EMPAT

126 120 43
                                    

Sudah sepekan semenjak pernyataan Arfan di rooftop waktu itu. Sudah sepekan juga aku tak mendapati ekspresi Arfan yang seperti biasanya. Lelaki itu terlihat sangat pemurung dan hanya sesekali tersenyum.

Dia bahkan menjadi sangat sentimental sekarang. Apa-apa yang dirasa kurang tepat akan langsung memancing emosinya. Aku juga tak enak hati untuk selalu menengurnya karena aku paham betul bagaimana kondisinya sekarang. Aku hanya meminta rekan-rekan kami untuk memaklumi keadaan Arfan. Aku mengatakan bahwa kondisi Arfan saat ini karena dirinya sedang banyak pikiran. Dan syukurlah mereka mau memahami meskipun tak jarang mereka juga kena imbasnya.

Sebagaimana sekarang. Arfan mengomeli Naina dan Rika karena kesalahan dalam pengiriman barang yang kemarin sudah dikumpulkan dari para Mahasiswa dan Mahasiswi. Padahal itu bukan sepenuhnya kesalahan mereka. Itu hanya kesalahpahaman antara kurir dan panti asuhan yang bersangkutan. Dan lihatlah bagaimana sensinya Arfan, lelaki itu sudah mengomel sejak tadi membuat kami dalam ruangan ini saling melempar tatapan penuh tanda tanya.

"Udahlah, Fan. Lagi pula barangnya udah kita kirim ulang, kok. Tadi Ane sama Fathir yang langsung ke sana." Ujar Aldi berusaha menengahi sekaligus membela Naina dan Rika. Hanya dia yang sejak tadi berani bersuara dan menegur Arfan untuk bersikap profesional. Kami semua hanya diam. Nafaspun sangat hati-hati kami hembuskan kalau Arfan sudah sensi begini. Takut kena semprot juga.

"Ya tetap aja. Ini tanggung jawab mereka berdua. Harusnya mereka yang selesain dan juga langung minta maaf sama pihak panti asuhannya." Itu kata-kata terakhir Arfan lalu kemudian dia beranjak dari ruangan rapat. Ada benarnya juga, sih yang dia katakan. Tapi, kan gak mesti harus diperpanjang juga seolah ada kasus korupsi yang sedang terjadi.

Aku mengikutinya. Memastikan tak akan ada lagi korban amukan Arfan selanjutnya. Cowok itu betul-betul harus diawasi. Aku merasa perlu berbicara dengannya.

Aku melihat Arfan berbelok ke arah Mushalla. Pikirku, mungkin dia ingin melaksanakan Shalat dhuha mengingat sekarang masih menunjukkan pukul setengah sepuluh. Aku yang kebetulan sedang datang bulan terpaksa harus menunggu di luar Mushalla sampai Arfan selesai denga Shalatnya.
Beberapa menit kemudian, lelaki itu muncul dengan rambutnya yang masih basah bekas wudhu tadi. Dia berjalan menghampiriku setelah memakai sepatunya.

"Kamu ngikutin aku, ya, Ra?" Tanyanya tanpa basa basi. Tipikal keluarga Fawwaz.

Aku hanya bisa nyengir mendengar pertanyaan Arfan yang tepat sasaran. Lelaki itu kemudian memilih duduk di rumput pekarangan Mushalla. Tidak dekat namun juga tidak begitu jauh sehingga aku masih bisa mendengar suaranya dengan sangat jelas.

"Aku juga bingung aku kenapa, Ra." Lagi-lagi Arfan tepat sasaran. Dia tahu persis apa yang membuatku mengikutinya.

Arfan menatapku sekilas. "Aku bingung sama diriku sendiri akhir-akhir ini. Jadi gampang marah-marah sama hal yang sebenarnya sepele kayak tadi. Untung Aldi dan Tama bisa maklum jadi sebagian urusan mereka selesaiin sendiri tanpa aku campur tangan." Aku dapat membaca ada gurat frustasi dari nada bicara Arfan barusan.

"Wajar sih kalau kamu jadi sensian. Soalnya kan sekarang kamu lagi ada sesuatu yang dipikirin, jadi emosinya suka lepas. Yang gak wajar itu kalau kamu malah sama sekali nggak bisa kontrol diri kamu kayak tadi. Kasihan tau Naina dan Rika. Mana Naina itu baperan lagi kayak aku. Jadi gampang nangis. Itu kesannya kayak kamu gak profesional, Fan." Aku berusaha memelankan suaraku agar tak terdengar seperti sedang menggurui atau menghakiminya.

Jika kondisi Arfan seperti biasanya, aku akan lepas saja berbicara dengannya tanpa harus memperhatikan dia menyukainya ataupun tidak. Hanya saja kondisi saat ini berbeda sehingga aku harus hati-hati mengeluarkan kata-kata yang bisa membuat mood-nya bertambah kacau.

Mendung Di Balik Awan (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang