Langit ku berubah pekat. Seiring dengan menghilangnya sang mentari di balik awan. Cerah memang tak selamanya, ya.
..
.
.
.Ah, tak tahan rasanya harus diam-diaman begini. Tak bisa ku nafikan, perbedaan Arfan benar-benar mencolok. Dia tidak seperti biasanya. Dia menjadi sangat pendiam sejak tadi. Dia hanya akan berbicara sepatah dua kata jika diajak ngobrol. Satu dua kali dia akan tersenyum tipis. Sangat tipis hingga aku pun ragu untuk memastikan apakah itu beneran senyum atau apa bagaimana.
Bahkan hingga mengantarku pulang dia hanya diam selama perjalanan. Hanya bersuara untuk menunjukkan jalan pada Pak Kifli yang duduk di samping kemudi.
"Kamu kenapa, sih?" Tanyaku sungguh tak tahan. Arfan itu kalau lagi mode ngambek, hitung aja sampai tiga hari. Baru dia akan memulai pembicaraan. Itu juga pasti masih dengan sikap acuhnya.
Namun, yang membuatku sekarang khawatir dengan acara ngambeknya, bukan karena aku takut dia mendiamkan ku. Karena aku tahu itu tidak akan lama. Aku hanya khawatir—lebih tepatnya bingung dengan alasannya melakukan mode diam seperti ini.
"Nggak kenapa-napa." Jawabnya acuh lalu mempersilahkan ku keluar.
Aku masih bergeming. Tentu saja, aku tak ingin beranjak dengan rasa penasaran level banget yang sedang menggerogoti ku sekarang.
"Buruan! Aku mau balik kampus lagi, nih." Ketus Arfan. Tuh, kan. Aneh.
Tapi, kenapa juga aku harus merasa aneh, ya? Bukannya Arfan memang terbiasa berbicara ketus begitu? Kenapa aku harus sensitif?
"Iya. Ini mau turun. Bawel banget." Aku menggerutu lalu beranjak turun dari mobil.
Sebelum benar-benar meninggalkan pekarangan rumah ku, Arfan sempat menurunkan kaca mobilnya lalu berkata dengan nada suara yang amat sangat tidak enak untuk dinikmati oleh telingaku.
"Lain kali, Ra, kalau kamu ketahuan jalan sama cowok lagi, aku aduin ke Abi kalau kamu pacaran." Ucapnya tanpa menatapku lalu segera melesat pergi.
Eh, aku jelas tidak terpengaruh dengan nada bicaranya. Tapi, apa yang dibicarakannya jelas menyita seluruh atensiku.
Apa katanya? Jalan sama cowok? Pacaran? Telingaku tidak putus saraf, kan? Kenapa aku bisa mendengar hal-hal aneh begini? Aku bahkan ngeri sendiri jika memutar ulang perkataannya itu.
Seingatku, aku tak pernah jalan dengan cowok lain selain mereka bertiga. Ya, maksudku Abi, Bang Aidan, dan Arfan. Apalagi sampai pacaran. Wah. Apa dia baru saja tertidur sehingga saraf otaknya melipir ke satelit luar angkasa? Luar biasa sekali tuduhannya. Jika apa yang dilihatnya seperti itu, siapa yang dimaksudnya? Aku merasa sedang tidak dekat apalagi menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Bisa-bisa abi dan Bang Aidan langsung menyateku nanti.
Kedekatan dengan Arfan saja sering disoroti oleh Abi. Masa iya mau sampai nyari perkara dengan lelaki lain. Duh.
Aku melangkah masuk sambil terus memikirkan ucapan Arfan tadi. Dia jelas tidak akan menuduh sembarangan. Aku tidak membenarkan ucapan Arfan juga. Maksudku, Arfan tidak mungkin asal bicara jika dia tidak melihat langsung. Aku kenal betul anak itu.
Ah, apa jangan-jangan yang dimaksud Arfan itu oppa korea dari Fakultas sebelah yang tadi siang menghampiriku? Jika iya, asumsi Arfan benar-benar salah mutlak. Aku, jangankan untuk berhubungan dengan cowok bermata sipit itu, tahu namanya pun tidak. Arfan ini benar-benar ingin ku tenggelamkan rasanya. Awas saja jika dia benar-benar mengatakan itu pada orang rumah. Aku jelas akan langsung menjadikannya bakso.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendung Di Balik Awan (Revisi)
RomanceCeritaku seperti langit. Penuh misteri. Terkadang kupikir indah, tenyata salah. Dengan tiba-tiba hujan datang tanpa mendung. Dan hari akan berjalan penuh hujan, dan tanpa matahari. Mungkin kisahku seperti kebanyakan kisah romansa yang klise. Namun...