sepuluh

9 3 5
                                    


Suasana kota sudah sepi, tak ada lagi suara klakson mobil yang saling bersahutan dan kondisi jalanan yang macet. Semua orang telah beristirahat setelah seharian penuh harus menjalani kewajiban mereka sebagai manusia, Centauri beruntung karena masih ada bus di jam yang sudah menunjukkan pukul satu pagi. Jeffrey berada di sampingnya, duduk terlalu dekat padahal ada banyak tempat kosong di dalam bus.

Bus saat itu hanya diisi oleh lima orang termasuk Jeffrey, Centauri dan si pak Supir. Dua orang lainnya adalah seorang pekerja yang sepertinya lembur dan seorang wanita berpakaian seksi; nampaknya hendak pergi ke tempat kerja. Fokus Centauri sekarang pada pemandangan jalanan kota yang sepi lewat jendela, inilah alasan kenapa terkadang Auri menyukai Malam; suasanya yang sepi dan menenangkan layaknya obat bagi Auri.

"Lo kalo ada masalah jangan di pendam sendiri." Jeffrey tiba-tiba berceletuk, Centauri mengernyitkan dahi.

"maksud lo?"

"Hari ini lo kelihatan lebih diem," Jawab si pemuda dibalas tertawa remeh oleh Centauri.

"Gue biasanya juga diem."

Dapat Centauri dengar kalau Jeffrey mendesah, "Bukan cuman itu aja, Centauri. Lo terlalu keras sama Keenan dan diri lo sendiri, karena itu gue disini minta lo untuk buka diri jangan diem aja dan simpan semuanya."

Hal yang dibenci oleh Centauri ada banyak, salah satunya adalah orang yang ikut campur seperti Jeffrey sekarang.

"Jeff, gue minta bantuan lo cuman buat nyelidikin kematian temen gue. Gue nggak minta lo ikut campur dalam kehidupan gue." tekannya, "Pak, Berhenti disini aja."

Segera sang supir bus memberhentikan bus-nya saat mendengar ucapan Centauri. Si gadis berdiri dan pergi namun sebelumnya tak lupa untuk mengirim tatapan tajamnya pada Jeffrey. Di sisi lain, si pemuda nampaknya tak ingin melepaskan Centauri begitu saja karena kini dia mengikuti langkah Centauri untuk turun dari Bus.

"Lo ngapain sih ngikutin gue mulu?" Centauri akhirnya geram,

"Gue kan bilang mau nganterin lo sampe asrama, disini bukan asrama lo."

Sungguh, Centauri ingin memukul orang didepannya ini karena kesal namun masih bisa dia tahan baik-baik.

"Gue ngomong kayak tadi di bus bukan karena gue mau ikut campur tapi karena ambisi lo buat nyelidikin kematian Nadine, Keenan hampir di perkosa dan lo sendiri bisa jadi target mereka kalau kita salah langkah."

Centauri seperti tertampar saat mendengar ucapan Jeffrey, gadis itu sadar jika dia terlalu memaksakan dirinya dan Keenan hanya demi perasaan bersalah yang dia rasakan terhadap kematian Nadine. Bingung, marah, sedih, semua emosinya bercampur aduk. Dia tak bisa berpikir jernih, terlalu banyak kejadian buruk yang menimpanya dan yang ingin Auri lakukan adalah mencari kebenaran dan keadilan untuk temannya, hanya itu yang bisa Auri lakukan untuk Nadine.

Dia terlalu tenggelam dalam pikirannya hingga tak sadar jika air mata sudah menetes, Auri pada akhirnya menangis. Dia membendung semua perasaannya dan kini tumpah karena ucapan Jeffrey. Baru saja hendak mengusap air matanya, orang lain telah melakukannya terlebih dahulu; Jeffrey.

"Lo nggak harus kuat setiap saat, Centauri." ucapnya, "Mau denger cerita nggak?" tanya-nya. Auri sontak mengangguk karena gugup, baru kali ini seorang melihatnya menangis dan dia malu bukan main-main.

"Gue ceritain sambil jalan ke asrama lo. Ayo!"

***

Centauri dan Jeffrey akhirnya berjalan menuju asrama si gadis, cukup jauh karena Centauri memang meminta berhenti bukan di stasiun dekat asramanya. Gadis itu terlalu kesal tadi hingga memilih turun dan menjauh dari Jeffrey tapi malah berakhir begini.

"Menurut lo, Gue itu orang yang kayak gimana?" Tanya Jeffrey tiba-tiba, Centauri diam sejenak lalu menjawab,

"Songong, Pede banget, Sok tahu." dia menjawab dengan cepat apa yang terlintas dikepala, jujur saja, Centauri ingin cepat sampai ke asrama karena masih malu dilihat menangis oleh orang asing seperti Jeffrey.

"Nggak salah sih, tapi sebenarnya Jeffrey Stefano itu dulunya anak manis yang penurut."

"pfft, lo? anak manis? Anak babi, iya."

"Terserah lo mau bilang apa, tapi gue dulu baik banget tapi sayangnya nggak ada yang adopsi." Ucapnya, kini langsung mendapatkan atensi dari Centauri.

Mata gadis itu membulat lucu karena terkejut, "Lo, anak yatim piatu?"

Jeffrey menangguk, "Iyeep. Bokap sama Nyokap nelantarin gue waktu masih umur tiga tahun, terus gue tinggal di panti asuhan sampe umur 15 tahun." si pemuda menerawang ke masa lalunya yang cukup menyedihkan, "Pas 15 tahun, gue kabur dari panti dan tinggal di jalanan sampe suatu hari ada orang baik yang mau nampung gue dirumahnya tapi gue harus kerja buat dia. Cukup keras sih kerjaannya tapi harus gue lakuin supaya bisa sekolah, makan dan bertahan hidup."

Centauri diam, tak tahu harus mengatakan apa karena nyatanya hidup Jeffrey cukup berat juga.

"Masa-masa itu adalah masa-masa terberat gue, nggak ada yang namanya nongkrong bareng temen. Boro-boro nongkrong, punya temen aja gue nggak ada. Saat itu gue harus kuat dan nggak boleh nangis tapi pada akhirnya nangis juga saat sosok orang baik yang gue omongin tadi meninggal," Ucapnya, "Gue langsung mikir kalau sebenarnya nangis itu bukan berarti kita lemah, itu artinya kita udah melewati batas kekuatan kita."

Kini Jeffrey berhenti karena beberapa langkah lagi sudah sampai ke gerbang asrama Centauri, "Jadi Centauri McKenzie, gue bukannya sok tahu atau mau ikut campur, tapi gue khawatir sama lo. Udah yah, gue balik duluan." Katanya, lalu berbalik pergi darisana bahkan tak menunggu reaksi dari Centauri.

***

Centauri membuka pintu kamar asrama dan menemukan ruangan yang sudah gelap, namun Keenan masih terjaga. Gadis itu sedang mengetik didepan laptopnya dan telinga tersumbat earphone, dia terlalu fokus dengan tugasnya hingga tak menyadari akan keberadaan Centauri di belakang. Sesekali dia menguap dan memejamkan mata pertanda bahwa dia kelelahan.

Hati Centauri tergerak, dia baru mengenal Keenan selama beberapa bulan dan sekarang gadis itu kesusahan karena sifat keras kepalanya. Centauri akhirnya memutuskan untuk tidak melibatkan Keenan lagi, dia akan melakukan semuanya. Gadis itu juga memiliki bebannya sendiri dan Auri malah membuatnya semakin kerepotan.

"Jesus Christ!"

Pikiran Centauri buyar saat mendengar teriakan terkejut Keenan, gadis itu yang tadinya sedang meregangkan otot tubuh tak sengaja berbalik dan menemukan Centauri sedang berdiri di tengah kegelapan. Tentu saja dia terkejut bukan main, hampir melemparkan buku tebal miliknya jika dia terlambat mengenali Siluet Auri.

"Gue kira lo nggak bakalan balik, gerbang emang belum tutup?" Tanya Keenan, kini melepaskan earphone yang dia pakai.

Centauri menggeleng pelan, "Udah di tutup,"

"Lo manjat gerbang?"

"Menurut lo gimana?" Pertanyaan balik dari Centauri dijawab cengiran kering dari Keenan.

"Jadi... udah kepikiran mau gimana berikutnya?" Tanya Keenan sambil melanjutkan pekerjaannya tadi.

Centauri merebahkan tubuhnya di ranjang lalu menerawang. Dia sudah tak memiliki rencana lagi untuk melanjutkan penyelidikan, dia malah kepikiran dengan ucapan Jeffrey tadi. Sifat lelaki itu memang terkadang sulit untuk ditebak.

"Gue nggak tahu."

Berhenti mengetik, Pandangan Keenan kini mengarah pada Centauri. Gadis itu juga ikut berpikir, "Kan Gue naruh simcard ke handphone-nya Biantara, lo nggak bisa lacak dia gitu? setidaknya biarpun kita nggak tau isi hapenya, kita bisa tau dia kemana aja."

Seolah mendapatkan pencerahan, Centauri bangkit dari tidurnya.

"Keenan, You are genius! damn, gue nggak kepikiran tentang itu." Harapan Centauri kini muncul lagi, akhirnya dia maju satu langkah dalam permainan ini.

TO BE CONTINUED

The DovesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang