24. The Biggest Regret

223 7 8
                                    

Mondrian's Skybar adalah satu-satunya tempat yang dihabiskan Gray selama berjam-jam. Jarak yang lumayan jauh dari Inglewood ke Los Angeles, tak mengurungkan niatnya untuk mendatangi bar tersebut. Ia butuh pelarian, ia butuh ketenangan, ia butuh menjernihkan pikirannya yang menggila.

Dentuman musik serta teriakan para manusia yang membentuk lautan dalam bar, tak mampu mengalihkan pikirannya sedikitpun dari Abigail. Ia mengacak rambut frustasi karena mengira dengan kemari, ia bisa sedikit menyingkirkan kekacauan dalam kepala. Namun semuanya sia-sia.

Disambarnya vodka dalam botol yang masih utuh, dan langsung ia tenggak. Entah sudah berapa botol ia habiskan, tetapi kesadaran masih ada. Pikiran kacaunya masih bergentayangan seperti balon berisi udara penuh yang akan pecah.

Puas minum, ia tertawa lirih diikuti setetes air mata yang sedari tadi ia tahan. Namun satu tetes itu seperti pancingan, ia tak bisa menahan diri untuk menangis, tak peduli beberapa pasang mata meliriknya heran. Beruntung isak tangisnya teredam dentum musik yang keras.

Dadanya begitu sesak, bibirnya gemetar, dan suhu tubuhnya meningkat.

Demi Tuhan, ia merasa menjadi manusia paling kejam di dunia. Ia merasa menjadi manusia paling bodoh, paling sombong dan paling buta akan kebenaran. Bagaimana bisa ia memercayai Mary begitu saja tanpa mencari tahu lebih dulu.

Ia punya kuasa untuk memerintah. Ia punya uang untuk mendapatkan semua yang ia mau. Namun ia tak punya otak dan hati untuk berpikir dan merasakan penderitaan Abigail. Ia begitu tega menyakiti gadis itu. Ia begitu kejam merebut kebahagiaan gadis itu yang sesungguhnya membutuhkan kedamaian dalam hidupnya. Ia begitu bodoh melukai Abby yang tak tahu apa kesalahannya. Ia buta sampai tidak melihat betapa Abigail menjalani hidup yang lebih sulit darinya.

Abigail tidak bersalah. Satu fakta itu saja berhasil menghancurkan pertahanan Gray. Seumur hidup, belum pernah ia merasakan penyesalan sebesar ini.

Abigail, batinnya terus menyebut nama gadis itu. Otaknya penuh menggambarkan wajah Abby ketika tersenyum, ketika tertawa dan ketika bersedih. Ada pula rekaman-rekaman dari pikirannya ketika Abby menangis karena perbuatannya.

Handphone berdering untuk kesekian kali dengan nama penelepon yang sama—Edmund. Tadi sebelum ke sini, Gray memang tidak mengatakan apa-apa pada Edmund. Ia tahu pria itu sangat penasaran melihat raut wajahnya yang tidak biasa. Ia tahu setelah kembali ke rumah, Edmund akan merecokinya dengan banyak pertanyaan. Oleh karena itu ia sengaja tidak menerima panggilan.

Tiba-tiba botol di sampingnya jatuh.

"Ups, sorry!" ucap seorang pria mabuk yang tak sengaja menjatuhkan botol tadi. Namun situasi tidak tepat. Pria itu sudah mengganggu Gray yang sedang tertekan dan emosi. Maka tak butuh waktu lama untuk menciptakan keributan di situ, sebab Gray tanpa pikir panjang langsung memukuli pria mabuk itu.

"Hei, kendalikan dirimu!" Seorang bartender berusaha menengahi perkelahian, tetapi Gray tak ambil pusing. Orang-orang yang tadinya sibuk berjoget, langsung mengerumuni tempat itu.

"Hei, itu hanya sebuah botol. Tak perlu membesarkan masalah!"

Gray tak mendengar. Malah ia semakin bersemangat memukuli sang lawan yang kini mulai menyerang.

Gray mendesis. Pria mabuk yang ia pukuli berhasil melukai tangannya dengan botol hingga pecah. Darah seketika menetes deras.

Memanfaatkan keadaan itu, beberapa pria langsung mengamankan situasi.

Shadow of the Wound (Completed ✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang