Suara gorden yang dibuka, diikuti dengan secercah cahaya mentari membuat Ghaza mengernyit dalam tidurnya. Lelaki itu tampak menggeliat dengan erangan kecil, lantas tubuhnya berbalik, menyembunyikan wajahnya ke arah bantal.
Habiba melirik kecil ke atas ranjang, Ghaza belum juga mau turun dari sana, ia mengikat rambutnya dan mematikan lampu serta pendingin ruangan.
"Mas, bangun." katanya, mengguncang sedikit lengan telanjang suaminya. "Katanya ada rapat pagi-pagi."
Ghaza mengedip-ngedip malas, dapat dilihatnya Habiba sudah rapi dan wangi. Dia memang sengaja lanjut tidur usai subuh, lantas meminta Habiba membangunkannya tepat jam 07.00.
"10 menit lagi." gumam Ghaza, kembali menutup matanya.
"Nggak ada." Habiba mengerutkan keningnya. "Mas?"
Meski Ghaza tidak pernah telat, kadang kalau malasnya kumat, dia sulit sekali dibangunkan. Seperti saat ini, Ghaza tidak terganggu oleh panggilannya.
Menatap wajah pulas Ghaza yang telah sepenuhnya tenang, Habiba terdiam sejenak. Satu tangannya berjalan untuk mengusap-usap rambut suaminya, yang mana membuat Ghaza semakin terlelap.
Ingatannya tentang kejadian kemarin melintas, bagaimana Ghaza dengan wajah datar membopong tubuh Sabrina ke sofa. Namun, hidup satu atap dengan Ghaza cukup lama membuat Habiba tahu, tatapan mata tajam Ghaza bergetar panik saat itu.
Belum lagi soal Mama mertuanya yang agaknya keceplosan mengenai masa lalu mengenai Ghaza juga Kakak iparnya.
"Dulu juga kamu ngumpet karena hendak dibawa ke rumah sakit oleh Papamu, Ghaza sampai kewalahan bujuk kamu."
Tanpa Habiba sadari, pergerakan tangannya terhenti saat kalimat itu lagi-lagi menyita perhatiannya. Apa maksudnya Ghaza sampai kewalahan membujuk Sabrina?
Apa mereka dulu sangat dekat? Tapi mengapa sekarang seperti asing sekali.
Jika Ghaza dan Sabrina mempunyai hubungan yang sangat dekat, kurang lebih mereka akan saling menyapa satu sama lain seperti teman lama kan? Bukan seperti yang selama ini mereka lakukan. Kaku dan sangat hati-hati.
Apa mereka menjauh untuk menjaga perasaan pasangan masing-masing? Ya, itu wajar. Bisa saja terjadi. Tapi entah mengapa, ada hal ganjal yang terus-menerus ia rasakan. Seakan, dirinya tak puas sebelum benar-benar mengetahui kebenaran yang sesungguhnya.
Wajah terkejut Mama, raut keras Kairo dan suaminya yang sampai meneguk ludah susah payah usai ucapan itu menguar semakin membuatnya merasa aneh.
"By? Habi?" panggil Ghaza, serak.
Habiba mengerjap kaget sebelum menunduk ke arah lelakinya. "Iya?"
Fyi, Habiba tidak mengartikan panggilan 'By' dari Ghaza sebagai 'Baby' tapi 'Bi' biasa. Karena penyebutannya mirip sekali dan Ghaza memang secara khusus tidak pernah memberitahu hal tersebut pada istrinya.
"Kok berhenti?"
"Apa?" balas Habiba, tak mengerti akan protesan sang suami.
Ghaza bergerak ke arah pangkuan Habiba, lantas mendekap pinggang ramping istrinya. "Usap-usap."
Ini perasaannya saja atau memang Ghaza lebih manja semenjak pulang? Apa lelaki itu tahu ya jika ia sedang menjauh, makanya Ghaza mendekatinya dengan cara begini?
Huh, kalau rayuannya sikap manis Ghaza sebagai gantinya, Habiba akan sulit untuk menolak.
"By?" panggil Ghaza lagi, karena Habiba belum juga mengusap kepalanya.
"Udah ah, nanti Mas malah tidur lagi."
Ghaza menggeleng kala Habiba hendak bangkit. Pelukannya mengerat. "Aku mau tanya sesuatu, boleh?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Diaku, Luka-ku
SpiritualHabiba dan Ghaza sudah menjalani pernikahan hampir setahun kala sebuah rahasia yang disembunyikan sang suami terkuak. Meski Ghaza tampak dingin padanya, perhatian Ghaza yang kadang tak terbaca sukses membuat Habiba jatuh hati. Ia seakan tak menyada...