Habiba tak tahu apa yang membuat Ghaza menjadi lebih diam usai pulang dari kantor. Lelaki itu tampak gusar dan kusut. Bahkan Ghaza hanya mencicipi sedikit hidangan yang telah Habiba buat susah payah.
Telpon Ghaza yang tergeletak di meja makan berdering. Ghaza cepat-cepat menyambarnya, lalu menghela nafas panjang.
"Iya, Pah?"
"Ke sini."
Mata Ghaza terpejam. "Ada apa lagi?"
"Kamu jadi buat projek kecantikan?"
Ghaza mendesah. "Tentu, Papa pasti udah dapat laporannya."
"Papa mau denger langsung dari kamu. Kairo bilang kamu mengusung konsep transparansi. Kamu tahu kan risikonya? Cepat datang ke rumah, Papa nggak terima alasan."
Terkadang Ghaza seperti bercermin pada sikap Ayahnya. Keras kepalanya sudah pasti menurun dari Dirgas.
"Ini udah malam, Pah. Ghaza nggak bisa ninggalin Habi."
"Bawa istrimu ke rumah, Ghaza. Apa susahnya? Sekalian saja kalian menginap."
Oh jelas Ghaza menolak mentah-mentah ide itu.
"Nggak usah ngeyel dan mencoba membangkang Papa. Segera datang atau kamu akan tahu akibatnya!"
Kalau Dirgas sudah mengancam, apa yang dikatakan Papanya tidak akan main-main. Ghaza pernah dibotaki karena ketahuan merokok di bawah umur. Sampai sekarang, Ghaza jadi tak terbiasa merokok. Kecuali kondisi hati dan kepalanya tengah berantakan.
"Habiba, siap-siap. Kita ke rumah Papa." Ghaza berdiri dengan raut wajah tertekuk.
Habiba yang terkejut jelas mengejar suaminya. "Kenapa, Mas? Semua baik-baik saja kan?"
Ghaza mengangguk sekilas, berlalu dari hadapan istrinya tanpa merasa perlu menjelaskan lebih lanjut.
Sementara di tempatnya, Habiba mencoba kembali diam. Tak mau menuntut Ghaza yang kelihatannya tengah pusing masalah pekerjaan. Dia sebisa mungkin tak menambah beban pikiran suaminya, walaupun hatinya turut sakit oleh perlakuan Ghaza yang sering kali terkesan egois.
Melirik kearah meja makan yang penuh dengan lauk-pauk yang tak bisa juga menarik perhatian Ghaza, Habiba membuang nafasnya yang memburu.
Sayang sekali. Padahal dia sudah seharian penuh berkutat dengan alat masak. Tangannya sampai lengket oleh getah dan sedikit tergores kala memotong daun bawang. Dan itu semua tak dapat apresiasi apa-apa. Lelahnya menjadi sia-sia jika Ghaza tidak nafsu menelan makanannya.
Entah kenapa, meski seringkali makanan yang ia buat terbuang karena Ghaza, rasanya tetap saja menyesakkan.
Habiba membereskan lauk-pauknya, menaruhnya di lemari pendingin. Itu bisa dia hangatkan nanti. Hampir selesai Habiba membersihkan meja, Ghaza kembali turun.
"Bawa saladnya, aku mau."
Eh? Kepala Habiba terangkat seketika, melihat salad khas restoran hokben yang ia re-cook di rumah. Ghaza suka sekali dengan salad khas tersebut.
"Salad aja?"
Ghaza mengangguk. Menyuruh sang istri untuk cepat-cepat bersiap. Dia tak mau membuat Dirgas marah karena kelamaan menunggu. Dirgas itu seringkali hilang kesabaran kalau dengannya.
***
Ghaza dan Habiba tiba saat orang rumah telah selesai makan malam dan tengah menikmati waktu luang masing-masing.
Medina menonton di kamarnya, tak juga keluar kala Kakak laki-lakinya berkunjung. Sementara Kairo seperti tengah menunggunya di ruang keluarga. Kairo tak sendiri, di sisinya ada Sabrina yang tengah merajut serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diaku, Luka-ku
SpiritualHabiba dan Ghaza sudah menjalani pernikahan hampir setahun kala sebuah rahasia yang disembunyikan sang suami terkuak. Meski Ghaza tampak dingin padanya, perhatian Ghaza yang kadang tak terbaca sukses membuat Habiba jatuh hati. Ia seakan tak menyada...