3. Dia Yang Pertama

319 32 13
                                    

Selesai mengisi kelas menulis lewat online, Habiba menuju dapur untuk memasak makan malam. Sebelumnya ia sudah bertanya pada sang suami, apakah Ghaza akan pulang cepat atau tidak.

Dan kebetulan, hari ini Ghaza bisa makan malam di rumah. Habiba senang dengan keputusan itu, kesibukan Ghaza kadang kala membuat Habiba kesal.

Cukup lama Habiba berkutat di dapurnya, senyum tipisnya tercekat setelah menyusun lauk-pauk. Tinggal tunggu sang suami pulang dan mereka akan makan bersama.

Habiba memutuskan untuk bersih-bersih sebelum mandi. Lewat Magrib, ia masih percaya Ghaza akan pulang. Lalu, waktu Isya datang. Habiba mulai meragu sebab Ghaza tak kunjung terlihat, ia menaruh mukenah-nya.

Mengambil ponsel lalu menghubungi Ghaza. Diangkat pada dering kedua.

"Mas, nggak jadi makan malam di rumah?" tanya Habiba setelah mengucap salam.

"Aku lupa, Habiba. Maaf, ternyata pekerjaanku tak selesai dan kemungkinan besar aku lembur."

Ada secuil rasa kecewa di hati Habiba, meskipun ini bukan kali pertama, tapi rasanya tetap sedih sekaligus kesal karena usahanya jadi sia-sia. Habiba mengalah, menghela nafas berat.

"Ada masalah ya, Mas?"

"Mh-mm, ada yang salah dengan salah satu cabang perusahaan. Aku sedang meneliti dokumennya. Tidur saja duluan, ya."

Sungguh? Habiba melirik ke arah meja yang penuh. "Sama sekali nggak bisa pulang cepat?" dia masih berharap.

"Enggak bisa, lain kali kita akan makan malam bersama."

Sebuah rayuan Ghaza tak membuat Habiba senang. Dia terlanjur capek dan bersemangat. Tapi, keadaan memberikan kenyataan lain dari dugaannya.

"Yaudah, Mas." balas Habiba, singkat.

Nada suara Habiba yang kehilangan minat membuat Ghaza mendesah kecil di posisinya. Dia bisa merasakan istrinya keberatan.

"Kamu sudah masak banyak? Apa saja lauknya?"

Habiba menahan dengus. "Pulang saja kalau mau tahu." balasnya.

"Habiba, ini diluar perkiraanku."

Kenapa ia jadi cengeng begini sih? Habiba menyeka air matanya yang meluruh tiba-tiba. Entahlah, rasanya sulit sekali untuk mendekat ke arah Ghaza meski mereka telah menikah.

"Iya, Mas. Aku matiin ya, mau makan."

Nyatanya ia sudah kehilangan nafsu makannya. Habiba terduduk di depan meja, memandangi piring serta mangkuk yang sudah berisi lauk kesukaan suaminya.

Sayang sekali, masakannya mungkin akan terbuang pagi-pagi. Meski masih bisa dihangatkan, namun Habiba agak malas. Mood-nya sudah hancur duluan karena prediksinya gagal.

Ghaza sering sekali menggagalkan janji temu dengannya. Habiba sudah kebal, tapi rasanya tetap nyelekit.

Kadang dia heran, apakah Ghaza sesibuk itu sampai terus-terusan lembur di perusahaannya sendiri?

***

"Kamu ini gimana, Ghaza? Papa lihat dalam satu tahun profit kamu menurun."

Ghaza terduduk dengan wajah datar di hadapan Papanya, Dirgas Januzaj Asraf. Sebuah dokumen di taruh kasar di atas meja, Dirgas menunjuk tajam kertas tersebut.

"Ini jauh sekali dengan hasil beberapa tahun lalu, saat posisi CMO dipegang oleh sepupumu." Dirgas menahan dengus. "Kamu udah kalah saing jauh dari saudaramu, mau makin jatuh dari sepupu-sepupumu? Eyang bakal mendepak kamu dari CMO kalau kayak gini!"

Diaku, Luka-kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang