Weekend biasanya digunakan Ghaza untuk beristirahat total. Dia tak menerima tamu ataupun rencana bepergian, kecuali dengan Habiba.
Namun, pagi ini—Mamanya menelpon dan meminta Ghaza untuk bermalam di rumah. Athena, agaknya kesal karena semalam Ghaza tak menemuinya.
Cukup lama tak bertemu anak keduanya itu membuat Athena dilanda rindu. Ia pun turut memahami perihal Ghaza jarang mengunjungi rumah.
Ghaza menarik diri dari kolam renang, dari posisinya ia bisa melihat Habiba tengah membuat sarapan.
Ya, pintu kaca yang menghubungkan rumah dengan kolam memang tembus ke dapur—yang tepat di samping kolam. Sesaat Ghaza mengeringkan rambut dan tubuhnya supaya tidak terlalu kuyup serta membuat lantai becek atau perempuan itu akan mengomel.
Benar saja, kakinya baru melangkah masuk ketika Habiba tiba-tiba mengangkat kepala dan meliriknya tajam.
"Mas, kakinya kering kan?"
Ghaza menarik kembali kakinya untuk berada di luar, kemudian melihat ke bawah lalu mengangguk.
"Kamu pakai baju aja. Aku siapin makanannya."
Cepat-cepat Habiba berbalik ke arah belakang. Berpura-pura mencari sesuatu di salah satu rak, ia jelas menghindari tatapan serta pahatan tubuh Ghaza yang liat.
Meskipun sudah pernah melihat Ghaza dalam kondisi yang lebih terbuka dari ini, rasanya tetap saja malu. Lagipula, mengapa Ghaza tak langsung ke kamar dan malah berjalan ke arahnya hanya dengan handuk di pinggang?!
"Mau langsung makan." kata Ghaza.
Habiba terbelalak masih memunggungi Ghaza. Apa maksud suaminya itu? Apa dia tengah menggodanya?
Oh, Habiba tak akan bisa fokus jika Ghaza menghadapnya dengan tampilan yang—ugh—seksi. Lelaki itu seakan tak menyadari kelakuannya.
Mencoba tetap tenang, Habiba menarik nafas dan berbalik. Namun, nafasnya itu seketika tersangkut di tenggorokan mendapati Ghaza duduk di bangku depan kompor listrik.
Lelaki itu memang mempunyai pesona mematikan. Ketenangan Ghaza berbalik dengan reaksi lucu Habiba.
Wajah perempuan itu memerah melihat Ghaza menyugar rambutnya yang masih basah dan sedikit-sedikit meneteskan air, apalagi kondisi dada dan perut Ghaza yang—Astaga! Apa yang dipikirkannya sih?!
Buru-buru Habiba menggeleng kecil dan kembali memasak toast. Ia tak kunjung bisa kerja dengan leluasa karena tatapan mata Ghaza.
"Mas, mending Mas pakai baju dulu deh." ucap Habiba pada akhirnya.
Alis Ghaza naik satu. "Kenapa?"
Kenapa katanya?! Ya ampun!
"Nanti Mas masuk angin. Sana pakai baju!" pinta Habiba, sedikit putus asa.
"Oh, enggak akan."
"Ih!" Habiba tiba-tiba menaruh pisaunya, ia memandangi Ghaza dengan sedikit gugup. "A-aku nggak fokus diliatin Mas Ghaza." cicitnya.
Sejenak Ghaza terpaku, namun tak lama dari itu, bibirnya menarik sebuah senyum ganjil. Ia menaruh satu tangannya di atas meja, lalu bersandar di atas sikunya. Tatapan Ghaza lurus pada Habiba.
"Nggak fokus aku liatin atau nggak fokus ngeliatin aku, hmm?"
Dalam diamnya, Ghaza merasa puas mendapati pipi Habiba merona. Ia menunduk pelan dengan tawa kecil, lalu menggeleng maklum.
"Ish! Mas jangan ganggu aku masak pokoknya." omel Habiba, menunduk rikuh.
Ghaza bangkit dengan kedua tangan bersandar di meja. Tubuhnya kini sedikit condong ke arah istrinya, bahkan Ghaza membiarkan rambutnya yang masih meneteskan air itu membasahi meja. Satu tangan Ghaza terulur, menarik dagu Habiba lalu bilang. "Jangan terlalu menggemaskan kalau nggak mau aku terkam pagi-pagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diaku, Luka-ku
SpiritüelHabiba dan Ghaza sudah menjalani pernikahan hampir setahun kala sebuah rahasia yang disembunyikan sang suami terkuak. Meski Ghaza tampak dingin padanya, perhatian Ghaza yang kadang tak terbaca sukses membuat Habiba jatuh hati. Ia seakan tak menyada...