10. Guru

765 110 29
                                    

Semalam, Asmaraloka banyak merenung.

Dia merenungkan tindakan ekstrem Nada pada Matteo kemarin yang tiba-tiba langsung menampar cowok itu dan memarahinya di jalanan Malioboro. Ini tampak kurang terpuji memang karena melakukan tindakan itu di keramaian, tapi satu kebaikan yang dirinya sadari dari itu; Nada adalah tipikal sosok sahabat sejati yang sebenarnya, begitu juga dengan Kumala.

Mereka berdua sungguh sosok sahabat sejati yang sebenarnya. Sosok sahabat yang berani mengingatkannya di saat dirinya ini salah sekalipun itu menyakitkan. Sosok sahabat yang juga selalu ada di saat dirinya menderita, bukan malah menghilang, pura-pura tidak tahu.

Asmaraloka juga merenung tentang Alzam. Dia begitu bahagia dan merasa lega kala lelaki itu bersedia membimbingnya keluar dari pobia guntur yang membawanya ke kenangan masa lalu yang kelam itu, mencoba memeluk segala rasa sakit. Dia sadar betul lelaki ini amat spesial. Itulah kenapa sekarang dia menginginkan Alzam menjadi gurunya. Dia ingin berubah menjadi lebih baik sedikit demi sedikit, dia ingin belajar mengaji setelah entah sekian lama dia tidak lagi pernah mengaji.

"Nggak ada alasan buat aku menolak, Asmara. Ayo kita belajar bersama," sahut Alzam, senyum khasnya mengembang.

Mendengar itu, kedua pipi Asmaraloka kembali memanas.

"Jadi mulai sekarang ... bukankah itu artinya kita akan saling mendukung?"

"M-mendukung?" Asmaraloka murni belum paham maksud Alzam.

Seutas senyum singgah di bibir Alzam.

"Iya, mendukung. Maksudnya--"

"Apakah ini tentang kesesuaian?" interupsi gadis bergingsul ini.

Sebelah alis Alzam terangkat. "Kesesuaian apa?"

Seketika, Asmaraloka membodohi dirinya dalam senyap. Alzam mana tahu maksud kesesuaian yang dirinya maksud. Sebuah kesesuaian yang akhir-akhir ini membuatnya galau berat.

"Maksudku kesesuaian aku padamu. Hmm maksudnya .... " Asmaraloka menggaruk tengkuknya. Dia bingung menjelaskan satu hal ini.

"Kamu kan terlihat soleh gitu di mata orang-orang, sedangkan aku ... "

Gadis ini memamerkan gingsulnya, senyum canggung menjadi jalan ninjanya atas semua kebingungan menjelaskan hal kesesuaian.

Untung saja Alzam cepat menangkap maksud Asmaraloka soal kesesuaian ini. Lelaki sawo matang itu pun mengangguk seraya menimpali, "Kayaknya aku paham tentang kesesuaian yang kamu maksud."

Kedua mata kelam Asmaraloka melebar. Dia hampir berjingkrak senang, tapi akhirnya dia memilih meraih sebelah tangan Alzam yang menganggur dengan kedua tangan, menggenggamnya sembari bersahut, "Kangmas beneran paham maksudku?"

Bukan langsung menjawab, Alzam justru kaget atas tanggapan Asmaraloka yang terlampau hangat. Detik kemudian, dia pun hanya bisa mengangguk canggung.

"Tapi ya ... ini juga nggak murni tentang kesesuaian itu yang atas dasar aku pening dengar omongan tetangga tentang aku, tapi ... aku bener-bener pengin berubah sedikit demi sedikit. Jadi Kangmas beneran mau 'kan jadi guruku?" jelas Asmaraloka, genggaman tangannya kian kuat. Senyum cerianya mengembang sempurna, menampakkan gingsul yang ada hingga gadis ini tampak amat manis.

Hening. Alzam masih begitu merasa asing atas sikap hangat Asmaraloka padanya yang tanpa drama kebohongan. Entah kenapa jantungnya justru berdegup lebih kencang mendapati senyuman itu dengan genggaman hangat di sebelah tangannya.

"Kamu sudah beberapa kali memanggilku Kangmas ketika kita hanya berdua, jadi ... apa kamu mulai menganggapku sebagai sosok suami?" tanya Alzam, melenceng dari topik yang dibawa istrinya ini.

Asmara-phileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang