BaB 19

7 0 0
                                    

Kemarahan kadang membuat seseorang melampiaskan ucapan yang tidak perlu atau terkesan menyakitkan. Kemarahan membuat seseorang kehilangan hidup tenang yang selama ini selalu dirasakan.

Fiona merenung dengan apa yang diucapkan kepada Toni. Ingin meminta maaf, tetapi gengsi.

"Lagian papa keterlaluan banget, masa nampar wajah aku. Aku benci sama papa," gumam Fiona.

Soffi yang akan menyuruh Fiona makan, tentu saja merasa kaget dengan kejadian yang tidak Soffi ketahui. Soffi terus mengintip karena ingin mengetahui isi hati Fiona.

"Aku udah berusaha menerima papa dan memaafkan atas semua kesalahan papa, tapi kenapa balasan papa begini," ucap Fiona lirih.

Fiona melihat boneka pemberian dari Toni dengan sendu. Dulu Fiona selalu merengek karena ingin sebuah boneka, tetapi sekarang ingin mendapatkan kasih sayang yang tidak pernah Toni berikan.

"Aku banyak banget maunya," ucap Fiona dengan sedih.

Soffi yang sudah tidak tahan dengan kesedihan Fiona memutuskan pergi ke kamar untuk melampiaskan kemarahannya atas kesalahan yang dilakukan Soffi dan Toni.

"Kasihan sekali anak aku, maafkan mama Fiona. Kamu pasti sangat menderita, ini semua salah perempuan itu," geram Soffi marah.

Sedangkan di tempat lain Arhan dan Abras sedang makan malam dengan keadaan hening. Tidak ada obrolan yang selalu mereka lakukan. Seolah obrolan di masalalu hanya angin lalu yang tidak akan terulang kembali.

"Sampai kapan kamu mendiamkan papa?" tanya Abras tajam.

Arhan tidak menjawab, tetapi melanjutkan makan dengan tenang. Abras yang merasa tidak dihargai merasa sangat sedih. Anak yang dirawatnya sudah berubah karena kebohongan yang dilakukannya.

"Maafkan papa, Arhan. Papa tahu kamu pasti sangat sakit hati, tetapi papa mohon kamu mengerti dengan keadaan papa dan mama," lanjut Abras.

"Aku selalu mengerti kalian, sekarang aku juga ingin kalian mengerti dengan keadaan aku. Aku hanya ingin menenangkan pikiran aku tanpa mendengar semua cerita bohong kalian," setelah mengucapkan itu Arhan berjalan untuk memasuki kamar.

Abras menghela napas berat, ini yang Abras takuti, Arhan akan memusuhi dan mereka seakan tidak pernah hidup bersama. Abras tentu saja hanya bisa menyesal, tetapi tidak bisa berbuat apa pun.

"Arhan butuh sendiri, nanti kalau udah tenang aku akan berbicara lebih pelan lagi," gumam Abras.

Bintang dan bulan menerangi manusia yang sedang mengalami kegalauan yang sangat luar biasa. Masalah orang dewasa yang begitu rumit dan sulit untuk diterima.

Cuaca malam yang indah, tetapi perasaan yang buruk tidak membuat tertawa.

Arhan mengambil kunci motor dan segera melangkah dengan cepat. Abras yang sedang bersantai di ruang tamu kaget karena Arhan datang untuk pamit. Meskipun Arhan marah kepada orangtuanya, tetapi sopan santun harus selalu diterapkan.

"Arhan pamit dulu," ucap Arhan dingin.

"Hati-hati  Arhan!" teriak Abras karena Arhan sudah berlari.

Sepanjang jalan pikiran Arhan tidak pernah tenang karena memikirkan solusi apa untuk orangtuanya. Arhan sangat egois karena menginginkan orangtuanya kembali utuh dan mereka akan kembali bahagia.

Arhan tidak peduli dengan suara klakson dan teriakan pengendara lain yang marah karena motor yang Arhan kendarai sangat ugal-ugalan.

Jalanan yang lenggang karena malam minggu tidak membuat Arhan takut. Ternyata bukan hanya Arhan yang membawa motor secara ugal-ugalan, tetapi ada pengendara lain yang lebih ugal-ugalan.

Arhan yang merasa seseorang itu menantang dirinya dengan cepat mengejar dengan kecepatan tinggi. Arhan dan orang misterius itu terjadi aksi kejar-kejaran yang membuat sebagian pengendara lain menggeram marah.

Tikungan yang tajam membuat pengendara yang Arhan kejar ternyata jatuh karena menabrak sebuah mobil. Arhan tentu saja merasa kaget, Arhan dengan cepat mendekati orang yang sedang mengaduh sakit itu.

"Astaga Lo gak papa?" Arhan bertanya dengan kaget karena orang yang mengendarai motor itu terpental jauh dan motornya hancur.

Arhan bertambah kaget ketika melihat wajah asli sang pengendara.

"Fiona?"

"Astaga motor aku hancur banget, bagaimana ini," ucap Fiona bingung.

"Apa yang kamu lakukan, Fio!" teriak Arhan marah bercampur khwatir.

Fiona memandang Arhan dan seketika suara isak menemani suasana yang ramai karena ingin tahu apa yang terjadi. Fiona bersembunyi di badan Arhan karena malu banyak pasang mata yang melihat dengan aneh.

Arhan menggendong Fiona dengan cepat dan langsung berlari karena takut akan terjadi masalah.

Fiona memeluk Arhan dengan erat, kaget karena kejadian yang telah dialaminya.

Arhan membawa Fiona ke sebuah apotek untuk mengobati luka yang lumayan parah. Fiona menolak untuk pergi ke rumahnya karena takut Soffi khwatir.

Arhan mengobati Fiona dalam diam, bingung karena baru mengetahui ternyata Fiona jago dalam mengendarai motor.

"Terima kasih Arhan. Maaf gara-gara aku, kamu jadi repot," ucap Fiona menunduk.

"Hm."

"Kamu pasti merasa cape sama aku, kenapa kamu malah menolong aku Arhan?" tanya Fiona lirih.

"Harus banget," timpal Arhan dengan tajam.

"Apanya?" tanya Fiona bingung.

"Harus banget aku jawab."

"Terserah kamu aja Arhan," ucap Fiona lembut.

"Sejak kapan kamu pintar mengendarai motor?" Arhan malah bertanya dengan senyuman yang aneh.

"Kamu jahat banget, padahal aku yang duluan bertanya. Tapi karena kamu udah nolongin aku, maka aku akan memberitahu," kata Fiona.

Fiona menceritakan bahwa dulu Toni sangat suka mengajari Fiona mengendarai motor. Toni adalah mantan pembalap motor yang sangat luar biasa. Fiona tersenyum merekah ketika menceritakan bahwa Toni sangat sabar dalam mengajari Fiona.

"Pantesan aja kamu jago bermotor," gumam Arhan.

"Terima kasih, Arhan."

"Fio, sepertinya kamu banyak masalah, ayo kita melampiaskan kekecewaaan kita dengan bermain sepuasnya," ucap Arhan.

GAMOPHOBIA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang