09. Memeluk Segala Rasa Sakit

760 123 32
                                    

"Kenapa aku harus memeluk segala rasa sakit itu, bukan malah menyingkirkan sejauh-sejauhnya?"

Asmaraloka meminta penjelasan. Sejauh ini, selama sisa hidupnya pasca tragedi kematian Menur, dia susah payah menyingkirkan segala rasa sakit masa lalu itu yang menyakitinya. Dia tidak mau lagi disakiti oleh kenangan itu, sebab itulah dia mencoba melupakannya sedemikian dalam, mencoba mengambil bermacam kesibukan agar dia tidak memiliki waktu untuk memikirkan hal begituan lagi.

Tapi sekarang justru apa yang dia dengar? Memeluk segala rasa sakit? Kenapa ini justru terdengar seperti lelucon?

"Aku sedang tidak bercanda, Asmara," jelas Alzam, "Memeluk segala rasa sakit adalah hal terbaiknya."

"Tapi aku belum paham dengan itu. Bukankah dengan memeluk rasa sakit berarti aku dilarang melupakan kenangan itu? Kenangan buruk yang bahkan membuatku menjadi sedemikian menderita; aku terus menyalahkan diri sendiri atas kematian Mama, aku juga menjadi pobia guntur sebab tragedi itu terjadi saat guntur bergemuruh. Aku ...." Sisa kata yang bercokol di kepala Asmaraloka tertahan di tenggorokan. Dia muak dengan segala apa yang menimpanya. Air matanya tumpah lagi.

Alzam begitu iba melihat Asmaraloka seterluka ini. Dia bisa merasakan bagaimana besarnya perjuangan Asmaraloka melawan ketakutannya akan hantu masa lalu. Bisa merasakan begitu jelasnya, hingga pada suara gunturpun gadis ini ketakutan teramat sangat karena saat itu terjadi kenangan menyedihkan muncul secara jelas tanpa diminta.

Gadis bergingsul itu mulai terlihat amat berantakan, kedua tangannya dia tangkupkan lagi ke wajah sendunya. Dia lelah pada semua yang telah dirinya jalani. Dia lelah terus meminum obatan penenang selama bertahun-tahun yang bahkan jika terus-terusan dikonsumsi bisa mengakibatkan halusinasi hingga demensia. Pengobatan hipnoterapi juga tidak mempan. Dia amat lelah sudah. Dia ingin segera sembuh. Hidup normal layaknya sediakala.

Tangisan Asmaraloka kian menderas. Sebelah tangan Alzam terulur, mengelus punggung istrinya ini.

"Kamu pasti akan segera sembuh, Asmara. Aku percaya itu .... "

"Tapi dengan cara apa?" Asmaraloka menyahutinya tanpa membuka tangkupkan tangannya.

"Memeluk segala rasa sakit. Mudahnya adalah dengan mengikhlaskan segalanya. Mengikhlaskan ... yang bukan berarti melupakan kenangan yang ada."

Satu napas dihela Alzam.

"Kenapa nggak boleh melupakan kenangan kelam itu, malah justru memeluknya? Itu karena jika kita memilih opsi melupakan, jika suatu ketika kita kembali ingat, hati kita akan kembali sakit, karena sejatinya kita belum bisa mengikhlaskan."

Tangkupan kedua tangan Asmaraloka belum juga dibuka, tetapi gadis sendu ini mendengarkan pemahaman Alzam penuh khidmat.

"Tetapi sebaliknya jika kita memilih opsi memeluknya, awalnya memang sulit menjalaninya karena kita dipaksa merangkul, menerima semua takdir dan kenangan kelam itu tetap ada dalam bagian hidup kita, tapi pada akhirnya jika berhasil memeluk semua rasa sakit itu, menerima semuanya dengan lapang, suatu ketika saat tiba-tiba kenangan itu kembali hadir, maka rasa sakit di masa lalu itu tak akan pernah lagi bisa menyakiti kita, justru ... kita mungkin bisa mengingatnya dengan senyum penerimaan paling tulus."

Rupanya penjelasan Alzam ini mampu membuat Asmaraloka sedikit merasa tenang. Perlahan, tangkupan kedua tangan itu membuka. Dan seketika, kedua matanya langsung menangkap tatapan mata kelam Alzam. Sepasang mata kelam yang baru detik ini disadarinya ... kalau mata kelam itu amat teduh, membuatnya tenang.

"Pada akhirnya nanti kamu benar-benar berada di puncak tertinggi kata ikhlas," imbuh Alzam, menutupnya dengan lukisan senyum di bibir.

Bukan kata demi kata yang keluar dari bibir Asmaraloka, justru air mata  yang kembali tumpah sebagai tanggapan pemahaman yang Alzam berikan.

Asmara-phileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang