"Kenapa terus menunduk?"
Sabrina tersentak, sesaat mengangkat kepala lalu menggeleng kecil. Ia lanjut merapikan dasi suaminya pada posisi semula.
Kairo menyeringai. "Kamu tidak suka melihat Ghaza datang dengan istrinya? Atau kau tidak senang mendapatinya bahagia dengan perempuan lain?"
"Tidak, kak." sahut Sabrina pelan.
"Cemburu, Sabrina?" Kairo menarik dagu sang istri secara paksa. "Wajah murungmu itu mengganggu tau nggak?" desisnya, menekan pipi Sabrina kuat.
Sabrina meringis kecil, kemudian menepuk lengan Kairo. "Ma-maaf."
Kairo menyingkir ke sisi kanan, memilih membenarkan letak dasinya sendiri menghadap cermin. "Kamu tidak akan bisa bersama dengan Ghaza lagi, Sabrina. Camkan baik-baik itu." Kairo meraih tas ransel berisi laptop, lalu melewati Sabrina begitu saja. "Bahkan jika aku membuangmu, Ghaza tak akan sudi memilikimu kembali."
Setelah kepergian Kairo, Sabrina menunduk kecil dengan air mata yang mengalir dari sudut. Dia menghela nafas kemudian menyeka wajahnya sebelum menyusul Kairo cepat-cepat.
"Kak Kairo!" Sabrina setengah menjerit dari anak tangga. "Kak, bentar!"
Untunglah Kairo masih mau mendengarkannya. Lelaki itu berdiri, nyaris sampai ke pintu keluar.
Sabrina meringis, takut-takut melirik dapur yang mana terdapat Ibu mertuanya di sana. "T-tadi aku buat nasi goreng sosis buat kakak."
Kairo menyeringit, melirik pergelangan tangannya lalu menjawab singkat. "Makan saja sendiri."
Jawaban ketus begini bukan kali pertama Sabrina terima. Tetapi rasanya tetap saja sakit. Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas hatinya. Padahal, ia sendiri tahu persis Kairo tak punya perasaan apa-apa padanya.
"Ada lagi?" tanya Kairo dingin.
Sabrina menggeleng berulang, melepas Kairo seutuhnya. Lagipula, kala membuat sarapan untuk Kairo pun, dia tak berharap banyak pada lelaki itu. Sabrina membuatnya untuk tak membuat orang-orang rumah curiga mengenai kondisi hubungan mereka yang tak sehat.
Tetapi, baru beberapa langkah Kairo berjalan, kali ini suara cempreng Mamanya menggelegar. Kairo menghela panjang.
"Duh, untung masih sempat." Athena melirik menantunya yang terlihat gugup. "Duh, Bina. Lupa ya bekalnya masih di meja makan?"
Sabrina mengedip linglung. "Eh?"
Athena terkekeh, lalu menunjukkan kotak bekal berwarna merah muda ditangannya. "Ini, mau dikasih ke Kairo kan?"
"O-oh, i-iya." Sabrina melirik Kairo penuh perhitungan. "A-aku lupa."
Kairo meraih kotak bekal tersebut dari tangan Athena. "Ini pasti ide Mama kan?"
"Apa?" Athena melirik arah lain sambil bergumam pelan.
"Pemilihan warna kotak bekalnya. Ini jelas punya Medina." ucap Kairo dengan raut serius. "Mama tahu persis aku nggak suka warna pink."
Athena terkekeh geli. Kembali menatap sang putra yang jelas terlihat sebal pagi-pagi. "Kan warna merah muda itu manis, Kai. Bina warna kesukaannya juga pink kan?"
Sabrina tersentak sesaat, lalu mengangguk dengan wajah sumringah. "Bagaimana Mama bisa tahu?"
"Oh, dulu Ghaza pernah cerita tentang ka—"
Waduh! Athena melotot dengan ucapannya sendiri. Dalam hati dia merutuki diri. Tak sama sekali bermaksud akan membuat kondisi pasangan ini semakin sengit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Diaku, Luka-ku
EspiritualHabiba dan Ghaza sudah menjalani pernikahan hampir setahun kala sebuah rahasia yang disembunyikan sang suami terkuak. Meski Ghaza tampak dingin padanya, perhatian Ghaza yang kadang tak terbaca sukses membuat Habiba jatuh hati. Ia seakan tak menyada...