Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Semoga kalian semua sehat-sehat! Semoga kalian suka cerita ini. Mohon maaf sebesar-besarnya ✨
***
Pintu perpustakaan yang disabotase Habiba sebagai ruang pribadinya itu diketuk. Habiba yang tengah terpekur di depan meja kerja nya menoleh ketika pintu lebih dulu terbuka.
"Habi."
"Iya, kenapa, Mas?"
Ghaza berdehem. Hari ini dia memang memutuskan kerja dari rumah. Ada hal aneh yang mengganjal hatinya dan itu mengharuskan Ghaza berada di rumah untuk mengetahuinya.
Rasa aneh itu bermula dari sikap sang istri yang 'sedikit' berbeda. Setelah kejadian Sabrina pingsan dan Ghaza refleks menggendongnya dengan wajah panik, Habiba jauh lebih pendiam. Tidak merecokinya sama sekali atau bawel soal kebiasaan jeleknya.
Pagi tadi Ghaza bahkan sengaja menaruh handuk basah di atas kasur, ingin melihat respon istrinya. Tapi Habiba hanya melewatinya sembari menaruh handuk di tempatnya.
Belum selesai sampai sana, Ghaza iseng menumpahkan kopinya di atas meja. Yang bahkan mengenai taplak rajut kesayangan istrinya itu, Ghaza sudah bersiap jika Habiba meledak murka, tapi Habiba lagi-lagi hanya bersikap biasa saja. Meski raut wajahnya kelihatan sendu, dia tidak memarahi Ghaza sama sekali. Hanya membereskan ulah suaminya itu dalam diam.
"Lagi apa?" tanya Ghaza, seraya masuk.
Kening Habiba berkerut samar, tidak menyangka akan pertanyaan basa-basi itu —yang bahkan jarang juga Ghaza gunakan.
"Aku... lagi revisi naskahku."
Ghaza mengangguk-anggukkan kepalanya. Melihat-lihat sekeliling dengan wajah tegang yang semakin membuat Habiba heran.
"Ada apa, Mas?"
"Hm?" Ghaza balik melirik Habiba dengan alis terangkat.
"Mas mau kopi?"
"Enggak."
"Pengin nyemil?"
Kali ini Ghaza menggeleng. Dan Habiba ditimpa kebingungan.
Ghaza menghampiri istrinya yang masih duduk dan setengah tubuhnya berbalik ke arahnya. Habiba menyambutnya dengan kedua alis menyatu, lalu memberi ruang pada Ghaza yang tengah melongok laptopnya.
"Jadi Romantis Untukmu." Ghaza membaca judul bab.
Habiba berdehem, lantas menutup laptopnya begitu saja. "Ih, nggak boleh lihat-lihat. Naskahnya belum beredar, masih jadi rahasia penulis tahu!"
Ghaza melirik Habiba, lantas menatapnya tajam. Tapi seperti biasa, tidak pernah Ghaza memandangi Habiba dengan kilat dingin. Hanya saja, tatap elangnya sering kali disalahartikan.
Ghaza membungkuk di depan Habiba, menaruh sebelah tangannya di kepala atas kursi, dan sebelahnya lagi di sisi meja. Sempurna mengurung sang istri.
"Bagaimana caranya?"
"Hah?"
"Jadi romantis untukmu." kata Ghaza tepat di depan wajah Habiba yang perlahan memerah. "Bagaimana caranya, Habi?"
Apa sih? Kenapa tiba-tiba Ghaza begini? Aneh sekali.
"Habi? Katakan." tuntut Ghaza, tatap matanya begitu cerah.
"A-apa?"
Dan Habiba jadi gugup sendiri melihat Ghaza bersungguh-sungguh.
"Bagaimana caranya agar aku bisa romantis... Untukmu." Ghaza mengedip-ngedip, berdehem salah tingkah sebelum melanjutkan kalimatnya. "Hanya untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diaku, Luka-ku
SpiritualHabiba dan Ghaza sudah menjalani pernikahan hampir setahun kala sebuah rahasia yang disembunyikan sang suami terkuak. Meski Ghaza tampak dingin padanya, perhatian Ghaza yang kadang tak terbaca sukses membuat Habiba jatuh hati. Ia seakan tak menyada...