Berlalunya hari akan terasa cepat dengan kebahagian. Dan, terasa lama dengan kesedihan. Itulah mengapa aku takut bahagia. Aku takut setelahnya ada kesedihan panjang yang sedang mengulur waktu.
..
.
."Tau gak, Ra? Bu Aisyah kemaren ngundurin diri dari kampus." Begitu ucapan pertama Salma begitu aku bertemu dengannya di lobi Fakultas. Dia sengaja menungguku untuk menyampaikan beritasatu semalam sesuai dengan janjinya.
Dan seperti tebakanku. Beritanya selalu menarik perhatianku. Tentang apapun itu. Termasuk tentang berita yang dibawanya sekarang ini. Aku sampai-sampai membelakkan mata dengan lebar sampai terkejutnya.
Ah, harusnya kusimpan dulu rasa terkejutku. Harusnya aku bertanya tentang kevalid-an berita ini.
"Serius? Beneran?" Tanyaku dengan nada shock.
Salma menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan informasinya.
"Beneran, Ra. Demi Allaah–"
"Hush! Jangan sembarang bawa-bawa nama Allaah, Ma. Gak mau kan dicap munafik?" Tegurku spontan. Bertahan selalu diingatkan Abi aturan-aturan agama seperti ini, membuatku selalu menancapnya kuat dalam hati.. Seketika Salma menurut mulutnya sambil beristighfar.
"Eh, iya, Ra. Tadi keceplosan." Salma memelankan suaranya hingga menyerupai bisikan.
Salma kemudian melanjutkan ceritanya yang terpotong tadi.
"Sebenarnya, Ra, ini aku gak lihat langsung, sih. Aku diceritain sama anak-anak di grup. Katanya, kemarin ada yang ngelihat Bu Aisyah habis dari ruang rektor. Nah, beliau tu katanya habis nyerahin surat pengunduran diri. Terus, sama rektor gak di acc. Akhirnya semacam berdebat gitu di sana. Tapi, karena sama-sama gak bisa ngontrol emosi, suaranya jadi kedengaran sama anak-anak lain yang kebetulan lagi ada di sana. Udah, deh. Bu Aisyah akhirnya keluar dari ruangan. Aku gak tau lagi kelanjutannya."
'Terus... Kenapa kalian bisa punya kesimpulannya begitu padahal gak lihat langsung?"
"Gimana gak berasumsi, beliau jelas-jelas ngasih surat pengunduran diri." Ucap Salma dengan intonasi menggebu-gebu. Seolah-olah ingin meyakinkanku bahwa yang diketahuinya benar adanya.
Aku terdiam sejenak. Pikiranku mencoba mencerna apa yang sedang diolah oleh otakku. Sama-sama seperti aku mengingatnya. Iya. Kemarin aku sempat bertemu dengan bu Aisyah.
"Kayaknya yang kamu bilang memang benar deh, Ma. Kemarin waktu aku ke Kampus, aku gak sengaja ngelihat bu Aisyah jalan sama cewek. Gak begitu jelas, sih. Soalnya si cewek paker cadar. Kayak buru-buru gitu mereka." Terangku dengan mata menerawang.
"Cewek cadaran itu pasti kak Inayah. Tapi, kok bisa bareng bu Aisyah ke kampus? Ruang rektor lagi." Dahi Salma mengkerut berusaha menemukan jawaban dari kepalanya.
Aku juga berusaha membantunya berfikir. Meskipun aku tahu, usahaku hanya sia-sia. Informasiku minim sekali untuk kadar cewek dengan tingkat kekepoan maksimal.
"Eh, Ra. Nanti kita sambung lagi mikirnya, ya. Aku udah telat." Belum sempat aku menimpali, gadis dengan hijab peach itu tergesa-gesa berlari menuju kelasnya meninggalkanku yang menatapnya tabah.
Dia pikir aku tidak terlambat, batinku berteriak.
Terpaksa aku merelakan kembali kelasku pagi ini untuk mendapat nilai kurang. Kamis yang melelahkan.
***
Aku menunjukkan dua gamis ke arah Arfan. Memintanya untuk memilih yang cocok dengan dengan selera Bunda.
"Yang lain aja, deh. Terakhir aku beliin gamis bunda malah ngomel. Katanya lemarinya Kepenuhan." Ucap Arfan lalu berjalan mendahuluiku menuju tempat aksesoris.
Jika seperti itu, lalu kenapa dia mengajakku ke toko pakaian? Untuk membuat jiwa-jiwa boros ku meronta-ronta? Menyebalkan sekali.
Aku berjalan mengekori Arfan. Seperti janjiku semalam untuk menemani Arfan mencari hadiah untuk Bunda. Sebenarnya ini bukan untuk ulang tahun atau lainnya, Arfan memang seperti. Dia memiliki kebiasaan memberikan hadiah kepada orang-orang terdekatnya. Katanya untuk menghargai mereka. Aku pun sama. Dia sering membelikan ku buku. Jadi, tumpukan buku di lemari itu bukan sepenuhnya berniat ku koleksi. Sebagian besar buku-buku itu merupakan hadiah dari Arfan. Alasannya, agar aku terbiasa membaca.
Dia selalu memberikannya secara tiba-tiba. Sehingga aku tak bisa meminta hadiah seperti apa yang aku mau."Kira-kira bunda suka gak ya cincin ini?" Arfan memperlihatkan cincin yang dipilihnya.
Aku mengamati cincin itu dengan seksama. Seketika terbesit sesuatu di kepalaku.
"Kenapa cincin? Kenapa gak anting aja? Atau apa gitu." Arfan bergantian menatapku dengan alis terangkat.
Seolah mengerti kebingungan Arfan, aku menjawab.
"Gini loh... Kalau cincin, bakalan jarang banget dipake sama bunda. Kan bunda makenya cincin dari ayah. Tapi, kalau anting atau kalung, bakalan dipake gantian sama bunda." Jelasku. Aku dapat melihat pemuda itu Mengangguk-angguk samar.
Satu hal yang ku senangi dari Arfan adalah, pemuda itu selalu mau menerima usulan orang lain dengan kepala terbuka. Kecuali untuk sesuatu yang menurutnya benar-benar tak masuk akal.
"Kok, gitu? Bunda itu selalu ngehargain pemberian anak kesayangannya ini. Jadi gak mungkin gak dipake."
Ah, kutarik kembali apa yang ku ucapkan tadi. Sepertinya aku tak mengenali Arfan belakangan ini. Apa itu barusan? Apakah dia baru saja menolak saran ku? Ck!
Aku menghela napas lalu menyilangkan tanganku di depan dada.
"Begini baginda Arfan yang saya hormati. Bunda pasti ngehargain pemberian kamu. Jangankan kamu. Pemberian orang lain juga pasti dihargain sama bunda. Masalahnya, cincin yang di tangannya bunda itu punya makna lebih dari sekedar pemberian orang. Itu tuh bentuk kasih sayang dari suaminya. Makanya jauh lebih berharga dari apapun yang orang kasih. Begitu nduk. Hamba mohon dimengerti, ya." Arfan ini sepertinya harus ku ikutkan jadwal konseling, deh. Biar dia bisa mengerti sendiri hal-hal seperti ini tanpa harus ku jelaskan. Capek juga lama-lama.
"Cewek rumit, ya. Padahal bisa aja cincinnya diganti juga kayak kalung sama anting. Toh, cuma sementara aja, kok." Kata Arfan masih dengan pemikirannya. Begitulah jika dua makhluk beda jenis dan beda planet, jika disatukan. Satelitnya bertabrakan. Semua signal terputus.
Huft.
"Yuk, pulang. Udah mau maghrib."
"Udah dapet hadiahnya?" Tanyaku heran. Baru saja aku menjelaskan kepadannya tentang hadiah, dia langsung mengajakku pulang. Apa maksudnya?
Arfan mengangkat tangannya, menunjukkan sebuah paperbag berlogokan toko yang kami masuki saat ini.
"Apaan, tuh?" Jiwa kepo-ku mulai merasuki.
"Ini anting yang ku pesan kemarin buat Bunda."
Seseorang, bisa tolong bantu aku berdiri. Kakiku rasanya tak bertulang sekarang. Rahangku bahkan rasanya sudah menyentuh lantai begitu mendengar rangkaian kata penuh makna yang baru saja Arfan ucapkan. Jika diizinkan, bolehkah aku melemparnya ke lantai dasar? Setidaknya, aku bisa menghilangkan wujud ghaib di depanku ini.
Hamba lelah ya Allaah.
Hampir tiga jam menemaninya berkeliling di mall ini. Mendatangi satu persatu toko untuk mencari hadiah. Bahkan sempat adu argumen tentang hadiah tadi. Lalu apa gunanya jika ternyata dia bahkan sudah memesan hadiahnya sebelum datang ke sini. Apa gunanya aku menjelaskan tadi jika pada akhirnya dia juga sudah memesan benda lain selain cincin.
"Kenapa,Ra?" Tanya Arfan polos. Catat, ya. Polos.
"Bodo amat, Fan. Bodo amat." Ucapku dengan sisa tenaga lalu menyeret langkahku segera keluar dari tempat ini meninggalkan Arfan yang terpingkal di belakang sana.
Penghujung hari yang melelahkan lahir dan batin.
Jangan lupa vote dan comment yaaah;)
Thank's for reading my absurd story 😂.Salam hangat buat VIERS,
Dari Fie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung Di Balik Awan (Revisi)
DragosteCeritaku seperti langit. Penuh misteri. Terkadang kupikir indah, tenyata salah. Dengan tiba-tiba hujan datang tanpa mendung. Dan hari akan berjalan penuh hujan, dan tanpa matahari. Mungkin kisahku seperti kebanyakan kisah romansa yang klise. Namun...