bab 19 (18 kbm

524 155 11
                                    

Aya tidak memiliki sayap, tapi dia merasa bisa terbang ke manapun yang diinginkan, kepalanya mendongak ke atas. Memandangi langit biru. Burung-burung berkicau di atas kepala.

Matanya terpejam, merasakan hembusan angin laut yang menerpa wajahnya, rambutnya berkibar terbawa angin.

"Ruhi, kita akan bertemu lagi."

Aya tersenyum, dia membuka mata. Memasukkan ponselnya ke saku dan turun dengan meloncati pagar. Dia harus menyiapkan pelarian sekarang.

Aya meminjam salah satu kapal milik Kapten Siluet, dia melakukan perjalanan dengan membawa politikus itu ke Brunei Darussalam, dari sana politikus itu bisa mencari tempat yang aman lewat jalur darat maupun udara.

"Apa kita akan berpisah di sini?" tanya pria paruh baya itu.

"Iya, kau bisa naik pesawat ke tempat yang kau inginkan. Sembunyilah sampai keadaan tenang."

"Aku akan membayar mu lebih, jadilah pengawal ku sampai keadaan membaik."

Aya menggeleng, dia harus segera pulang. Arkam dan Ruhi menunggunya.

"Sampai jumpa," ucap Aya. Dia memakai tudung, berjalan ke salah satu gate. Dia akan melakukan penerbangan ke Indonesia siang ini.

Pria itu melihat punggung Aya menjauh, dia ikut berbalik, harus ke Amerika dan meminta perlindungan di sana. Dia adalah orang penting yang akan bersaksi di sidang PBB. Nyawanya menjadi incaran orang-orang bersalah yang mengembangkan senjata biologis.

"Aku tidak akan melupakan jasamu, Sweetia."

Pria itu tersenyum, mengingat betapa Aya saat menjaganya. Hal itu mengingatkannya pada putrinya yang sudah meninggal. Kalau masih hidup mungkin akan seumuran Aya.

Setelah berpisah dengan kliennya, Aya naik pesawat dengan identitas palsu, dia memiliki banyak paspor dan nama samaran. Sepanjang perjalanan pulang, ia melihat keluar jendela.

Awan begitu indah dengan matahari yang hampir tenggelam. Aya tersenyum melihat keindahan dunia dalam kedamaian.

Sesampainya di bandara, ia tidak menyangka Arkam menjemputnya, pria itu tersenyum hangat sembari melambaikan tangan.

"Sebelah sini!" Teriak Arkam.

Aya berjalan santai menghampirinya, baru pertama merasakan dijemput setelah pulang dari menjalankan misi.

"Ayo makan dulu, aku laper."

Arkam mengambil tas ransel Aya, berjalan duluan sembari membicarakan bebek goreng. Arkam tidak tanya tentang misi Aya, tidak juga protes kenapa Aya baru pulang.

"Aku dengar restoran yang baru buka itu enak," ucap Arkam. Mereka berjalan beriringan.

Aya menoleh ke samping, pria berwajah tampan itu jauh lebih tinggi darinya. Tidak pernah mempermasalahkan kehidupan Aya.

Tiba-tiba Arkam mencondongkan tubuhnya, berbisik ke samping telinga Aya.

"Boleh nggak aku pegang tanganmu?" tanya Arkam sopan.

Mereka suami istri, tidak perlu meminta izin untuk pegangan tangan. Aya mengangguk. Arkam langsung tersenyum, dia mengambil tangan Aya dan memegangnya erat.

"Tanganmu dingin banget, pasti di pesawat kamu nggak pakai selimut."

"Pakai," kata Aya.

"Tapi dingin, kalau aku genggam gini pasti jadi anget."

Tidak hanya tangan, tapi hatinya juga ikut menghangat. Dia suka berjalan santai seperti ini sembari pegangan tangan. Membuat ia merasa sama seperti orang lain.

kamuflaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang