Selama ini Asmaraloka terlalu terkungkung oleh masa kelam itu yang berakhir menyalahkan diri sendiri sebagai muara penyebab kematian Menur, hingga dia melupakan kenangan amat berharga di detik terakhir bersama Menur.
Sebuah momen berharga yang barangkali kalau bocah kecil di masa lalu itu ingat-ingat dari dulu, bocah penyuka salad buah ini tidak akan seterpuruk sekarang.
Air mata Asmaraloka kian tumpah. Kenangan kelam itu kembali hadir mengisi pikirannya. Bukan lagi sejak awal saat dia melihat penyusup di sela temaram, melainkan saat belati yang menusuk perut Menur dicabutnya.
"Sa ... yang ...."
Sekujur tubuh Asmaraloka menegang mendapati dirinya mendengar suara Menur dalam ingatan itu. Ini ingatan baru. Sejauh yang dirinya ingat hanya sampai di mana tangan kecilnya gemetaran mencabut belati keparat yang menancap perut Menur. Itulah mengapa, dia berkesimpulan Menur sudah mati saat itu, bukan hanya sekedar pingsan. Tapi apa barusan? Mama-nya masih sadar. Mama-nya memanggilnya dengan nada pilu yang hampir tak bisa didengarnya sebab beradu dengan orkestra guntur.
Sebelah tangan Asmaraloka meremas hoodie hitam yang Alzam kenakan. Dia takut. Dia takut kenangan baru itu akan sama menyakitkan layaknya kenangan kelam yang selama ini bersikeras dirinya lepaskan agar lesap tanpa bekas.
Alzam jelaslah merasakan ketakutan Asmaraloka yang sempat reda sejenak. Dia memilih menyinggahkan ceruk lehernya ke sebelah bahu Asmaraloka, menepuk lembut punggung Asmaraloka, berujar, "Nggak apa-apa, Asmara. Biarkan kenangan itu lewat sempurna. Seberat dan semenyakitkan apa pun kenangan itu yang akan kamu hadapi kini, mereka tidak akan lagi bisa ngalahin diri kamu. Karena apa? Karena sekarang kamu sungguh paham, kalau selamanya masa lalu tak akan bisa ngalahin masa depan, mereka tetap akan jauh tertinggal di bagian belakang kisah hidup kamu."
Tetap bergeming, Asmaraloka mengeratkan cengkeramannya pada hoodie hitam Alzam.
"Sayang .... "
Suara Menur dalam ingatannya hadir lagi. Saat itu, pendarahan hebat dari dua luka tusuk dalam tubuh Menur amat deras.
Asmaraloka kecil kian takut. Dia mengempatnya dengan 2 tangan kecilnya; masing-masing dengan satu tangan kecil miliknya itu untuk satu luka.
"MBOK JUM! MBOK JUM! TOLONGIN MAMA!" teriaknya lantang, empatan dua tangannya pada luka Menur tidak berhasil sempurna, darah terus mengalir deras menerjang keras sela-sela jemari tangan Asmaraloka.
Mendengar teriakan itu, 2 penyusup yang masih menanggung sisa efek nyeri setruman stun gun pun tunggang langgang kabur.
"MBOK JUM! TOLONGGG!" Teriakan Asmaraloka lebih membrutal.
Dan di sana, sudah 3 meter langkah kabur yang 2 penyusup ambil, sesuatu terjadi. Langkah satu dari mereka tertahan kala seseorang dari belakang memukulnya dengan amat keras dengan pantat panci.
Tung! Tung! Tung!
3 pukulan sekaligus yang dilayangkan Jum pada si penyusup bertubuh gendut. Pukulannya hebat, membuat si penyusup gendut terlewat pening hingga sempoyongan layaknya sedang teler.
Plak!
Satu tamparan mengayun dari lembaran tangan Jum yang padat berisi dan tebal itu mendarat ganas di rahang si penyusup gendut. Teknik melumpuhkan lawan paling instan yang pernah dipelajari Jum saat ikut bela diri di SMA akhirnya berguna juga. Tamparan yang hebat. Si penyusup gendut langsung tersungkur pingsan.
Tinggal satu penyusup. Yang satu ini meninggalkan rekannya dan beringsut lari dengan cepat mendapati Jum ternyata lumayan bisa bela diri.
Tapi tunggu, Jum memutar otak. Dia segera melemparkan panci di tangannya untuk meluncuri lantai, melewati sela kosong 2 kaki penyusup, lolos membuat penyusup terjengkang saat sebelah kakinya salah mengambil langkah dengan menginjak lempengan cekung panci.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara-phile
RomanceSebab ketahuan menginap semalam di kosan Matteo pacarnya, Asmaraloka dijodohkan dan dinikahkan paksa oleh Sang Papa dengan Alzam, seorang santri jebolan pesantren di Rembang. Asmaraloka sangat membenci Alzam. Dia tidak peduli kata Sang Papa; kalau...