8. GELISAH

6 3 0
                                    

Ayo tambahan cerita ini ke perpustakaan kalian biar nggak ketinggalan update, jangan lupa rekomendasikan ke teman kalian jugaaa🐔💋
Happy reading and enjoy!!

-

-

-

Jika benar ini mimpi, maka tolong bangunkan Xera. Really, it's the first time we've seen blood, melihat mayat yang sudah tidak bernyawa, seakan menonton film horor yang berefek ke dunia nyata. Wajah pucat berlumur darah, dan bagian tubuh yang sudah tak lengkap, malang sekali nasib mayat itu.

Semalam, baik Xera maupun Kate tidak bisa tidur nyenyak, bahkan makanan yang mereka beli dari supermarket belum tersentuh. Waktu menunjukkan pukul dua pagi, keduanya terlihat ling-lung dengan tatapan kosong. Berkemas membereskan barang-barang saja tidak, tubuh keduanya terasa kaku untuk melakukan aktivitas.

"Xer," panggil Kate memecah keheningan. Xera berbalik, kantung matanya terlihat jelas.

"Lo punya trauma baru di negara ini?"

Hening.

Awalnya memang Xera sangat mengagumi negara ini, sanjungan serta pujian terus ia lontarkan saat takjub akan suatu hal yang baru ditemui. Namun mengapa berakhir mencekam? Kenangan buruk yang baru saja memasuki memorinya, menyimpan piringan hitam baru yang kapanpun siap diputar.

Mengintip dari balik dinding, menahan nafas serta jantung yang rasanya pindah posisi.

"Kita harus lapor polisi, Xer. Kalo nggak, mungkin situasinya bakal tambah buruk," ucap Kate dengan suara kecil.

"Kalo misalkan kita dituduh sebagai pembunuh yang mau menutupi kasus kejahatan gimana? Lo tau, kan kalo kita bukan lagi di Indonesia."

"Ya, terus kita harus gimana? Gue nggak tenang setelah lihat kejadian itu, apalagi rasanya sulit banget buat ngelupainnya. Dia pembunuh! Nyawa kita bisa jadi taruhannya." Kali ini keduanya mulai beradu argumen.

"Mending kita tutup mulut aja, pura-pura nggak tau tentang pembunuhan itu."

Mata Kate melotot.

"Lo gila?! Dalam hitungan beberapa jam lagi kasus pembunuhan itu bakal masuk berita," ucap Kate terlihat frustasi.

"Ya terus harus gimana lagi? Negara ini jelas beda sama negara kelahiran kita, kalo kita lapor polisi bisa aja agen FBI langsung nyangka kita yang nggak-nggak. Walaupun cuman hipotesis, tapi setidaknya mereka punya pertimbangan," jelas Xera.

"Jangan nanya gue, Xer. Otak gue yang kecil ini nggak paham. Niatnya kita ke sini mau refreshing, tapi malah gini akhirnya."

"Kalo aja gue nggak kepikiran soal jalan pintas kemaren, mungkin sekarang kita lagi senang-senang di pantai," sambung Kate, menyalahkan dirinya sendiri.

Tidak sepenuhnya salah Kate, seharusnya Xera juga mengutarakan firasatnya sebelum memasuki gang. Sudah tak bisa tidur nyenyak, sekarang harus menanggung beban pikiran pula.

"Xer? Lo kok diem sih?"

"Lo nyuruh gue mikirin jalan keluar sedangkan lo sendiri bukannya bantuin malah mendesak gue, lo masih waras 'kan?" Nada bicara Xera naik beberapa oktaf, mungkin efek pikirannya yang sudah tak bisa lagi diajak tenang.

Kate menghela nafas, ia beranjak membuka jendela kamar. Mengapa liburan yang sangat ia tunggu harus berakhir seperti ini, ia belum mendapat banyak foto untuk bisa dipamerkan, dan ia juga belum memiliki foto yang bagus jikalau dirinya memang harus berakhir ditangan pembunuh ganas itu.

"Eh, Xer. Lo mau ke mana pagi-pagi gini?" tanya Kate saat berbalik hendak mengambil camilan di kantung belanjaan.

"Kita kemas barang-barang. Jadwal penerbangan nanti jam tiga, kita harus udah siap. Secepatnya kita harus pergi," jawab Xera sibuk melipat baju ke dalam kopernya.

"Jadi ... rencana lo apa?"

"Kita harus pergi secepat mungkin. Lo bilang kalo berita pembunuhan itu bakal muncul di televisi dalam beberapa jam lagi, kan? Setelah berita itu menyebar, kita harus udah ada di Bandara, walaupun kita nggak bisa mempercepat waktu penerbangan. Setidaknya kita udah punya persiapan," jelas Xera menatap Kate mantap.

Menyetujui ucapan Xera, Kate juga segera mengemasi barang-barangnya. Walaupun kabur dari sebuah permasalahan tidak sepenuhnya berakhir baik, setidaknya ada usaha yang dilakukan, karena jika berurusan dengan seorang pembunuh bukanlah soal harta, melainkan soal nyawa yang akan menjadi taruhan.

°°°

Xera dan Kate saat ini sudah berada di Bandara, mereka datang jauh lebih awal dari jadwal penerbangan. Kate yang fokus dengan camilannya, dan Xera dengan laptopnya. Gara-gara melihat pembunuhan kemarin, rencananya untuk kembali mengetik naskah novel harus tertunda.

Berada di Bandara ia merasa sedikit tenang, banyak orang yang berlalu-lalang, jadi jika pembunuh itu datang kemari ia bisa meminta bantuan.

"Jadwal terbang kita jam berapa, Xer?" Kate membuka pembicaraan, gadis itu tengah mengunyah permen karet dengan perasa stroberi.

"Sekitar jam tiga, masih lama banget," jawab Xera tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.

Terdengar helaan nafas dari mulut Kate, sekarang bahkan belum tengah hari. Apakah ia akan bertelur jika terus duduk di kursi tunggu yang terbuat dari besi ini? Rasanya tidak nyaman.

"Sabar aja, ini juga demi kebaikan kita. Andai kita nggak cepet-cepet ke sini, bayangin aja gimana kalo pembunuh itu dateng ke hotel nodongin pistol ke kita?" Xera memangku dagunya dengan tangan kanan. Pikirannya kembali berkecamuk, bagaimana jika pembunuh itu benar-benar mengetahui bahwa keduanya memergokinya.

"Menurut lo, pembunuh itu bakal tau nggak kalo waktu itu kita liat?" tanya Kate.

Xera menggeleng. "Gue nggak tau, tapi semoga aja dia nggak denger suara lo. Kemarin kalo aja gue nggak nutup mulut lo, kita kayanya udah mati," jawab Xera disambut senyuman kikuk oleh Kate.

"Sori, ya. Gue kemarin kaget, ini kali pertama gue liat pembunuh secara langsung."

"Gue juga."

Hening.

Xera membuka totebagnya, ia mengambil botol air putih lalu meneguknya hingga tandas.

"Lo mau ke mana?" tanya Xera melihat Kate berdiri.

"Gue kebelet, ke toilet bentar ya? Jangan ke mana-mana," ucap Kate diangguki Xera. Gadis itu segera berlari kecil menuju toilet.

Setelah Kate pergi, Xera memutuskan untuk kembali membuka laptop. Masih banyak ide yang harus ia tuangkan ke dalam naskah, jari lentiknya segera menekan abjad keyword.

"Excuse me, could you come with us? We're from the Perth Police." Xera melirik ke arah suara itu berasal, terdapat tiga orang pria dengan seragam polisi.

"Me?"

"Yes, of course, you and your friends have to come with you to the police station. There are a few things you need to explain," ucapnya nyaris membuat firasat Xera semakin tak enak, apakah ia dengan Kate benar-benar dalam hal rumit ini?

Lama berdiam, deheman membuat Xera mengedipkan matanya. "You don't need to worry, we just need information."

"The killer wouldn't be targeting me, would he, Sir?"

"Of course not, the police will protect you."

"Cepet nyusul gue, Kate." Batin Xera kembali bergumam, sepertinya ia terpaksa pamit terlebih dahulu ke kantor polisi. "My friend is in the toilet," ucap Xera pasrah saat kedua polisi menggiring dirinya.

-

-

-


Jangan lupa vote!!!
See you 💗

Surprise To Perth [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang