BaB 21

10 0 0
                                    

Sinar matahari menyinari dengan indah. Banyak orang lalu lalang dengan jalan hidup yang berbeda. Melintasi kehidupan yang terasa berat.

Pagi yang sangat cerah, tapi tidak dengan hati semua orang yang berada disebuah ruangan. Sunyi dan kesedihan yang meliputi wajah pucat mereka. Gadis cantik dengan wajah sembab dan linglung mencoba mencerna apa yang terjadi. Dalam hati berdoa semoga hanya mimpi buruk yang tidak akan pernah terjadi.

Usapan lembut membuat mata yang tertidur mengerjapkan dengan cepat. Mencoba melihat sekeliling ruangan yang terasa berbeda.

"Mah, kenapa kita ada di sini?" Fiona bertanya dengan lirih.

"Kamu harus kuat sayang," balas Soffi dengan senyuman yang sendu. Raut wajah terluka Soffi sangat kentara.

Fiona masih tidak ingin percaya dengan mimpi buruk yang terjadi. Mengusap tangan Soffi dengan lembut dan sesekali tersenyum manis.

"Kita berada di rumah papa," kata Fiona tersenyum." Apa mama dan papa tidak jadi bercerai?" tanya Fiona dengan wajah berbinar.

"Fiona," ucap Soffi lirih. Soffi memeluk Fiona dengan erat. Sedih, marah dan kehilangan itu yang dirasakan Soffi saat ini.

Fiona memegang tangan Soffi dengan gemetar. Tangan dingin Soffi membuat Fiona sadar bahwa semua yang terjadi adalah sebuah kenyataan pahit yang harus Fiona terima. Mencoba untuk mengelak tetapi itulah kenyataan pahit yang harus Fiona lalui.

Fiona melepaskan pelukan Soffi dengan cepat dan menuruni tangga dengan kesetanan. Tidak peduli akan membuat diri Fiona bahaya. Fiona mendekati beberapa orang yang sedang duduk di dekat sebuah benda yang terbungkus kain kafan.

Fiona berlari dan mendekati untuk melihat siapa yang mereka tangisi itu. Berjongkok dan membuka dengan tangan bergetar.

"Papa!" setelah membuka kain kafan, Fiona menjerit histeris ketika melihat wajah yang pucat terbaring tidak bernapas. Mengguncang tubuh Toni dengan  lemah dan seketika penyesalan datang kembali.

"Aku kangen papa!" tangisan lemah Fiona membuat sebagian orang merasa iba. Fiona memukul dadanya yang terasa sesak. Cinta pertamanya hilang dan tidak akan kembali lagi. Fiona merasa hancur dan dunianya seakan runtuh.

Soffi mendekat dan memeluk Fiona dengan lembut. Menenangkan anak semata wayangnya dengan perasaan yang sama-sama hancur.

"Fiona, kamu harus ikhlaskan papa, sekarang papa harus disholatkan," ucap Soffi lembut.

"Tidak! Papa belum pergi!" sentak Fiona marah. Fiona memandang semua orang dengan tajam dan berterik seperti orang gila.

"Ini semua gara-gara perempuan murahan itu. Di mana dia, gue bunuh dia!" teriakan Fiona kembali membuat semua orang berbisik dengan apa yang mereka dengar.

Soffi hanya bisa menangis dengan hancur. Melihat Fiona yang sudah tidak terkontrol. Keadaan menjadi sangat ricuh karena beberapa tangisan dan teriakan yang sangat berisik.

"Maaf, ibu Soffi. Jenajah harus segera di sholatkan," ucap ustadz tegas.

Soffi mengangguk dan mereka semua menyolatkan Toni dengan perasaan haru dan iba. Sesekali suara isakan Fiona masih terdengar. Tetapi Fiona menyaksikan bagaimana Toni disholatkan di depan matanya.

Perjalanan ketempat peristirahatan Toni membuat tubuh Fiona beberapa kali ambruk. Tetapi Fiona mencoba untuk kuat dan sabar. Angin berhembus dengan kencang dan suasana panas membuat keringat dan air mata yang bercampur menjadi satu.

Fiona menolak beberapa orang yang mengajaknya pulang. Fiona masih betah duduk di dekat gundukan tanah yang masih basah.

Soffi mendekat dan mengelus kepala Fiona lembut," mama pulang dulu Fiona, setelah kamu tenang, kamu bisa buka kotak ini, kotak pemberian papa kamu."

Fiona melirik Soffi dengan sendu dan mengambil kotak itu dengan tangan bergetar.

"Aku mau temenin papa dulu, kasihan papa pasti kesepian," ucap Fiona lirih.

"Iya sayang, kalau begitu mama pulang dulu," Soffi mencium kening Fiona dengan lembut." Mas aku pulang dulu, semoga kamu tenang dialam sana."

Fiona kembali memandangi sebuah kotak yang berwarna pink. Warna kesukaan Fiona sejak kecil. Fiona kembali menangis dengan deras. Menyesali karena telah marah dan berucap hal yang tidak baik. Ucapan adalah doa sehingga Tuhan mengabulkan keinginan Fiona yang berucap tidak penting itu.

"Papa, Fiona ingin kita main lagi. Kenapa papa pamit tanpa sepengetahuan Fiona?" tanya Fiona lirih." Fiona merasa semuanya telah hancur, kenapa papa malah memilih perempuan murahan itu. Andai perempuan itu tidak ada, mungkin kita akan hidup bahagia. Kenapa Tuhan menghadirkan perempuan itu, aku benci pah," ucap Fiona dengan terisak.

Fiona mengendarkan penglihatannya kesekitar, Fiona merasa ada seseorang yang memperhatikannya dengan intens.

"Capek banget aku hidup seperti ini, kalau gak sayang sama mama, rasanya aku ingin menyusul papa. Aku gak kuat pah, aku udah kehilangan segalanya," Fiona menangis dengan keras dan sesekali menepuk dadanya dengan keras.

Seseorang menepuk pundak Fiona dengan lembut. Fiona masih betah memandang tanah yang masih basah dengan air mata yang berlinang.

"Turut berduka cita Fio. Kamu harus sabar, papa kamu pasti sedih kalau kamu begini," ucap Arhan lembut.

Fiona memeluk Arhan dengan kencang dan kembali menangis. Arhan menggendong Fiona yang lemah dan langsung membawa kemobilnya.

Sesekali Arhan melirik Fiona dengan wajah yang datar dan khwatir. Kehilangan sosok seorang ayah membuat Fiona terluka. Apakah Arhan juga akan merasakan kehilangan ayahnya karena keegoisan dan rasa gengsinya.

Arhan mengangkat tubuh Fiona dan mengetuk pintu dengan pelan. Soffi keluar dengan wajah yang sembab.

"Astaga Arhan. Fiona kenapa?" tanya Soffi panik.

"Fiona pingsan Tante," jawab Arhan lembut.

"Yaudah kamu taruh Fiona dikamarnya," ucap Soffi lirih.

Arhan memandang kamar Fiona yang serba pink dan photo keluarga yang terlihat bahagia. Arhan mendekat dan melihat banyak photo Fiona dan Toni yang sedang belajar motor dengan tawa bahagia.

Arhan mendekati Soffi yang berwajah murung dan sedih," Tante, saya turut berduka cita, saya yakin Tante dan Fiona mampu melewati masalah ini dengan sabar."

"Terima kasih Arhan, Tante berharap Fiona kembali bahagia," ujar Soffi lirih.

Arhan memutuskan pergi dari kediaman Soffi. Di tengah perjalanan Arhan melihat ada seseorang yang mengikutinya. Arhan tersenyum dan pura-pura seolah tidak tahu.

Orang yang mengikuti Arhan secara diam-diam terlihat seperti kebingungan karena Arhan menghilang tanpa jejak.

"Ke-te-mu," Arhan terkekeh sinis.

Orang yang mengikuti Arhan langsung berwajah pucat dan lari.

Fiona bangun ditengah malam dan mata yang terasa berat karena menangis terus. Suasana rumah begitu sunyi. Fiona melirik jam yang sudah menunjukan 02.00 dini hari.

"Aku ketiduran di samping makam papa dan lagi-lagi aku merepotkan Arhan," gumam Fiona.

Fiona keluar dari kamar karena merasa haus. Sebelum ke dapur, Fiona melihat pintu kamar Soffi yang terbuka sedikit. Fiona melihat wajah Soffi yang sembab. Fiona menyelimuti tubuh Soffi yang meringkuk dengan lembut. Fiona mencium kening Soffi dengan sayang.

"Aku sayang mama, tolong jangan tinggalkan Fiona. Fiona tidak akan sanggup kalau hidup tanpa mama," gumam Fiona lirih.

Fiona kembali ke luar dari kamar Soffi dengan hati yang hancur. Mengambil minuman yang ada di dapur dengan cepat dan melangkah ke kamar untuk melanjutkan tidur.

Beberapa kali Fiona mencoba memejamkan matanya, tetapi rasa kantuk Fiona terganti dengan perasaan penasaran tentang isi didalam sebuah kotak pemberian Toni.

Meski ragu, Fiona tetap membuka kotak itu dengan perasaan ingin tahu.

Fiona membuka kotak itu dan....

GAMOPHOBIA (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang