DUA PULUH TIGA

35 16 3
                                    

Hadirkan Allah dalam setiap niat baikmu. Karena Dia tidak akan pernah mengecewakanmu.

..
.
.
.

"Aku mau ikut, Mi," rengekku pada Ummi dengan nada manja.

Aku terus bergelut di lengan Ummi sejak tadi. Bahkan sejak semalam pun aku sudah memindahkan bantal dan gulingku ke kamar Ummi seolah tak ingin jauh-jauh dari Ummi.

Lusa nanti Ummi, Abi, dan bang Aidan akan berangkat ke Lombok. Sebenarnya sudah di rencanakan sejak lama bahwa kami berempat akan berangkat bersama ke Lombok untuk mengunjungi sanak keluarga di sana. Dalam rencana itu, kami sepakat untuk berangkat di akhir semester nanti. Itu rencana awal. Namun, takdir Allah siapa yang tahu.

Beberapa pekan lalu, keluarga abi di sana mengabari abi mengenai rencana pernikahan Abang Asyraf, sepupuku. Aku terkejut bukan main. Pasalnya, sepupuku itu tak pernah memberi kabar akan segera melangsungkan pernikahan dan tiba-tiba sudah mengundang kami untuk menghadiri pernikahannya. Ingin rasanya aku menarik telinganya karena menjadi anggota keluarga terakhir yang tahu mengenai kabar gembiranya.

Tapi, sayang beribu sayang. Kepergian mereka ke Lombok nanti tanpa diriku. Sehingga niatku itu sudah pasti tidak akan tercapai. Karena itu, aku merengek sejak tadi. Memohon untuk diikutkan juga.

Selain karena ini acara penting keluarga dan ini juga kali pertama ummi dan abi meninggalkanku sendiri di rumah. Tidak benar-benar sendiri karena ada beberapa asisten rumah juga pak Hamzah di rumah. Tetapi, rasanya pasti sangat tidak enak. Aku juga ingin sekali pergi ke sana, melepas sejenak keresahan di hatiku. Menghilangkan sejenak Arfan dari kepalaku. Karena, jika boleh jujur, nama Arfan dan kak Inayah beberapa hari ini selalu saja berputar di kepalaku. Memenuhi setiap ruang berpikirku.

Namun, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa mengambil cuti karena berbenturan dengan jadwal terakhir kegiatan Kepengurusan kami. Ummi dan Abi jelas tidak bisa menunda karena acaranya akan dilaksanakan besoknya.

Ummi dan Abi jelas sangat berat untuk meninggalkanku. Aku yakin itu. Sebab beberapa kali aku merasa Ummi sangat-sangat memanjakanku. Kemarin, Ummi membuat makanan kesuaanku mulai sejak sarapan hingga makan malam. Malamnya, Ummi bahkan tidur dengan memelukku sangat erat. Tak henti-hentinya menciumi wajahku. Seolah aku ini aroma therapy yang sangat wangi. Atau mungkin aku memang sewangi itu?

Aku tidak bisa bertindak menolak. Karena hal itulah yang didamba oleh anak yang manja ini.

"Abang jadi ikut?" Tanyaku masih tak terima kenapa bukan aku saja yang ikut. Kan bang Aidan bisa mengambil cuti kapan saja. Tidak seperti aku.

"Jadi, dong." Bang Aidan mengambil posisi tepat di sampingku.

"Kasihan banget adikku ini nggak bisa ikut," imbuhnya dengan ekspresi meledek yang sudah sangat tidak sesuai dengan usinya yang menginjak dua puluh lima tahun.

Aku mengerucutkan bibirku seraya menatap jengkel ke arah bang Aidan. Menjengkelkan sekali makhluk satu ini. Bertambahnya usianya maka bertambah pula tingkat reseknya.

"Udahlah. Lama-lama di sini bikin aku tambah panas. Mending aku ke kamar aja. Sibuk, nih."

Sebelum beranjak, aku sempatkan untuk memukul punggung bang Aidan dengan bantal sofa hingga membuatnya meringis.

"Tidur di kamar Ummi lagi ya malam ini." Dengan jelas aku masih mendengar teriakan Ummi di belakangku. Tetapi aku memilih ke kamar sebentar untuk mengambil barang-barangku.

Mendung Di Balik Awan (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang