DUA PULUH SATU

40 22 6
                                    

Terbaik bagi kita mungkin bukan terbaik dalam kacamata Allah.
..
.
.
.

"Apa yang menjadi masalahmu sekarang, Abi harap tidak akan menjadi beban buat kamu. Abi nggak mau kamu kenapa-napa. Perbanyak istighfar dan  tahajjud. Jodoh nggak akan kemana, nak. Terbaik bagi kita mungkin bukan terbaik dalam kacamata Allah. Abi harap kamu legowo, ya, nak."

Masih terdengar dengan sangat jelas nasehat Abi saat aku menceritakan apa yang aku rasakan. Aku bisa merasakan tepukan lembut seorang ayah yang terasa menenangkan di tengah gundahnya persaanku saat itu.

Aku sangat bersyukur Abi selalu berusaha merengkuhku. Sehingga aku merasa tidak perlu berlama-lama bersedih. Sumber kebahagiaanku masih banyak. Jadi, dengan menghilang satu bukan berarti aku sudah tidak bisa bahagia, kan? Aku saja yang kurang bersyukur dan tidak menyadari bahwa selama ini aku dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku.

Contohnya saja seperti saat ini. Ummi sejak tadi sibuk mengajakku berkeliling mencari toko kue yang buka sepagi ini. Katanya, hari ini dia akan mengajariku membuat banyak kue untuk oleh-oleh yang akan dibawanya nanti ke kampung. Perlu kalian ketahui, ini kali pertamanya Ummi berinisiatif mengajakku ke dapur. Di hari biasanya Ummi pasti akan sangat melarangku masuk ke dapur. Katanya, nanti aku kecapekan.

Aku tahu sepertinya Ummi sudah mengetahui masalahku dan berniat menghiburku. Tapi, dengan membangunkanku sepagi ini di hari libur? Toko kue saja bahkan belum ada yang buka.

"Kan udah Kayra bilang Ummi, mana ada toko kue buka jam segini. Ayam aja kayaknya baru berkokok, deh." Omelku yang kesekian kalinya. Hampir semua toko kue di dekat rumah telah kami datangi, dan semuanya tutup. Jelas, siapa juga yang mau buka di pagi hari begini. Di hari libur pula. Aku saja memilih tidur.

Ummi menepuk pelan bahuku, "Sok tahu kamu. Kamu aja tidur pagi mulu kalau libur. Gimana mau tau ayam udah berkokok atau belum," kata Ummi yang membuatku hanya mampu mendengus. Mau menentang juga tidak bisa, yang dikatakannya adalah fakta. Aku tidak bisa mengelak meskipun beralasan.

"Kenapa, sih, nggak beli online aja, Mi. Daripada mutar-mutar gini. Penuhin jalan aja. Kasihan orang lain yang mau pakai jalannya. Pak Hamzah juga kasihan pagi-pagi udah ikutan rempong."

Ummi hanya menatapku dengan tatapan gemas. Sepertinya beliau sudah sangat gerah dengan omelan dan keluhanku sejak tadi. Aku yang melihat tatapannya pun memilih menatap jalanan pagi yang sudah dipenuhi banyak pengendara. Kalau tidak, omelan ku ini akan diungkit terus di rumah nanti.

Beberapa menit kemudian kami sampai di rumah dengan tangan kosong. Hanya ummi yang tangannya penuh dengan beraneka jajanan tradisional yang beliau temui di pinggir jalan tadi.

Aku sudah hendak melangkah masuk ke dalam kamarku dan berniat melanjutkan tidurku sebelum akhirnya suara Ummi yang menyuruhku bergegas ke dapur seketika menggagalkan rencanaku. Ya Rabb, aku butuh tidur panjang pagi ini.

Aku menatap beraneka macam bahan kue di atas meja. Dahiku mengerut dengan jelas. Bagaimana bisa ada bahan-bahan ini di sini? Tidak mungkin kan Ummi punya kekuatan sihir yang bisa mendatangkan bahan-bahan ini dalam sekejap mata? Tidak mungkin juga kan beliau memesan online dalam jangka waktu yang sangat singkat? Tapi, bisa jadi juga Ummi sudah memesannya sebelum kita berangkat tadi.

"Jangan diliatin kayak gitu, dong, Kay. Buruan bantuin Ummi." Ummi tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dengan memegang mixer.

"Lah, ini darimana, Mi? Ummi pesan online?

" Oh, nggak. Itu, kan, memang ada di rumah. Ummi selalu sediain biar gampang kalau mau bikin kue."

Seketika rahangku terbuka lebar mendengar jawaban Ummi. Bagaimana bisa Ummi mengucapkannya dengan begitu mudah sedangkan aku yang merasa sudah berkorban ini seperti tidak ada gunanya?

Mendung Di Balik Awan (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang