6. terlupakan

4 2 0
                                    

" Mbak "
Panggil Akmal lirih. Sekarang ia sudah merasa baikan. Dan dokter pun sudah memperolehkannya pulang. Mendengar panggilan itu Farah langsung mendekat. Ia yang semula sibuk membereskan barang bawaannya selama hampir seminggu menemani Akmal di rumah sakit hingga anak itu benar-benar sembuh. Selama itu pula Fizan menjadi tanggung jawab Bila.










Farah juga menyempatkan pulang pergi agar sang majikan tak marah padanya kalau ia hanya mengurus Akmal saja.
Selama seminggu ini pula. Stevano dan Bila sering berkunjung. Itu cukup menghibur Akmal.
" Apa mama lupa ya kalau punya anak yang sakit di rawat disini? "
Tanya bocah itu di luar kepala Farah. Farah tercekat. Ia tak mampu lagi sekedar menanggapi perkataan anak majikannya itu. Ia tersenyum kemudian membawa tubuh kecil itu ke pelukan hangatnya.











" Mana ada seorang ibu yang mampu melupakan anaknya. Apalagi anak sepintar Akmal "
Kata Farah mencoba menenangkan. Namun bukan wajah sumringah Akmal yang ia lihat. Tapi wajah Akmal yang semakin memuram.
" Akmal sudah besar. Akmal bukan Fizan lagi. Yang bahagianya bisa teralihkan dengan perkataan. Akmal juga udah bosan berharap dengan angan angan "








Kata anak laki laki itu mampu membuat bibir Farah terkatup rapat. Ia tak mampu menjawabnya lagi. Ia tak lagi bisa menghibur lara di hati Akmal. Memang benar apa yang anak itu ucapkan. Ia sudah besar. Ia sudah perlahan mengerti dengan keadaan di sekitarnya itu. Yang mampu Farah berikan hanya sebuah pelukan hangat dan elusan lembut pada kepala Akmal. Berharap lara hati anak laki laki itu teralihkan sekejap.






" Maafin mba yah "
Kata Farah tak kuasa lagi membendung air matanya. Melihat orang yang selama ini menjaganya itu menangis membuat hati Akmal merasa bersalah.
" Mba jangan nangis, maafin Akmal buat mbak sedih. Habis ini Akmal gak bakal bikin mbak sedih lagi "
Farah menggeleng kemudian menghapus air matanya kemudian tersenyum.






" Akmal harus nurut kata kata mbak yah biar mba gak sedih "
Akmal mengangguk polos membuat Farah melebarkan senyumnya.
" Akmal harus jadi anak yang pintar, mandiri, dan kuat. Mba yakin Akmal bisa. Ingatlah Akmal, ayah pasti bangga dengan Akmal. Jika mama papa Akmal sampai tak bangga punya anak berlian seperti Akmal percayalah mereka akan merasakan penyesalan tak berujung di kemudian hari "







Kata Farah ambigu membuat bocah yang masih di bawah umur itu tak sedikitpun mengerti. Mungkin ia baru  mengerti tentang semua yang Farah katakan ketika ia benar-benar dewasa. Bukan hanya bocah ingusan yang di paksa dewasa. Akmal hanya mengerti bahwa Farah menyuruhnya untuk menjadi anak yang pintar dan membanggakan. Selain itu otak kecilnya itu belum bisa menangkap apa di balik kalimat Farah yang begitu panjang. Farah menahan perih di dadanya ketika mengucapkan itu.








Segera saja ia melanjutkan packing nya yang tertunda. Tak lama pintu kamar yang bernuansa putih itu terbuka lebar. Terpampanglah Stevano dan Bila yang tersenyum lebar.
" Assalamualaikum Akmal sayang "
" Waalaikum salam "
Jawab Akmal antusias. Ia menerima pelukan hangat yang selalu Bila berikan tanpa ia pinta.








" Ayo ke depan. Fizan sangat merindukanmu "
" Akmal juga "
" Mau om gendong sayang? "
Kata Stevano menyisir rambut Akmal dengan jari jari tangannya. Anak itu menggeleng kuat. Kemudian turun dari pembaringannya. Segera saja anak itu menggandeng tangan Bila. Kemudian keduanya keluar. Di ikuti oleh Stevano dan Farah. Tentu saja setelah Farah menyelesaikan packingnya.






Fizan berlarian ke arah Akmal. Ia langsung memeluk tubuh kakaknya erat. Seperti telah di pisahkan bertahun-tahun lamanya. Padahal belum seminggu mereka terpisah. Sontak keadaan itu menghadirkan tawa dari semuanya.
" Fizan gak merepotkan tante kan? "
Tanya Akmal merasa kawatir jika adeknya itu membuat Bila kewalahan. Karena kadang memang Fizan itu susah di atur.







" Tidak. Fizan sangat baik dan sangat mandiri. Akmal memang kakak yang memberi tauladan yang baik "
Akmal tersenyum ia memeluk Fizan erat.
" Adek pintar "
Pujinya kemudian menghujami wajah yang sangat mirip dengan papanya itu dengan beberapa kecupan. Membuat Fizan tertawa geli. Mereka semua tertawa. Dan kemudian memutuskan untuk pulang.








Akmal tersenyum lebar ketika mendapati Raisya yang sedang tertidur di kursi paling belakang dengan kepala yang menompanng dipaha milik mbak Ira.
" Rara udah dari tadi ya Tan tidurnya?"
Tanya Fizan sambil merapikan rambut rambut yang menghalangi wajah imut Raisya.







" Iya Fizan. Bangunkanlah pasti dia suka "
" Biarin aja tante kasihan. Nanti aja kalau sampai rumah "
Kata Fizan membuat Stevano dan Bila saling melemparkan senyum. Begitupun dengan Bi Ira serta Mba Farah. Fizan menatap aneh orang-orang di sekitarnya. Tak mau ambil pusing Fizan sibuk bermain dengan mainannya. Ia sedang duduk nyaman di pangkuan Farah.








" Fizan gak rindu mba? "
Tanya Farah dengan menyisir rambut Fizan halus.
" Lindu "
" Coba cium! "
Fizan langsung memberikan kecupan singkat di pipi kanan Farah membuat semua orang tertawa senang. Akmal tersenyum ia kemudian mengamati kerasan luar. Rasa perih dihatinya kembali terasa.








" Akmal "
Panggil Stevano mengalihkan perhatiannya seketika. Ia langsung menatap wajah Stevano.
" Iya om "
" Akmal mau apa? "
" Mau ayah "
Kata Akmal lirih nyaris tak terdengar. Namun terlihat jelas logat bicaranya tadi sehingga yang ada disitu tahu apa maunya.








" Apa sayang? Om ga denger! "
" Akmal mau pulang "
" Ini juga pulang sayang. Maksutnya kamu mau di beliin apa? "
Akmal menggelengkan kepalanya.
" Akmal mau pulang "
Stevano mengangguk kemudian. Bila menatap mata suaminya. Stevano seperti mengerti tatapan mata dari sang istri itu menggenggam erat tangan kanan Bila.








" Dia anak kuat dan hebat "
Kata Stevano di angguk i Bila. Ia menatap mata Akmal yang sedang awas mengamati keadaan luar. Mata yang harusnya berbinar itu terlihat sayu karena menyimpan terlalu banyak lara di dalamnya. Sampailah mereka di depan rumah. Akmal langsung menghampiri mamanya. Tanpa aba-aba ia memeluk erat Diana. Membuat Diana yang sedang berbicara lewat telepon pun terganggu.









Diana memutuskan panggilan teleponnya kemudian ia mendorong tubuh Akmal yang memeluknya agar pelukan itu terlepas. Akmal menatap kecewa pada tindakan mamanya itu. Ia hanya sekedar di peluk.
" Udah gak usah sok sedih kaya gitu. Cepet ke kamar istirahat. Kau seharusnya cepat sembuh! Kau harus banyak belajar lagi. Biar berguna jadi anak "









Kata kata kasar itu terlontar begitu saja tanpa penghalang. Bila yang mendengarnya menjadi naik pitam. Setelah Akmal dan Fizan masuk ke kamarnya. Bila langsung menghampiri Diana.
" Di, kam.....  "
" Maaf bil,  gue ga ada waktu buat ngeladenin omong kosong lo tentang Akmal. Dan gue ingetin. Akmal itu anak gue darah daging gue. Jadi seperti apapun cara gue mengajari cara hidup ke dia  itu bukan urusan lo!! "








" Kalau emang dia darah dagingmu kamu harusnya sayang ke dia "
" Ups ralat, maksutnya darah dagingnya Ardan. Akmal itu anak Ardan. Dan Fizan anak Lian. Mereka punya papa masing masing kan? Punya lo dan juga suami lo yang sok baik itu. Jadi gue tak perlu ngurusin mereka kan? "
Kata Diana enteng kemudian pergi begitu saja. Bila meninggalkan rumah sahabatnya itu dengan perasaan berkecamuk. Antara marah, kesal, dan sedih mencampur menjadi satu.










Stevano mengelus pelan pundak istrinya.
" Tenanglah, tak perlu lagi berbicara dengan dia. Hanya sia sia. Kita hanya perlu menjaga keduanya. "
Bila mengangguk setuju. Ia meminum minuman yang telah di siapkan suaminya.
" Mana Rara? "
" Dia masih tidur. Aku udah pindahkan ke kamarnya. Kenapa? Mau sekarang? "






Kata Stevano menggoda dengan menaik turunkan alisnya. Bila yang langsung paham arah pembicaraan suaminya itu segera saja melayangkan cubitan mautnya.
" Sakit sayang! "
" Salah sendiri!! "
Kata Bila kesal. Stevano segera saja meluncurkan jurus buaya daratnya untuk kembali membujuk sang istri.







Jangan lupa vote dan comment

Dengarkan akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang