"Ayaaah."
"Hm?"
"Ayah sibuk?"
"Enggak."
"Anterin Lina, mau?"
"Ke?"
"Biasalah."
"Dasar. Kembaranmu mana? Gak ikutan?" tanya Ayahnya, mulai meletakkan handphonenya di atas meja ruang tamu, sepenuhnya menatap pada putrinya.
"Lita gak mau. Mager, sih, katanya." balas Lina.
Ayahnya mengangguk, mulai beranjak dari ruang tamu dan pergi ke kamar mengambil kunci motorㅡeh?
"LINAAA!"
"Apa Ayah?"
"PAKE MOTOR YAH?"
"Iyaaaaa!"
Ba'da maghrib, Ayah dan anak itu berboncengan berdua menuju perumahan tempat tinggal Nara. Ya, tentu saja Lina tidak akan menyia-nyiakan malam minggunya dengan hanya rebahan dikamar. Membosankan. Maka rumah Nara adalah solusinya.
"Nanti Ayah sama Ibu juga pengen mampir ke pasar malam yang ada di deket rumahnya Nara temen kamu lho, Kak." ujar Ayahnya setengah berteriak.
"Ha? Ayah sama Ibu mau ngapain disana? Pacaran kayak anak muda?" sahut Lina setengah ketus, seperti tidak suka saja jika Ayah dan Ibunya berlagak seperti anak-anak abg zaman sekarang.
"Hahaha. Kok kamu kayak nggak suka gitu sih, Kak? Kenapa sih?" kekeh Ayahnya, membuat Lina di belakang semakin mencebikkan bibirnya.
"Ya gak suka aja. Bukan gak suka karena Ayah sama Ibu tetep romantis, tapi gak suka kalo Ayah sama Ibu itu ngikutin trendnya anak muda jaman sekarang. Udah, cukup bahagia sama apa yang bener-bener ngebuat Ayah sama Ibu bahagia aja, gak usah coba-coba kelakuannya anak jaman sekarang."
"Lah? Kakak gak suka kalo Ayah sama Ibunya gaul? Nanti dibilang ketinggalan zaman lho."
"Ih, biarin. Lebih baik dikatain ketinggalan zaman ketimbang dikatain ngelakuin hal yang gak sesuai umur."
Mendengar itu Ayahnya semakin tertawa lebar, sedangkan Lina sudah berpikiran jika Ayahnya tiba-tiba kesambet. Dimana letak lucunya coba? Ayahnya ini memang lawak geming.
"Nah, sampe."
Lina turun dari motor setelah sampai di depan rumah sederhana namun luas nan lebar, bercat hijau daun. Nampak sepi dari luar. Sepertinya teman-temannya yang lain belum datang.
"Nanti kalo udah mau pulang, telpon Ayah." ujar Ayahnya, kalimat yang selalu keluar di saat-saat seperti ini.
"Iya Ayah."
"Oke, Ayah mau pulang. Assalamualaikum." Lina menyalimi punggung tangan Ayahnya sebelum Ayahnya benar-benar pergi. "Waalaikumsalam, hati-hati!"
Lina mulai berjalan memasuki kawasan rumah Nara. "Assalamualaikum, Naraaa!"
"Waalaikumsalam, iyaaaaa!"
Ceklek
"Selalu jadi orang pertama, ya." ujar Nara usai membukakan pintu, terkekeh kecil.
"Yoee. Padahal ada yang lebih deket tapi datangnya paling akhir." Kemudian mereka tertawa bersama.
"Nar, Nar! Katanya Angkasa mau ke sini." celetuk Lina tiba-tiba. Nara menoleh spontan. "Hah? Seriusan lo?"
"Iyaa, gak tau lagi sih, katanya dia lagi ada di rumah Tantenya, di perumahan ini juga kan?"
Nara mengangguk, kemudian membuka pintu utama rumahnya lebar-lebar. "Iya deh terserah. Sekarang, telpon deh temen-temen lo. Bilangin, anti ngaret-ngaret club."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 💭. we are classmate's ㅡ re-upload
Dla nastolatkówIni kisah milik mereka. Di dalam cerita ini semuanya terlihat lebih indah, dari aslinya. Ini mungkin juga tentang 'Bagaimana cara mereka untuk menikmati apapun yang telah mereka punya, dan menghargai apa yang telah ada.' Sebelum akhirnya penyesalan...