"Aku mau ikut ke rumah sakit, dong." Ucapku dengan napas memburu. Bagaimana tidak? Aku harus mengejar Arfan dari teras masjid hingga lantai dasar tanpa berhenti. Lelaki itu sepertinya tidak mendengar aku memanggilnya tadi. Bahkan jika aku tidak langsung menghalaunya di depannya begini, dia mungkin tidak akan sadar bahwa aku memanggilnya sedari tadi karena earphone yang ternyata sudah bergelantungan dengan cantik di telinganya itu.
Arfan melepas earphone-nya. Dia menatapku dengan dahi berkerut.
"Apa?" Tanyanya.
"Aku-mau-ikut-ke+rumah-sakit." Kataku tersengal-sengal.
Aku berjongkok di depannya. Menetralkan degup jantung sebab lari tadi. Sesak sekali rasanya berbicara sambil mengatur napas.
"Eh, eh. Boleh kok, Ra. Jangan nangis sambil jongkok gitu, dong. Malu aku." Lelaki ini berdrama di saat yang tidak tepat. Untuk apa juga aku akan menangis di tengah koridor begini? Yang ada bukan dia yang malu tapi aku.
"Aku bukan nangis tau panda. Aku abis napas." Sahutku tak terima.
Aku berdiri sebelum Arfan akan meledekku lagi. Atau sebelum orang-orang sungguh mengira aku menangis sambil berjongkok disini. Padahal napasku masih satu-satu keluar.
"Kaira! Jangan manggil aku panda, dong. Malu tau kalo di denger orang." Arfan menatap sekeliling. Sepertinya berharap tak akan ada yang mendengar. Kulihat tatapan kesalnya kemudian mengarah kepadaku.
"Bodo amat!" Ucapku lalu berlalu pergi menuju tempat parkir. Diikuti Arfan yang tak berani menyahut lagi sepertinya. Demi menjaga image-nya sebagai the famous Imam di kampus khususnya di fakultas kami. Julukan dari ukhti-ukhti kampus untuk tuan muda kita, Abdullaah Arfanda Fawwas. Belum kenal saja mereka dengan kepribadian panda satu itu. Mungkin kalau mereka mengetahuinya, julukan itu bakalan diganti jadi the-, ah entahlah.
"Kamu udah izin Ummi sama Abi mau ikut ke rumah sakit?" Tanya Arfan. Begitu sampai di parkiran. Kakinya panjang sekali. Dia cepat sekali bisa menyusulku ke sini. Padahal aku setengah berlari tadi.
Aku mengangguk menanggapi pertanyaan Arfan.
"Ummi sama Abi ada di rumah sakit. Makanya aku sekalian ke sana biar pulangnya bisa bareng mereka." Jelasku yang dibalas ekspresi menjengkelkan Arfan. Lelaki itu menurunkan kedua sudut bibirnya lalu dengan nada mengejeknya dia mengataiku, 'dasar manja'.
"Biarin. Sukak ku lah. Aku itu tuan putrinya Abi, Ummi, bang Aidan, Bunda, Ayah, dan panda." Aku mengibas-ngibas tanganku di depan wajah. Tak apa kan sekali-kali menyombongkan diri?
"Dih, kata siapa kamu tuan putriku? Udah manja, ge-er pula." Arfan membalasku dengan nada mengejek.
"Lah, emang pandanya kamu?" Aku tak mau kalah. Percayalah! Dua keras kepala ini tak pernah jauh-jauh dengan perdebatan.
"Kamu gak bawa supir hari ini, Ra?" Aku mendengus karena Arfan tak menanggapi ucapanku. Namun, pertanyaannya membuatku menyadari sesuatu. Ah, iya. Aku lupa.
Aku menggeleng pelan sambil mengembungkan kedua pipiku.
"Ck! Yaudah. Kita pesan taksi aja." Arfan memutuskan dengan cepat. Kuyakini dalam hatinya dia sedang meredam rasa kesalnya.
"Lain kali gak usah ikut kalo gak bawa supir. Ngerepotin tau, Ra. Mana aku buru-buru lagi." Akhirnya dia mengomel. Aku hanya mendengarkan sambil menganggukkan kepalaku acuh. Seperti biasa. Omelannya hanya seperti angin lalu bagiku.
Beberapa menit kemudian taksi yang kami pesan tiba. Arfan langsung melenggang masuk mengambil posisi di samping kemudi. Sedangkan aku langsung duduk di kursi penumpang. Dimana lagi? Tidak mungkin aku duduk di depan menggantikan abang supirnya. Itu namanya, minta di antar bersama ke rumah sakit tapi dengan mobil yang berbeda. Ambulans.
Syukurnya jarak kampus dan rumah sakit tak begitu jauh sehingga beberapa menit kemudian kami sampai. Jadi, kami tak harus berama-lama terjebak dengan macet dan lampu merah. Menunggu dalam mobil betul-betul pekerjaan yang paling tidak mengenakkan dalam lits kehidupanku.
"Kamu masuk duluan, ya. Kamar Ayah nomor seratus lima belas. Udah pindah dari UGD tadi pagi. Aku mau beli buah dulu di sana." Arfan menunjuk arah depan rumah sakit. Banyak penjual buah yang berjejer disana. Meskipun jaraknya lumayan jauh.
Aku mengambil totebagku lalu bergegas masuk menuju kamar yang Arfan maksud. Aku memberi salam begitu sampai di pintu depan kamar Ayah Arfan. Di dalam sudah ada Ummi, Abi, dan Bunda yang sudah sedikit lebih ceria wajahnya dibanding terakhir kali aku melihatnya. Bunda tampak sedang duduk berdua bersama Ummi di sofa yang ada di depan bangsal. Sedangkan Abi duduk di sisi kanan bangsal.
Aku tak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan. Yang intinya aku menganggap obrolan Ummi dan Bunda lebih seru karena mendengar gelagak tawa mereka berdua begitu masuk tadi.
Setelah menyalimi mereka satu persatu, aku memilih duduk di sofa, bergabung dengan dua ibu-ku."Arfan mana, Ra? Bukannya bareng ya?" Tanya Bunda.
"Ada kok, bun. Tadi beli buah dulu di depan katanya."
"Padahal masih banyak buah di sini. Takut mubazzir." Ucap Bunda.
Bunda mengambil potongan jeruk di atas meja kemudian menyuapiku. Sudah kubilang, kan. Aku ini anak Ummi, Abi, Ayah, dan Bunda. Arfan saja yang gengsi untuk mengakuinya. Sekian lama hidup bersama mereka terlebih kami dulu bertetangga, membuat kami sudah dekat layaknya keluarga. Kadang sampai kami membuat acara khusus untuk dua keluarga ini berkumpul jika masing-masing sedang tidak sibuk.
"Ta-u sen-ri kan, nda. Ka-la-," Ummi menepuk pundakku. Menegurku untuk menghabiskan dulu makanan di mulutku baru berbicara. Aku menurut.
Tak lama kemudian Arfan muncul dengan menenteng sekantong buah yang kemudian diletakkannya di atas meja di depan sofa. Lalu berjalan menyalimi Abi dan Bunda.
"Padahal masih banyak buah loh Fan dibeliin sama kak Nisa tadi sebelum pulang." Ucap Bunda. Sambil mengeluarkan beberapa buah yang tadi dibeli Arfan dan menyerahkan es krim yang ikut menyempil dalam belanjaan Arfan. Aku antusias membukanya. Begitu mendarat di mulutku, suara Arfan menginterupsi kegiatanku mencicipi es krim.
"Loh. Kok bunda kasih ke Rara! Itu kan punya Arfan." Ucapan lelaki itu membuatku meliriknya sinis. Sejak kapan lelaki yang pernah mengatakan membenci es krim itu tiba-tiba menyukai es krim. Terlebih es krim yang kumakan rasa vanila. rasa kesukaanku sekaligus rasa yang paling dijauhi Arfan untuk semua jenis makanan dan minuman.
"Dih! Almaira juga tau kalo kamu nggak suka es krim. Berlagak sekali." Sinisku menyebut nama keponakannya yang disambut gelak tawa seisi ruangan."Kalian itu kok kayak kucing tikus. Nanti kalo udah pada nikah saling kangen loh."
"Uhuk!" Aku spontan terbatuk mendengar perkataan bunda.
"Nah, kan. Kalo makan yang haram-haram itu emang gitu, Ra. Nggak direstui sama tenggorokan sendiri." Aku lupa untuk membawa lem tadi. Mulut Arfan sepertinya perlu ditutup rapat-rapat untuk beberapa waktu ke depan. Mengiris hati sekali.
Aku mengeluarkan es krim yang sudah kugigit sebagian dan menyerahkannya kepada Arfan. Aku memasang muka cemberut.
"Nih! Makan aja tuh seplastik-plastiknya." Sarkasku.
Arfan melipat tangan di depan dada. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi seolah-olah jijik."Nggak, ah. Jorok banget. Bekasnya dikasih."
"ARFAAAN!!!" Seruku bertamah kesal. Semua yang ada di ruangan tertawa seketika. Tak terkecuali Ayah walaupun tak begitu terdengar suaranya.
"Ra... Ra. Suaranya nggak bisa dikondisikan, ya?" Kali ini Abi yang bersuara. Aku langsung terdiam sambil nyengir menatap ke arah Abi.
"Hehe... kelepasan, Bi. Kayaknya Arfan nyelipin toa di es krimnya."
"Nah! Arfan lagi... Arfan lagi." Bukan suara Arfan. Itu suara Ummi. Aku cemberut. Kenapa saat ini semua orang malah berpihak pada Arfan? Di sogok pake apa mereka?
Komen yang sifatnya membangun sangat kami butuhkan;)
Thank's for reading my absurd story😂.Yeay. Upload shubuh-shubuh🤣
Salam hangat buat VIERS,
Dari Fie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung Di Balik Awan (Revisi)
Roman d'amourCeritaku seperti langit. Penuh misteri. Terkadang kupikir indah, tenyata salah. Dengan tiba-tiba hujan datang tanpa mendung. Dan hari akan berjalan penuh hujan, dan tanpa matahari. Mungkin kisahku seperti kebanyakan kisah romansa yang klise. Namun...