Chapter 19 = I'm Your Man

1.3K 179 38
                                    

*
*
Tandai setiap typo yang kalian temukan
*
*
Jangan lupa absen ya, itung-itung mau liat respon kalian soal ff ini 🥰
*
*
Happy Reading

____________

Sakura melangkah pelan, pandangannya lurus kedepan menatap punggung sepasang suami istri yang terlihat harmonis itu. Dia merindukan ibunya, apakah ibunya baik-baik saja sekarang?

Sejak kecil Sakura menyimpan rasa iri pada teman-teman sekolahnya yang bisa begitu akrab dengan orangtuanya. Ibunya memang peduli padanya tapi sikap dan aturan ketat yang dibuat ayahnya membuat hubungan mereka canggung. Dibandingkan sekolah, ayahnya lebih mementingkan mendidik putrinya agar sempurna dalam urusan rumahtangga. Ibunya hanya tersenyum dan mengelus puncak kepalanya ketika melihat Sakura kecil bangun pagi-pagi sekali untuk membantu ibunya memasak dan membersihkan rumah.

Mereka termasuk keluarga yang bercukupan secara finansial, tetapi untuk memiliki asisten rumah tangga, ayahnya enggan untuk memiliki. Sakura kecil yang memang memiliki kepintaran melebihi teman-teman seusianya, paham jika apa yang ditanamkan oleh ayahnya bukanlah sesuatu yang benar. Dimulai dari sikap ketidakpedulian ayahnya pada ibunya, prinsip kepala keluarga hanya bertugas mencari nafkah saja, hingga pemikiran ayahnya yang selalu percaya bahwa perempuan tidak akan bisa setara dengan laki-laki. Ibunya yang hanya lulusan sekolah menengah tidak berani untuk menuntut lebih pada suaminya karena ibunya pun korban dari pola pikir patriarki.

Semenjak kecil hingga Sakura akan lulus sekolah menengah, dia sudah sering melihat ayahnya bertingkah seperti boss di rumah, bahkan ketika ibunya sakit, ayahnya tetap tidak mau membantu mengurus rumah, walau itu hanya membuat kopi untuk dirinya sendiri, bahkan tak jarang kata-kata pedaslah yang keluar dari mulut ayahnya, "Kau sakit? Jangan sampai menulariku dan Sakura" atau "Jika aku harus merelakan beberapa yen uangku untuk membereskan kekacauan di rumah ini, lalu untuk apa kau ada di sini? Hei istri.. bukan kah itu tugasmu!"

Dirinya benar-benar dibuat muak dengan segala prinsip dan tingkah laku ayahnya, sudah cukup budaya patriarki mengalir di keluarganya, dia tidak akan bernasib seperti ibunya yang tidak dihargai dan hanya dianggap ekor semata oleh pasangannya. Tapi.. jika itu ekor cicak? Bukankah masih ada harapan untuk memisahkan diri dari sang induk parasit?

Emeraldnya bergulir ke arah kiri, entah apa yang ada dipikirannya kali ini. Mata hijau itu terlalu semu untuk dibaca, sedih, bingung, takut, rindu, ragu, semua beradu menjadi satu. Ia ingin mempercayai laki-laki di sebelahnya ini dengan sepenuhnya, tapi kenapa masih ada yang mengganjal di hatinya. Ayahnya dan Gaara memiliki peran penting dalam membentuk kepribadiannya kali ini. Benar! Tidak semua laki-laki itu sama, tapi apa jaminannya?

Sasuke menutup panggilan telepon dari Juugo, pekerjaannya di Jepang tidak bisa ditinggal lebih lama lagi sepertinya. Apakah ini saatnya ia say goodbye pada si Kuning Naruto? Ohh tidak..! itu terdengar seperti dia akan segera mati, dia tidak boleh mati sebelum berhasil menikahi Sakura. Dia menginginkan anak masa depannya dengan Sakura berambut hitam dan pink.

Sasuke menolehkan wajahnya pada Sakura, yang mana Sakura juga tengah menatapnya. "Ah maaf, aku terlalu lama menerima telepon, yah?" Jika kakeknya mendengar kata maaf terlontar berulang kali dari mulut cucu ayamnya ini, mungkin saat itu juga kakek Madara mengira ajalnya sudah dekat.

"Aa tidak kok, tapi ku rasa kita harus cepat-cepat menemukan kafe. Kita hampir membeku" Sebenarnya itu merupakan ide Sasuke, yang ingin mengajak Sakura jalan-jalan di bawah salju, anggap saja kencan ala-ala remaja pubertas. Tapi siapa sangka suhu udara menurun drastis begitu mereka sudah cukup jauh berjalan dari hotel.

"Hn, ku rasa ada kafe yang memiliki coklat panas enak di depan sana" ucap Sasuke sambil merapatkan mantel Sakura dan merangkulnya agar mengurangi rasa dingin yang menerpa kekasihnya.

Patriarki (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang