9. Sesal

448 22 5
                                    

Malam semakin larut dalam keheningan. Rasa dingin seakan menembus kulit. Di sebuah kamar, sunyi senyap menjadi teman setia seorang lelaki.

Ghaza asik merenungi perbuatannya beberapa jam lalu. Duduk di pinggir ranjang dengan tangan saling bertautan. Ia menghela nafas, gusar itu terus menggerus relung hatinya saat menatapi raut terlelap sang istri.

"Habi..." bisik Ghaza, lirih. "Aku minta maaf, by."

Habiba yang memang sempurna tertidur itu tampak tak terganggu sedikit pun. Melihatnya, entah mengapa Ghaza merasa kasihan.

"Aku mencoba, Habi. Aku mencoba buka hatiku untukmu." lanjut Ghaza, menyusuri wajah Habiba dengan jemarinya. "Sabar ya, sabar sedikit lagi." lanjut Ghaza, kemudian mengecup kening istrinya lama. "Aku akan pelan-pelan berjalan ke arahmu sepenuhnya."

Perbuatan Ghaza yang satu itu rupanya membuat Habiba terusik, perempuan itu mengerjap-ngerjap mendapati sang suami begitu dekat dengannya.

"Mas..."

"Hmm?"

Baru juga akan bangun, bahunya kembali ditahan oleh Ghaza. "Tidur lagi."

Habiba berhasil membuka matanya meski berat. Ia mendapati Ghaza tampak masih sangat segar. "Kamu belum tidur?"

Ghaza menggeleng, merebahkan tubuhnya di sisi Habiba masih dengan setengah tubuhnya merangkap wanita tersebut.

"Kenapa susah banget tidur awal sih, Mas?" tanya Habiba.

"Nggak tahu."

Kedua tangan Habiba lalu terulur ke belakang kepala Ghaza. Dengan lembut ditariknya leher sang suami untuk ia dekap di dadanya. Tangan Habiba mengusap-usap rambut Ghaza lembut.

"Baca doanya. Terus tutup mata kamu." bisik Habiba.

Ghaza yang tercekat malah menarik kepalanya lebih ke atas. Mendusel tepat di ceruk leher istrinya. "Kalau kamu begini, aku makin nggak bisa tidur, Habi."

"Apa?" Habiba belum nangkap maksimal maksud suaminya.

Terkekeh, mencium sekilas pipi Habiba, Ghaza pun memilih meredam hasratnya. Sentuhan lembut Habiba di kepalanya berangsur-angsur lebih pelan dan kelopak mata Ghaza kian memberat. Ketika sepasang matanya perlahan tertutup, Ghaza setengah sadar merasakan keningnya dicium lembut.

"Selamat tidur, jagad rayaku."

***

"Gimana rasanya kembali ke pelukan mantan?"

Deg

Sabrina baru juga mengunci pintu kamar usai suara berat yang dikenalinya itu menyapa. Ia bahkan belum berbalik badan, tapi seluruh tubuhnya tegang duluan.

"Kangen banget ya? Erat banget tadi pelukannya."

Sindiran tersebut kembali menguar bagai ancaman. Sabrina memejamkan mata, perlahan memutar tubuh dan menemukan Kairo tengah terduduk dengan segelas minuman di tangannya.

Mata lelaki itu menyerangnya lurus-lurus. Meski bibirnya tertarik miring, sorot mata hitamnya terasa dingin sekali. Nyaris membuat Sabrina bergidik ngeri.

Kairo menenggak habis wine di gelasnya. Lantas menaruh kasar gelas tersebut di meja hingga berbunyi nyaring. Lelaki itu bangkit cepat, kemudian menghampiri sang istri yang tertunduk dengan wajah pucat.

"Aku cuma bakal tanya sekali, sayang. Jawab pertanyaanku dengan jujur, oke?" Kairo menarik pinggang Sabrina lalu menepuk-nepuk pipi wanita itu pelan. "Kamu atau Ghaza yang berinisiatif memeluk duluan?"

Diaku, Luka-kuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang