12. Patah Hati

674 106 22
                                    

Asmaraloka amat sebal dengan perasaannya.

Perasaan apa ini? Cemburu? Aduh, bukan! Ini jelas bukan cemburu, hanya saja ... entahlah, pikiran Asmaraloka tidak karuan.

Yang jelas bukan cemburu, tapi ... entahlah, Asmaraloka sungguh tidak paham.

Sebelah tangannya terulur, mengembalikan ponsel lelaki yang tak juga kunjung meminta maaf sesuai pengharapannya.

Keheningan mendominasi mereka berdua setelahnya, sekalipun nyatanya sekitar mereka tak benar-benar sehening itu, justru bising karena pengunjung rumah makan kian ramai.

Hingga akhirnya beberapa saat berlalu, pesanan mereka berdua datang. Menyantapnya tanpa ada percakapan suatu apa pun.

Ayam bakar lamongan yang masuk ke mulut, semuanya terasa hambar oleh Asmaraloka. Mungkinkah perasaan aneh yang tengah menderanya menjadikan indera perasanya amburadul? Bahkan rasa lapar yang sebelumnya dia tanggung, kini lenyap tanpa jejak.

"Kamu mau pesan bebek bakar atau goreng buat dibawa pulang nggak, Asmara?" tawar Alzam begitu lelaki ini selesai bermakan malam, mengelap bibirnya dengan tisu.

Unyahan ayam bakar Asmaraloka tertahan, atensinya teralihkan ke arah lelaki di depannya ini.

Bukan bergegas menjawab, gadis ber-sweater merah itu justru berpaku pada keluhan perasaannya sendiri.

Aku nggak mau begituan, Kangmas. Aku cuman mau kamu minta maaf ke aku sekarang. Itu udah lebih dari cukup, ujarnya dalam senyap.

"Aku udah kenyang, ini aja mau nggak habis."

Akhirnya justru timpalan demikian yang keluar dari mulutnya sembari memamerkan daging paha ayam yang tinggal separuh. Tak tertinggal, nada bicaranya juga ketus.

"Baiklah," sahut Alzam, "Sembari nunggu kamu habisin itu, aku mau pesan buat Papa sekalian membayarnya."

Malas menjawab, Asmaraloka hanya ber-hmm.

Sial sekali. Semakin dipaksa menghabiskan ayam bakar, malah dia kian enek. Akhirnya dia memilih menyerah. Menaruh paha ayam yang tinggal separuh itu. Beringsut mencuci tangan, lantas memilih menyesap teh hangat sembari pandangannya dia alihkan ke luar rumah makan, menatap hilir mudik kendaraan yang berlalu lalang di jalanan.

Dan ... tiba-tiba kedua mata Asmaraloka melebar begitu kelereng matanya menangkap sosok lelaki jangkung tengah berdiri di seberang jalan.

"Matt," sebutnya. Kemudian senyumnya mengembang.

Hanya dengan melihat Matteo, perlahan perasaan buruk yang tengah ditanggungnya lesap. Akhirnya malaikat kehidupannya datang juga untuk menyelamatkan hatinya yang tengah patah.

Tanpa meminta izin Alzam yang belum juga kembali, Asmaraloka beringsut keluar dari rumah makan untuk menghampiri Matteo.

Di sana, di tempatnya berdiri di samping motor gedenya, Matteo menghempaskan napas sesak melihat raut semringah tergurat di wajah Asmaraloka.

Dia hendak mengatakan sesuatu pada gadis yang sedang berjalan tergesa ke pinggiran jalan itu untuk menemuinya. Dia sungguh tidak tega menghancurkan raut semringah gadis itu malam ini. Tapi dia sudah tidak memiliki daya apa pun, dia harus melakukan itu, tak peduli seberapa patah yang akan Asmaraloka tanggung nanti.

Akhirnya sampai juga Asmaraloka ke pinggiran jalan. Dia tengah celingak-celinguk ke arah kanan-kiri jalan sebelum memutuskan menyeberang.

Namun, baru saja satu langkah kaki menyeberang dia hentakan, Matteo justru membuat kode tangan, mengangkat sebelah tangan ke udara.

Tetaplah di situ, serunya tanpa suara, hanya pola bibir yang menjelaskan.

Seketika langkah Asmaraloka tertahan. Keningnya mengerut atas polah Matteo. Kemudian berasumsi kalau Matteo-lah yang hendak bersusah payah menyeberang untuk menemuinya.

Mundur selangkah lagi. Matteo kembali memberi perintah.

Lagi. Kening Asmaraloka terlipat. Tapi kemudian dia mengindahkan perintah Matteo. Mundur selangkah ke pinggiran jalan yang aman dari kendaraan yang berhilir mudik.

Edaran mata Matteo tetap tertuju pada Asmaraloka, tetapi sebelah tangannya teratensikan pada ponsel di saku kemeja flanel yang dikenakannya. Usai berhasil mengambil ponsel, dia membuat panggilan telepon pada Asmaraloka.

Seketika ponsel Asmaraloka menderingkan nada dering panggilan masuk. Dia pun tergesa merogoh saku celana jeans yang tengah dikenakan, mengambil ponsel segera. Sebelah alisnya terangkat begitu mendapati Matteo-lah si penelepon itu.

Asmaraloka memilih melirik ke arah Matteo di seberang sana sebelum memutuskan menjawab panggilan.

Angkatlah! perintah Matteo dengan cara yang sama seperti sebelumnya.

Seutas senyum singgah di bibir Asmaraloka. Matteo sungguh aneh sekali sikapnya kali ini. Sepertinya lelaki itu hendak memberinya kejutan tak terduga hingga memilih meneleponnya daripada menyeberangi jalan untuk menemuinya.

"Ada apa, Matt? Kamu ada-ada aja deh," cicitnya, begitu telepon itu dirinya terima.

Bukan menjawab, Matteo justru bergeming bisu, menatap dalam sosok Asmaraloka dari arahnya.

"Matt, maaf kalau dari kemarin itu aku belum ngehubungin kamu, aku masih mau nenangin diri soalnya," jelasnya dengan rikuh.

Masih sama. Matteo tak menjawab apa pun.

"Matt, jangan cemburu ya? Aku ke sini bareng dia karena ditraktir ayam bakar, nggak lebih kok," sambungnya, memberi penjelasan lebih agar Matteo tidak berpikir macam-macam.

Walau sekedar traktiran, tapi melihat Asmaraloka keluar hanya berdua dengan Alzam tetaplah membuat Matteo cemburu. Sebenarnya sudah agak lama dia berdiri di pinggiran jalan seperti ini, menonton mereka berdua memesan di satu meja dengan duduk saling berhadapan untuk menghabiskan makan malam. Hatinya terbakar. Sungguh tak ada alasan lagi untuknya tidak cemburu.

Egoisnya dia juga ingin segera menghampiri Asmaraloka dengan sedikit susah payah menyeberangi jalan. Namun dengan sedemikian dirinya engkan, memilih lebih bersusah payah dengan tetap membuat keputusan kukuh berdiri di sini seperti sekarang, melakukan hal konyol justru dengan membuat sambungan telepon.

"Matt, kamu marah ke aku, ya?" Asmaraloka mulai cemas atas sikap Matteo yang berubah dingin, tak kunjung mengucapkan satu patah katapun untuknya.

Matteo meneguk saliva. Dari awal dia tidak pernah bisa marah ke Asmaraloka. Sampai kapanpun dia tak akan pernah bisa marah ke Asmaraloka karena gadis itu kerap mengingatkannya pada seseorang yang amat dihormatinya. Jika dia marah ke Asmaraloka, maka dia juga akan merasa sedang marah pada seseorang itu.

"Matt, maafin aku .... "

Suara memelas Asmaraloka tidak dihiraukan Matteo. Toh, Asmaraloka mutlak tidak salah atas apa yang gadis bergingsul itu lakukan di malam ini. Justru amat wajar Asmaraloka keluar berdua bersama suami sahnya, bukan? Yang tidaklah wajar, bukankah kalau Asmaraloka yang sudah bersuami menemui lelaki lain seperti dengannya kini untuk menumpahkan rindu? Menemui lelaki brengsek ... seorang pebinor?

"Matt .... "

Panggilan dengan nada menanggung rasa bersalah amat dalam itu justru membuat Matteo geram. Lelaki jangkung ini mengepalkan sebelah tangannya.

Dia marah sedemikian. Bukan marah pada Asmaraloka, melainkan marah pada dirinya sendiri karena telah menjadikan gadis yang amat dicintainya itu bertabiat buruk. Ini sungguh kesalahan besar. Dia harus meluruskannya malam ini. Sekalipun amat menyakitkan baginya ataupun Asmaraloka, tapi peduli apa soal begituan, dia harus melakukan suatu hal yang sewajibnya dirinya lakukan--yang bahkan seharusnya dia lakukan sedari lama.

"Matt, jangan diam te--"

"Ayo kita putus, Asmara," interupsi Matteo.

Mendengar itu, gerakan bibir Asmaraloka seketika terasa beku. Dadanya juga berhenti berdetak sejenak.

_________________

Asmara-phileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang