Aku menutup buku bacaanku begitu mendengar pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Aku berjalan membuka pintu yang sebenarnya tidak terkunci tapi tidak langsung dibuka karena aku tahu, si pengetuk menghargai ruang privasiku.
"Kok nggak masuk aja bang?" Tanyaku pada bang Aidan yang sudah berdiri dengan tumpukan buku di tangannya.
"Belum dipersilahkan." Nah, betul kan tebakanku. Ummi dan Abi akan sangat marah jika kami melenggang masuk ke kamar masing-masing tanpa izin meskipun kami saudara.
"Oke. Silahkan masuk abangku sayang." Jangan! Jangan berharap abangku tersayang akan mengatakan hal yang sama untuk membalas ucapanku. Dia punya ungkapan sayang yang sangat berbeda. Seperti barusan saat dia menoyor manja kepalaku. Manja yang membuat nyeri.
Aku melirik sekilas pada buku-buku yang bang Aidan bawa. Wah! Buku yang sangat berat. Bukan berat muatannya. Tapi berat untuk dibaca oleh orang sepertiku yang sudah tentu lebih menyukai buku nonfiksi ketimbang buku-buku yang dibawa bang Aidan. Dari covernya, sepertinya buku itu kurang menarik minatku ubtuk membaca. Isinya tentang ilmu semua.
"Itu buku banyak bener, bang. Buat apa?" Tanyaku betul-betul peduli. Karena ada dua kemungkinan di kepalaku, jika bukan untuk memaksaku membacanya, mungkin bang Aidan menyuruhku membayarnya. Ah, yang benar saja. Pikiranku kacau. Bang Aidan sudah punya kerjaan sendiri. Tidak mungkin menyuruhku untuk membayarnya, kan?
"Alhamdulillaah kamu nanya, Ra." Bang Aidan menyeringai jahil sedangkan aku mendadak melunturkan ekspresi menjadi datar. Seketika menyesal sudah bertanya.
"Ini itu buk-,"
"Eh, kayaknya Kaira banyak kerjaan deh bang. Jadi, nggak bisa bantuin abang." Belum selesai bang Aidan melanjutkan aku buru-buru memotongnya sebelum terjadi hal-hal yang sangat tidak diinginkan.
"Dih, siapa juga yang mau nyuruh-nyuruh kamu. Orang abang kesini itu mau nitip buku ini di kamar kamu. Boleh, nggak?" Tanya bang kamal membuatku melongo. Aku percaya bahwa abangku tersayang ini sangat-sangat kutu buku. Tapi, apakah dua rak buku berukuran besar di kamarnya itu benar-benar sudah penuh sehingga dia dengan sangat terhormat ingin menitipkan buku-bukunya dengan genre luar biasa itu ke kamarku? Sungguh aneh!
Aku menatap bang Aidan dari ujung rambut sampai ujung kakinya bak seorang detektif. Mataku kubuat seolah-olah orang di depanku ini butuh untuk diinvestigasi. Sedangkan hidungku mengendus-endus bau dosa yang takutnya akan tercium tidak lama lagi. Lalu aku tersadar bahwa virus aneh bang Aidan sudah menular secepat virus corona. Bedanya, sepertinya aku tertular dari debu buku-buku yang dibawa bang Aidan.
"Kok gitu, bang? Emang rak buku abang yang segede gaban itu udah penuh?" Dahiku mengernyit heran ditambah tatapan protes saat bang Aidan dengan entengnya meletakkan buku-buku yang dibawanya di rak bukuku.
"Loh, bang! Kan Kaira belum setujuin..." Kataku tak terima.
"Pokoknya, abang nitip di sini dulu. Oke?" Ucapnya bukan sebagai permintaan atau permohonan. Tapi sebagai pernyataan kalau buku-buku itu akan tetap ada disitu meskipun aku menolak.
Aku berdecak malas lalu dengan kesal kembali melanjutkan bacaanku yang sempat tertunda tadi tanpa berniat sedikitpun untuk mengganti bacaan dengan buku-buku tadi. Dan tanpa berniat mengejar bang Aidan untuk menuntut penjelasan. Mungkin bang Aidan punya alasan yang diluar IQ rendahku untuk memahami. Ah, lupakanlah. Bukan urusanku selama rak bukuku tak ambruk hanya karena bertambah beberapa buku saja. Lagi pula, aku jadi terlihat seperti kutu buku. Hihi.
***
"Kok nomormu nggak aktif sih semalam?" Baru menghempaskan tubuh di kursi, Arfan sudah menodongku dengar pertanyaannya membuatku menatapnnya malas. Bukanlah sebuah hal aneh jika sepagi ini Arfan sudah berada di gedung di kelasku. Tak lain dan tak bukan, dia punya banyak relasi di tempat ini. Apalagi kalau bukan urusan organisasi?
Bahkan semua orang di tempat ini sudah hafal bagaimana wajahnya–terlepas dari ketenarannya sebagai ketua BEM fakultas.
"Hp-ku mati, Fan. Males nge-charge." Aku menyerahkan kotak bekal dari Ummi untuk Arfan. Kebiasaan Ummi dari sekian tahun yang lalu yang kadang aku malu.
Syukurnya Arfan selama ini menerima dengan lapang dada tanpa mengejek atau protes apapun. Kelihatannya pun sepertinya dia sangat amat menikmatinya mengingat Ummi selalu mengisi bekalnya dengan makanan favoritenya.
Arfan memutar kursi yang ada di seberangku lalu membuka bekal yang
kuberikan tadi.
"Wah! Tau aja Ummi aku lagi pengen banget makan lupis buatan Ummi. Kemaren mau minta tolong bunda, tapi kasian. Bunda pasti capek banget." Ucap Arfan sambil mencomot isi dalam bekal yang baru kuketahui ternyata isinya kue lupis. Kue kesukaan Arfan."Oh, ya. Gimana keadaan Ayah? Udah baikan?" Tanyaku.
Kini aku benar-benar menoleh dengan semangat pada Arfan. Keadaan kelas yang ramai membuatku berani untuk menatap Arfan. Aku penasaran dengan kondisi Ayahnya. Informasi terakhir yang kutahu dari Ummi, selang-selang di tubuh Ayah Arfan sudah mulai dilepas satu persatu. Syukurlah. Merupakan sebuah peningkatan yang sangat kami syukuri.
"Alhamdulillaah udah. Udah ngomong, bercanda, ngemil-" Ucapan Arfan terpotong dengan tawaku. Bisa-bisanya dia menyempilkan kata 'ngemil' untuk menggambarkan kondisi Ayahnya. Benar-benar Arfan yang kukenal.
"Makanya Kak Nisa mau balik ke Malang ntar siang. Soalnya lega Ayah udah ngelewatin masa kritisnya." Sambung Arfan tanpa menanggapi tawaku barusan.
Mendengar nama Kak Nisa disebut ekspresiku berubah menjadi kaget. "Kak Nisa mau balik Ke Malang? Kok nggak bilang-bilang, Fan."
"Makanya semalam aku nelpon, kan? Itu kak Nisa yang suruh. Kebetulan aku pulang ke rumah. Katanya mau ngajak kamu ke rumah. Tapi hp kamunya mati. Pagi, siang, sorenya, kamu malah sok sibuk." Arfan menimpali perkataanku lalu menyerahkan kotak bekal yang sudah kosong kepadaku tanpa mempedulikan aku yang menatapnya penuh protes. Apa katanya? Sok sibuk? Rasanya ingin ku buka matanya lebar-lebar untuk melihat apa yang kulakukan kemarin. Tapi, yang kulakukan kemarin memang hanya mendekam seharian di dalam rumah. Eh, ralat. Kamar lebih tepatnya.
"Habis?" Tanyaku padanya.
Arfan menganggukkan kepala seperti anak kecil yang kehabisan jajan. Bukannya menanggapi, aku justru mengomelinya.
"Dicuci, lah. Enak aja balikin pas kotor-kotornya." Omelku yang hanya seperti angin lalu di telinganya karena sepersekian detik kemudian lelaki itu berbalik kemudian meninggalkanku yang menatapnya kesal.
"Aku ada diskusi sama Tama. Gak bisa ditunda." Teriaknya dari arah tempat duduk Tama. Entah berbohong atau tidak, tapi aku melihatnya sedang berbicara serius dengan Tama yang duduk di sampingnya. Mungkin saja dia tidak berbohong.
Aku beralih menatap tugas di depanku. Memeriksanya kembali sebelum dikumpul nanti. Tumben sekali kelas sepagi ini sudah ramai dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi yang biasanya sering telat bahkan alpa. Penyakit pelajar. Termasuk aku juga biasanya.
Kurasa ponsel di tasku bergetar. Ada notifikasi masuk dari Salma. Ah, ya. Aku baru menyadari jika gadis itu belum terlihat di kelasnya tadi.
Meskipun cenderung sefrekuensi, kalau urusan telat dalam kelas kami jelas berbeda. Salma merupakan pribadi yang disiplin dalam hal apapun itu.
Aku membaca isi pesan dari Salma.
Aku ketemu sama Kak Inayah lagi, Ra.
Kali ini aku dapat nomornya. Keren, kan?Begitu isi pesan Salma.
Please vote and comment;)
Thank's for reading my absurd story😂.Salam hangat buat VIERS,
Dari Fie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung Di Balik Awan (Revisi)
RomanceCeritaku seperti langit. Penuh misteri. Terkadang kupikir indah, tenyata salah. Dengan tiba-tiba hujan datang tanpa mendung. Dan hari akan berjalan penuh hujan, dan tanpa matahari. Mungkin kisahku seperti kebanyakan kisah romansa yang klise. Namun...