DUA PULUH DUA

37 14 1
                                    

Manusia sudah tahu sumber kecewanya apa. Tetapi, kenapa masih terus berharap?
..
.
.
.

"Kamu pasti haus, kan?" Tanya seseorang berkacamata yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku sembari menyodorkan minuman dingin.

"Nggak baik, lho, nolak rezeki." Revan kembali bersuara mungkin setelah menyadari aku tak juga memberi respon.

Apa ini? Kenapa tiba-tiba lelaki ini datang tanpa ada angin badai, topan, ataupun tsunami. Eh, astaghfirullah!

Maksudku, kenapa lelaki ini tiba-tiba datang lalu menawarkanku air minum? Setahuku, kami tidak pernah punya riwayat sebagai seorang sahabat ataupun teman dekat yang layak untuk berbagi air minum. Dan dia dengan entengnya melakukannya seolah kami ini sudah lama dekat. Bahkan dengan santainya dia duduk dengan jarak yang tidak begitu jauh denganku. Membuatku bergidik ngeri dan berniat pergi meninggalkannya. Apa kata orang nanti? Apalagi ketahuan Abi. Wah, bisa salah paham nanti.

"Eh, jangan pergi dulu, dong. Saya mau minta tolong sama kamu," kata Revan membuatku urung melangkah lalu berganti menatapnya yang kini juga tengah berdiri.

Aku menatapnya dengan kening yang mengerut seolah mengajukan pertanyaan tersirat.

"Saya mau minta waktu kamu sebentar," ulangnya lagi.

"Sepenting itu?" Tanyaku.

Bukan. Bukan aku tidak ingin membantunya mengingat dia juga pernah membantuku. Tapi, harus di sini?  Sekarang ini? Aku terlalu gelisah karena takut lama mengundur waktu shalat zhuhur. Belum lagi dengan pasang mata mahasiswa lain yang sekarang tengah mengarah ke arah kami berdua.

"Nggak, sih. Tapi, penting buat saya," katanya lagi dengan ucapan yang sama membingungkan dengan tingkahnya.

"Tapi saya belum shalat," ucapku mencari alasan untuk bisa pergi.

"Oh, astaghfirullah. Ya sudah. Kalau begitu bisa kita buat janji untuk bertemu?"

Sepenting itukah urusannya hingga dia sampai mencari waktu lain.

"Ini tentang Salma," gumamnya pelan. Sangat pelan hingga aku takut salah dengar.

"Salma?" Tanyaku memastikan.

Dia mengangguk lalu menyodorkan ponselnya ke arahku. Memintaku untuk menuliskan nomorku di sana. Dan aku jelas tidak bisa menolak jika sudah bersangkutan dengan sahabatku satu-satunya itu.

"Tapi, emang harus banget, ya, ketemuan? Maksudku, apa tidak bisa lewat pesan saja? Takutnya nanti jadi salah paham," jelasku berusaha membuatnya tidak tersinggung. Bukan apa, seperti kata Salma bahwa Revan baru saja memperdalam Islam. Dan kemungkinan dia belum tahu betul tentang batasan-batasan lawan jenis dalam Islam. Termasuk pertemuan antara dua lawan jenis. Karena itu termasuk dengan khalwat.

Takutnya, malah menghadirkan setan sebagai yang ketiga. Lalu pertemuan itu diperindah olehnya dan menimbulkan fitnah. Belum lagi jika akhirnya setan mampu membujuk rayu keduanya hingga bertindak lebih. Na'udzubillah.

"Tenang. Kamu boleh, kok, ngajak orang lain buat ditemenin. Biar kita nggak cuma berdua. Soalnya kalaupun lewat chat, itu juga kesannya sama dengan khalwat."

Tebakanku tentang dirinya ternyata salah. Nyatanya, pemahaman agamanya lebih baik dari yang ku kira. Bahkan untuk sesuatu yang tidak terpikir di kepalaku saat ini. Iya, juga, ya. Chat dengan lawan jenis juga termasuk khalwat. Bahkan mungkin lebih banyak mudharatnya mengingat saat berkirim pesan dengan lawan jenis situasinya jadi jauh lebih privasi.

"Oke, deh."

Aku mengambil ponsel yang sejak tadi diulurkannya lalu menuliskan nomor ponselku di sana.

Revan langsung pamit begitu aku mengembalikan ponselku. Dia sempat berkata akan menghubungiku lagi untuk memberitahukan tempat bertemu nanti. Dia juga sempat berpesan untuk tidak memberitahukan Salma perihal rencana pertemuanku dengannya.

Kelakuannya semakin aneh. Membuat kepalaku pusing saja memikirkannya. Dia ini lagi bertengkar dengan Salma apa bagaimana? Kenapa harus menyeretku ke dalam masalahnya? Ah, ada-ada saja. Yang pasti, aku tidak boleh mengomel terus. Ini tidak seberapa dibanding dengan kerepotan yang sering ku timpakan pada Salma.

"Udah selesai ketemuannya?" Tanya Salma mengagetkanku.

Dua calon pasangan ini gemar sekali mengagetkanku sehari ini. Yang satu dengan keanehannya, yang satu lagi dengan sikapnya yang berubah dingin.

Dingin? Wah, ada apa dengannya? Apakah pertikaian dengan Revan membuatnya menjadi dingin begini? Lucu sekali sahabatku ini.

Tak ingin ikut campur dengan urusan keduanya, aku memilih mengiyakan pertanyaan Salma lalu pamit untuk pergi shalat.

Aku bergegas dengan langkah cepat ke arah masjid. Sudah terlalu lama aku mengulur waktu shalat. Dan juga waktu istirahat tinggal sebentar lagi. Khawatir aku malah terlambat nanti.

Namun lagi-lagi langkahku terhenti. Tepat beberapa meter dari arah kananku, aku melihat sebuah pemandangan yang membuat galauku yang sempat berhenti kembali meluap keluar.

Tepat di sana, berdiri Arfan dengan seorang perempuan yang ku yakini adalah perempuan yang sama yang ku temui di rumah sakit beberapa waktu yang lalu. Kak Inayah. Ya, aku dapat mengenalinya meskipun wajahnya saat ini tertutup masker.

Ada luapan rasa sakit yang masih membekas di hatiku yang bergerombol ingin keluar. Rasa panasnya bahkan sampai ke mataku begitu melihat bagaimana serasinya dua calon mempelai itu. Siapapun yang melihat pasti akan berfikir bahwa dua orang itu sangat serasi.

Mereka berdua berjalan mendekat ke arahku. Namun, entah kenapa kakiku sangat sulit untuk digerakkan. Aku terpaku di tempatku berdiri, padahal rasanya ingin sekali enyah dari hadapan mereka. Aku khawatir salah satu atau bahkan keduanya akan menyadari aura cemburu yang saat ini mungkin sedang tergambar jelas di wajahku.

"Assalamu'alaikum, Kayra. Masya Allah, kita ketemu lagi, ya," sapa kak Inayah lembut.

Aku hanya mampu tersenyum kaku seraya membalas sapaannya dengan intonasi suara yang kuusahakan sama lembutnya. Meskipun mustahil.

Aku melirik sedikit ke arah Arfan yang menatapku dengan ekspresi datar. Sangat datar dan tajam. Seolah aku ini mangsa yang siap disantapnya. Aku pertama kali melihat ekspresinya itu. Dan, kenapa dia harus menunjukkan ekspresi seperti itu? Apakah karena aku sudah mengganggu waktunya bersama kak Inayah? Hatiku bertambah sakit dengan pikiranku sendiri.

Sebelum aku berakhir menangis di sini, aku memilih untuk lekas undur diri dengan mengatakan kepada mereka bahwa aku belum shalat zhuhur. Alasan lain? Aku hanya takut ternyata makna tatapan Arfan sesuai dengan dugaanku tadi. Jika benar begitu, lebih baik untuk segera pergi, bukan?

Tiba-tiba satu pertanyaan hadir di benakku. Apa yang mereka berdua lakukan di sini? Ah, lebih tepatnya kak Inayah. Apa yang dilakukannya di sini? Menjenguk Arfan?

Tapi–hampir saja aku lupa dengan bu Aisyah. Mungkin saja kak Inayah datang ke sini karena urusan dengan beliau.

Begitulah. Rasa cemburu mampu membuat sebagian otakku mendadak lupa.

..
.
.
.

Jangan lupa vote dan comment yaaah;)
Thank's for reading my absurd story 😂.

Assalamu'alaikum gaiss.. MaasyaaAllaah. Tabarakallaah Terimakasih sudah mampir di cerita Arfan dan Kaira, yah.

Jujur aja, ini tulisan pertama yang pengen banget aku selesaiin. Jadi, jika terdapat banyak typo atau lainnya, tolong dibenarkan, ya.. Aku sangat menginginkan masukan dan saran dari pembaca sekalian. Disini aku mengangkat satu jenis penyakit yang aku sendiri belum punya cukup ilmu disitu. Jadi, semisal teman-teman tau tentang penyakit tersebut serta prosedurnya, jangan sungkan untuk komen, ya...🥰

Jazaakumullaahu khairan Katsiiran.

Salam hangat buat VIERS,
Dari Fie.

Mendung Di Balik Awan (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang