07. Ketakutan Asmara

792 114 29
                                    

"Kamu istriku. Kamu jelaslah sangat berharga bagiku, Asmara," saksi Alzam setelah sebelumnya dia mengerutkan kening bingung atas pertanyaan Asmaraloka. Bingung sebab belum percaya atas pertanyaan jenis begituan, apalagi ditambah dengan basahan air mata.

Asmaraloka tercenung. Dia berdalih mengusap air matanya kala sentuhan hangat tangan Alzam pada sebelah tangannya.

"Buat apa dijawab. Aku cuman bercanda," ketusnya, lantas ekor mata kelam gadis ini melirik ke arah jaket bomber, meraih kasar. Dikenakannya jaket bomber Alzam itu dengan jengkel.

Alzam tidak begitu heran pada akhirnya akan berakhir begitu. Bibirnya mengulum senyum. Berujar, "Nggak perlu dikasih pertanyaan pun sebenarnya aku memang pengin bilang; kalau kamu sangat berharga bagiku, Istriku ...."

Apatis. Asmaraloka memilih mengeratkan jaket bomber yang dikenakan agar terasa lebih hangat. Tapi dalam benak dia rusuh sendiri perihal bisa-bisanya mendadak menangis dan bertanya macam itu pada Alzam. Waduh, sepertinya dia sudah tidak waras. Tidak berharga sama sekali bagi lelaki sawo matang itu pun dia tidak peduli.

Tapi demikian bohong.

Sebenernya dia amat memedulikan soal barusan.

Oh ya ampun, menikah dengan sosok seperti Alzam jelaslah menjadi beban baginya. Alzam tampak soleh dengan pengetahuan agama yang bagus, mengajar Ilmu Al-Quran dan Tafsir di universitas, bahkan mengisi kajian keagamaan di masjid. Tapi memiliki istri sepertinya yang bahkan bergandeng tangan dengan sosok Matteo saja sudah menjadi hal lumrah? Ini jelaslah tidak serasi.

Ketika kita memberikan sebuah pengertian dan pemahaman bagi orang lain, apalagi soal masalah agama, bukankah ini sangat membutuhkan kesesuaian? Kesesuaian antara ucapan yang disampaikan dan perilakunya? Dia akui Alzam sangat sesuai antara perilaku dan ucapan yang disampaikan pada orang-orang, tetapi bagaimana dengan dirinya ini?

Asmaraloka meneguk ludah. Pikirannya amat semrawutan.

Sosok istri itu, bukankah setengah jiwanya sang suami? Di mana seharusnya sosok istri juga memiliki kesesuaian itu yang ada pada diri suami?

Dia tidaklah memiliki kesesuaian itu terhadap Alzam. Maka tak heran kalau akhir-akhir ini dia juga mulai mendengar gunjingan tetangga tentang sikapnya yang bertentangan dengan petuah bijak yang dibahas Alzam dalam kuliah subuh.

Soleh begitu, tapi kenapa milih istri kayak dia? Pasti milih cantiknya doang.

Itu Asmara apa nggak tahu malu? Suaminya alim gitu, dianya malah jahiliyah banget, pake hijab aja pasti karena terpaksa.

Jodoh si jodoh, tapi masak nggak serasi banget. Palingan sebentar lagi dipoligami. Secara ... Nak Alzam mah pasti milihnya macam Ukhti Nur yang solihah-solihah gitu. Anaknya Pak Adam sih itu apa?

Eh! Dengar-dengar pernikahan mereka tuh perjodohan loh, Bu. Jadi harap maklum.

Bisik-bisik itu menggaungi pikiran Asmaraloka. Dia mau mengalah jujur kalau keinginan cerai dari Alzam bukan lagi murni sebab dia ingin bersama Matteo, melainkan sudah dicampuri urusan ketidakpantasan itu.

"Mau langsung pulang atau mampir ke kafe?" tanya Alzam sembari menyalakan mesin mobil, membuyarkan lamunan melankolis Asmaraloka. Pertanyaan konyol, mana mungkin Asmaraloka mau ke kafe dalam kondisi tubuh basah.

"Langsung pulang aja." Asmaraloka menjawabnya dengan nada seketus mungkin, agar Alzam tidak curiga apa pun tentangnya.

"Ya udah, kita langsung pulang. Nanti aku buatkan sereal buah di rumah."

Entah kenapa sosok Alzam itu sering sekali menawarinya sereal buah, mungkinkah dia tahu bahwa itu adalah salah satu makanan kesukaannya? Jangan-jangan Alzam diam-diam tukang kepo ke Papa buat tanya-tanya begituan untuk menarik hatinya? Halah! Malas memikirkan itu. Asmaraloka kukuh membisu.

Asmara-phileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang