Ghaza melempar tubuhnya di sofa dalam ruangan kerjanya. Ditariknya dasi dengan kasar, sembari menghembuskan nafas gusar.
Dia habis 'dihajar' oleh Kairo di meeting penting dengan dewan komisaris. Proyek terbarunya yang semula disetujui oleh Kairo dan dipastikan akan segera berjalan mendadak batal.
Salah satu dewan itu juga menyindirnya amatir. Brengsek, itu bahkan dilakukan di depan Papanya sendiri.
Meski beberapa dewan, termasuk sang Papa masih memberikan Ghaza kesempatan untuk mematangkan kembali proyek barunya.
Hal yang cukup ditentang adalah, karena persaingan di dunia bisnis kosmetik / skincare cukup ketat. Apalagi ini adalah hal baru bagi perusahaan mereka untuk terjun ke dunia kosmetika.
Ghaza sudah memikirkan matang-matang idenya, dia telah mantap melakukan eksekusi dari ekspektasi bisnisnya. Sasaran dan pasar pun telah ditentukan. Bahkan alokasi anggaran.
Proyek ini tak ujuk-ujuk datang tanpa persiapan. Tim nya bahkan sudah jor-joran melakukan riset. Mencari dan terus mencari branding terbaik.
Ghaza bahkan menyiapkan tim sendiri untuk melihat pasaran skincare di dunia sosial media, khususnya Tiktok yang banyak sekali mereview produk kecantikan.
Wajah-wajah yang akan menjadi lambang kecantikan Januzaj pun turut dipertanyakan. Mereka memang sangat tertarik dengan ide berani Ghaza, tapi mereka pun sudah membayangkan respon dan reaksi orang-orang.
Di dunia bisnis kosmetik, Ghaza yang hendak terjun itu terlalu 'jujur dan transparan'. Kairo sempat mengusiknya dengan membandingkan perusahaan kosmetik lokal yang telah sukses besar hingga sekarang.
Januzaj Corp mulanya hanya fokus dibidang ekspor-impor. Kakek buyutnya yang melahirkan ide tersebut, sang Ayah kemudian melebarkan sayap bisnisnya hingga ke bisnis properti. Lanjut Kairo yang sukses besar saat mematenkan produk kemasan juga botol yang mudah didaur ulang dan aman bagi bumi. Lelaki itu bahkan mendapatkan penghargaan internasional.
Melihat pasar kosmetika yang semakin meningkat, Ghaza pun tak ingin kalah dari yang lainnya. Dia pun berpeluang besar untuk sukses dan menggapai mimpi-mimpinya, meski jalan yang ditempuh tak akan pernah mudah. Seperti sekarang, idenya belum di ACC oleh dewan komisaris, padahal Ghaza sudah mengantongi ide brilian.
"Adikku, kau masih bisa mematangkan kembali idemu. Jangan bersedih hati, pebisnis mana boleh punya sikap pesimis? Meskipun... kau sudah berkali-kali gagal."
Kalimat tadi terngiang-ngiang di benaknya. Meski terdengar seperti nasihat baik, Ghaza tahu persis kalimat itu adalah sindiran pedas yang dikemas manis oleh Kakaknya, Kairo.
Tok! Tok!
Ghaza menoleh kecil, sebelum dia menyahut, pintu sudah lebih dulu terbuka. Seseorang itu tampak bicara dengan sekretarisnya di luar, bilang terimakasih. Dan Ghaza kini tahu siapa yang mengunjunginya. Maka dia langsung bangkit berdiri, sebisa mungkin mengubah rasa kesal, sebal, kecewa, frustasinya dengan tampang biasa.
"Papa."
"Duduk lagi aja." balas Dirgas, menghampiri anaknya dan duduk tepat di sebelahnya.
Ghaza menurut. "Kenapa nggak panggil Ghaza aja? Biar Ghaza yang ke ruangan Papa kalau ada hal yang mau dibicarakan."
Dirgas menghela nafas, melirik dasi Ghaza yang tampak tak terpasang betul. Lantas dia menatap meja di depannya.
"Jangan kecewa berlebihan."
Deg
Ghaza termangu, agak bingung untuk merespon karena dia jelas tak ingin Papanya tahu perasannya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diaku, Luka-ku
SpiritualHabiba dan Ghaza sudah menjalani pernikahan hampir setahun kala sebuah rahasia yang disembunyikan sang suami terkuak. Meski Ghaza tampak dingin padanya, perhatian Ghaza yang kadang tak terbaca sukses membuat Habiba jatuh hati. Ia seakan tak menyada...