TIGA

140 122 71
                                    

Satu hal yang dapat kuketahui setelah beberapa menit berada di ruangan ini bahwa apa yang dialami oleh Ayah Arfan sangat-sangat serius. Bunda Nadia yang biasanya ceria sekarang tampak begitu murung.

Beliau duduk dengan tatapan kosong disamping Ayah Arfan yang terbaring dengan banyak alat medis di tubuhnya. Kak Nisa dan bang Wildan juga tampak datang padahal rumah mereka bisa dibilang sangat jauh. Memerlukan sekitar dua sampai tiga jam untuk sampai di sini. Dan Arfan, aku bahkan belum melihat lelaki itu semenjak pertama kali menginjakkan kaki di ruangan ini.

Aku berjalan menghampiri Kak Nisa. Berusaha memberikan kekuatan dengan mengelus punggungnya padahal aku sama sekali belum mengetahui apa yang terjadi di sini.

"Kak Nisa yang sabar, ya." Ucapku menghibur. Tanganku masih tetap mengelus pundaknya. Dapat aku rasakan kesedihan di mata Kak Nisa. Sedangkan bang Wildan, dia tetap sama seperti sebelumnya. Diam dan datar. Itulah sebabnya aku tidak begitu dekat dengannya. Dia terlalu banyak mewarisi gen dari Ayahnya. Tapi sebenarnya mereka sekeluarga merupakan pribadi yang humble dan sangat care.

"Coba hibur Arfan, Ra. Dia dari tadi nggak mau ngomong sama kita," ujar Kak Nisa sambil menatapku sendu yang kubalas dengan tatapan bingung.

"Arfan ada?" tanyaku.

"Ada. Dia orang pertama yang Bunda kabarin. Dia tadi keluar dari sini. Kayaknya belum pulang," jawab Kak Nisa.

Arfan betul-betul sosok yang family is number one. Aku hampir tau betapa sibuknya dia di kampus karena selain kami satu organisasi kami juga satu fakultas meskipun beda jurusan. Sekian banyak departemen yang dipimpin, bahkan sampai terkadang harus turun tangan sendiri saat ada staf yang tidak beres, bagaimana mungkin tidak menjadikannya sibuk? Aku mungkin saja akan depresi berat jika berada dalam posisinya. Namun, meskipun punya tingkat kesibukan di atas rata-rata, keluarga tetap menjadi prioritasnya. Wah, aku—nggak salut maksudnya.

Setelah pamit kepada orang-orang yang ada di dalam kamar, aku berjalan keluar. Menyusuri setiap lorong berharap dapat bertemu Arfan jika dia belum pulang. Siapa tahu selepas dari sini dia langsung berinisiatif untuk kembali menjalankan tugasnya di kampus.

Satu lagi kebiasaannya. Dia tipe manusia yang ketika ada masalah lebih senang untuk pergi berdiam diri. Entah merenung atau apa. Aku tak tau pasti. Intinya lelaki itu akan pergi untuk beberapa saat bahkan mungkin menghilang dan mengendap di dalam guanya, lalu kembali tanpa mengatakan apapun masalahnya. Kepada siapa pun itu.

Rasanya sudah berapa kali aku hilir mudik di lorong yang sama. Tapi sama sekali tak menemukan tanda-tanda keberadaan Arfan. Aku sudah menelponnya berkali-kali. Masuk. Tapi hanya panggilan semu, tidak diangkat.

Aku kemudian berusaha untuk mengirimkan pesan kepadanya meskipun aku yakin sama sekali tak akan dibacanya. Telepon saja tidak diangkat, apalagi berharap pesan dibalas. Namun tiba-tiba ponselku bergetar, tanda notifikasi masuk.

Aku di rooftop.

Itu dari Arfan. Ternyata, semua yang kita pikir tak mungkin belum tentu tak mungkin. Seperti sekarang ini, Arfan membalas pesanku setelah sebelumnya mengabaikan belasan panggilan dariku.
Aku bergegas menuju tempat yang Arfan maksud. Meskipun aku sama sekali tidak mengetahui letaknya. Namun, aku tetap berusaha untuk mencarinya dengan menelusuri setiap anak tangga yang aku temui. Arfan memang selalu bisa menemukan tempat-tempat yang tidak aku ketahui. Di mana pun keadaannya, seasing apapun tempatnya.

Dan ketemu. Namun mengenai ini pintu menuju ke rooftop ataupun bukan, aku sama sekali tidak tahu. Yang jelas, letak pintu ini paling akhir. Dan setelahnya tak ada lagi pintu. Aku bergegas memegang gagang pintunya sebelum akhirnya sebuah suara mengagetkanku sekaligus menghentikan kegiatanku.

Mendung Di Balik Awan (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang