorang. Habiba menjadi manja dan sangat terbuka pada Ghaza. Ia menceritakan hampir segalanya pada Ghaza.

Baginya, Ghaza bukan hanya suami. Ghaza adalah sosok yang Habiba tunggu dan harapkan selama ini. Ghaza adalah tempatnya pulang paling tepat. Tempat berlindungnya, tempat kedamaian. Ghaza adalah teman curhatnya, pendengar segala keluh kesahnya. Penyimpan rahasia tergelapnya. Ghaza-nya, segalanya.

Dan Habiba, sungguh tak menyisakan rasa untuk dirinya, kecuali pada Ghaza. Hati dan jiwanya, tak lagi miliknya. Semua dalam dirinya berada pada Ghaza.

Habiba melirik jam tangannya, sebentar lagi Ghaza akan pulang. Ia harus menyiapkan makan malam. Ghaza tidak seperti dirinya yang bisa makan apa saja. Suaminya itu tergolong pemilih.

Tapi baru juga sampai di pintu dapur, ponsel digenggamnya bergetar. Ada pesan dari Ghaza yang isinya bermakna, dia tak akan makan malam di rumah karena ada pertemuan.

Habiba mendesah pasrah, sudah sangat sering dan dia terbiasa. Habiba akan makan malam sendirian tanpa menunggu kedatangan Ghaza, karena Ghaza akan pulang larut malam. Lebih baik ia mengisi perutnya lebih dulu.

"Masak ramen aja deh."

Alih-alih membuat lauk-pauk, Habiba memutuskan untuk memasak makanan instan.

***

Perhitungan Habiba tepat, Ghaza baru kembali ke rumah kala larut malam, bahkan dirinya saja sudah tertidur pulas.

Mendapati sang istri tertidur di bawah sofa dengan keadaan laptop masih terbuka, membuat Ghaza menghela nafas.

Habiba sering sekali ketiduran jika sedang menulis. Dia bisa tidur dengan posisi duduk dan kepala di meja berjam-jam tanpa terganggu. Padahal Ghaza sudah sering memberikan nasihat agar Habiba tidur dengan posisi yang benar atau tubuhnya akan terasa sakit.

Ghaza menaruh tasnya di samping kepala Habiba. Lalu duduk di atas sofa, tepat di bawahnya Habiba masih tak terbangun. Ghaza memandangi wajah Habiba dengan tatap dalam.

Diaku, Luka-kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang