EMPAT BELAS

72 67 12
                                    

Kita tidak pernah tahu cinta akan datang darimana dan dalam bentuk seperti apa. Dia seperti puzzle. Terkadang bagian terdekatlah yang menjadi pelengkapnya.
Kaira Niswah Basmara
..
.
.

"Mau dibantuin, nggak?" Tanyaku lagi tanpa berpikir. Sungguh, aku sama sekali tak berniat untuk mengatakan itu. Pertanyaan itu spontan keluar dari mulutku hingga membuatku merutuki diri. Semoga saja Arfan tak menanggapinya. Bisa bahaya jika itu sampai terjadi.

Alhamdulillah. sepersekian detik kemudian cowok itu menggeleng lalu mengangkat wajahnya hingga tatapan kami bertemu.

Ah, aku kembali merutuki diri. Kali ini dengan konsep yang berbeda. Kenapa dengan dadaku. Kenapa dengan dentuman samar yang terasa sangat cepat di dadaku. Aku gugup. Tatapanku terpaku. Aku kenapa? Apa karena aku lapar hingga efek tatapan Arfan bisa separah ini? Atau apa yang sedang bermasalah denganku hingga efeknya membuat kedua tanganku kini mendingin.

"Ra!" Aku mengerjapkan mataku untuk kembali ke dunia nyata. Di depan Arfan sudah menatapku dengan dahi yang berkerut.

"Kenapa, sih, Ra?" Tanya Arfan.

Aku mengalihkan pandanganku. Tak lagi menatapnya. "A–ah kenapa, Fan? Ada apa?" Tanyaku. Sungguh, otakku betulan koslet sekarang. Aku juga bingung. Seperti abu-abu.

"Aku nanya loh dari tadi. Kamu kenapa, si lagi sakit?" Aku menggeleng untuk dua jawaban. Aku sedang tidak sakit dan sedang tidak tahu ingin menjawab apa.

Arfan masih menatapku bingung lengkap dengan gelengan kepalanya. "Emang kalau aku suruh kerjain kamu mau?" Kali ini dia tersenyum seperti—mengejek. Wah, langsung saja aku tertarik kembali ke duniaku. Otakku menemukan kembali kewarasannya setelah mendapati senyum ter'rese' itu.

"Ya nggak, lah. Cuma nanya aja tadi. Biar sopan." Kilahku. Ya Rabb, maafkanlah hamba-Mu ini harus terpaksa berbohong  sedikit. Tidak sepenuhnya, sih. Aku memang bertanya seperti itu untuk memulai duluan obrolanku denganya. Itu untuk kesopanan, kan?

"Sejak kapan Kaira memperhatikan attitude-nya di depan Arfan?" Pertanyaannya membuatku seketika menyesal sudah memberanikan diri mengobrol dengannya tadi. Dia selalu saja menyebalkan.

"Tau, ah. Nyesel aku nanya. Mau pulang, nih." Aku segera melangkah pergi sebelum dia bersuara lagi.

"Kangen tau, Ra."

Apa? Apa katanya? Telingaku sedang tidak bermasalah, kan? Jika benar, saraf otaknya baik-baik saja, kan? Aku berbalik dengan alis berkerut dan mendapati Arfan masih duduk dengan posisi dan mimik wajah yang sama seperti tadi. Seolah-olah dia tidak habis melakukan sesuatu yang janggal tadi.

Sekian tahun berteman dengannya, dia tidak pernah mengucapkan kata-kata tadi dengan nada serius seperti barusan. Dia biasanya hanya bercanda kemudian meledekku setelah itu. Tapi kali ini berbeda. Dia mengucapkannya dengan nada yang sedikit —ah ralat, bukan sedikit tapi banyak berubah. Ada sesuatu yang bergetar hingga aku merespon dengan berbalik meminta kejelasan. Semoga saja ada kesalahan pahaman di sini.

"Apa katamu?" Tanyaku memastikan ucapannya barusan. Arfan menarik nafasnya. Entah kenapa aku semakin gugup dibuatnya.

"Aku bilang. Kamu pulang aja. Nggak ada yang perlu dibantu, kok." Katanya dengan nada tenang. Aku jelas tidak percaya dengan ucapannya. Jelas-jelas tadi dia hanya mengucapkan beberapa patah kata sedangkan kalimat barusan terdengar lebih panjang dibanding dengan yang diucapkannya sebelumnya.

Aku terdiam lalu mendelik ke arahnya kemudian bergegas pergi seolah mempercayai apa yang Arfan katakan. Sebenarnya aku bingung. Tapi, mungkin lebih baik dia tidak mengatakannya. Aku sungguh tak bisa menebak bagaimana irama jantungku jika dia mengulangi kembali apa yang sebelumnya dia ucapkan.

Mendung Di Balik Awan (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang