5. Keresahan Hati

297 28 12
                                    

Sejak kembali dari acara makan malam keluarga, Habiba tahu ada yang tidak beres dari suaminya. Aneh, Ghaza semakin dingin hingga Habiba takut untuk memulai percakapan.

Keduanya menjadi bungkam, bahkan setelah sampai di rumah. Ghaza menuju ruang kerjanya, sedangkan Habiba ke kamar tidur mereka.

Ghaza memang pendiam, sedikit cuek dan dingin. Tapi selama ini, Habiba masih bisa mengimbangi dan berani mengajaknya bicara kesana-kemari. Hari ini, raut wajah Ghaza bertambah berkali-kali lipat lebih ngeri. Sampai Habiba pun merasa tidak nyaman sendiri.

Usai bersih-bersih sekaligus berganti pakaian, Habiba hendak mengambil air minum di dapur. Dia menghela nafas melihat diujung koridor lantai dua, pintu kerja Ghaza tertutup rapat.

Memikirkan Ghaza dan perilakunya yang agak beda membuat Habiba resah. Teringat ia dengan tatapan dalam Sabrina pada sang suami. Lalu bagaimana Kairo memandangi Ghaza seolah adiknya itu adalah ancaman bagi sesuatu yang belum sepenuhnya Habiba tahu.

Yang paling menyita perhatiannya adalah saat Ghaza mengepalkan tangan di bawah meja manakala Kairo dan Sabrina nampak begitu romantis—bagi Habiba begitu.

"Sedang apa?"

Habiba terlonjak, dia menghela nafas sambil menunduk ke arah gelasnya yang hanya ia pegang. "Mau ambil air."

Ghaza mengangguk singkat, memutari pantry. "Bisa buatkan aku kopi?"

"Malam-malam begini," Habiba menyeringit. "Mas mau lembur?"

"Hm, ada beberapa dokumen yang harus aku pelajari." sahut Ghaza duduk di kursi tepat di depan sang istri.

"Besok kan Minggu, Mas. Masih harus kerja juga?" tanya Habiba, agak gregetan.

Ghaza itu sedari muda memang sudah workaholic, bahkan tak dapat menghilangkan itu meski sudah menikah. Hal tersebut membuatnya jarang menghabiskan waktu bersama Habiba, untung saja perempuan itu tak banyak menuntut.

"Ada masalah soal untung dan rugi di perusahaan, Habiba. Aku harus menganalisa data, komisaris sudah berkoar sampai di telinga Papa."

Tapi melihat raut Ghaza yang murung terselip amukan, Habiba tahu bukan topik itu yang menjadikan suaminya kelihatan gelisah. Apa yang sedang menyerang ketenangan suaminya?

Kedua tangan Ghaza terlipat di atas meja, kepalanya terangkat lurus-lurus sesaat Habiba malah tercenung.

"Habiba, kopi ku?" ucap Ghaza, sedikit menyindir.

Habiba tersentak kecil, memilih membuatkan daripada berdebat dengan si pembuat keputusan tunggal ini.

"Mas, nggak lebih dari jam Dua belas malam ya?" perempuan itu kembali berkompromi.

Senyum tipis di bibir Ghaza tumbuh melihat Habiba masih berupaya melawan sisi keras kepalanya, melihat perempuan itu ngoceh sambil membuat kopi ternyata membuat sebagian diri Ghaza merasa tercubit.

Dan sepertinya Habiba tak akan menyerah begitu saja, sebab seraya menyerahkan gelas yang masih ditahan di tangannya, dia kembali mengingatkan.

"Janji, ya?"

"Sedikit agak larut mungkin."

Habiba mendengus. "Nggak aku kasih kopinya!"

Ghaza menghela nafas. "Baiklah, Habiha. Aku akan berusaha ingat waktu."

"Oke, aku bakal jadi alarm buat kamu." kata Habiba, membuat Ghaza tertegun sejenak.

"Nggak perlu, kamu tidur lebih dulu saja. Lelah kan? Jangan memikirkanku."

Diaku, Luka-kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang