~He's an angel of death in human form~
Pria itu menyeringai menatap deretan samsak tinju di area ruang pribadi miliknya. Santapan lezat di depannya terlalu nikmat jika dibiarkan begitu saja. Apalagi hasrat membunuh tiba-tiba terasa sangat bergejolak, sehingga ia tak punya pilihan lain selain melampiaskan nafsu pada benda berbentuk seperti manusia itu.
"Rasakan ini!" Ia memekik senang, setelah berhasil membuat benda itu miring kesana-kemari. Peluh membasahi tubuhnya yang tak berbalut baju, menciptakan warna cokelat mengilap diterpa cahaya lampu terang.
Bugh! Bugh! Bugh!
Pria itu belum puas. Dipukulnya samsak berulangkali, mengabaikan napasnya yang mulai tak teratur.
Di sudut ruangan itu, duduk seorang pria lain yang sedari tadi hanya memangku kaki dan memperhatikan temannya melampiaskan emosi. Ia tak berniat menghentikan karena tahu kebiasaan itu. Tak juga heran melihat temannya seperti orang kesetanan yang berulangkali memukul samsak.
"Bagaimana dengan pukulanku, Ed?" tanya pria bernetra biru yang masih saja memukul benda tak bersalah itu.
"Sepertinya hasratmu lebih besar dibandingkan sebelum-sebelumnya."
"Kau benar. Sudah lama sekali aku tak menemukan mangsa."
"Kalau begitu lanjutkan saja!"
Pria itu mengangguk, hendak melanjutkan aksinya sebelum dering handphone membuat niatnya urung. Ia mengumpat sebelum membaca nama si penelepon. Pria itu berekspresi marah, tetapi langsung berubah setelah mendengar ucapan si penelepon. "Bagus sekali!" Satu sudut bibirnya terangkat, menciptakan senyum teramat kecil dan menakutkan. Bahkan kalau bukan karena wajah blasteran itu, senyum tadi mungkin dianggap sebagai seringai. "Bagaimana dengan polisi bayaran?" Mendengar jawaban dari seberang, pria itu manggut-manggut, dan berkata, "Kalau begitu cepat selesaikan sisanya, dan bawa mayat itu ke sini!"
Pria yang duduk di sudut ruangan—Edmund—mulai paham alasan temannya tersenyum. Rupanya ia sudah berhasil mendapatkan satu mangsa.
"Baiklah, aku tunggu di rumah!" Usai mengatakan itu, si pria memutuskan sambungan telepon, dan mendudukkan diri di samping Edmund.
Karena rasa ingin tahu yang begitu besar, Edmund tak dapat menahan mulutnya yang gatal untuk bertanya, "Siapa lagi kali ini?" Dilihatnya pria bernetra biru itu tersenyum miring. Dia pun menjawab, "Valen."
"Mantan kekasihmu?"
Pria itu mengangguk.
"Jadi aku akhirnya bisa melihatmu senyum licik seperti ini lagi?"
"Seperti yang kau lihat!"
"Dan kapan mayatnya dibawa ke mari?"
"Beberapa menit lagi. Mereka tidak terlalu jauh, hanya di El Monte."
"El Monte lumayan jauh!" pekik Edmund. "Kau terlalu niat, Gray!"
Pria yang disebut 'Gray' terkekeh, masih dengan suara nyaring yang menakutkan. Surai brunette dengan potongan rapi, menyebabkan bagian di depannya bergerak menutupi dahi. Sungguh, kalau tidak mengenal pria itu, semua orang pasti sepakat bahwa ia tampan. Namun tidak dengan Edmund. Di matanya, Gray dalam kondisi dan ekspresi apapun, adalah menyeramkan dan kejam.
"Mary terlalu keras kepala untuk membongkar pelaku kecelakaan itu." Edmund mengalihkan topik. Dan peralihan topiknya pasti terdengar sangat jauh, tetapi bagi orang yang mengenal Gray, topik itu tak jauh dari pembahasan mereka sebelumnya.
"Aku tau. Aku sudah berusaha mencegahnya, tapi ia tetap bersikukuh. Kita tunggu saja apakah dia berhasil?"
"Padahal kau juga bisa melakukannya sendiri, Gray."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow of the Wound (Completed ✔️)
RomanceGray, seorang pria kejam yang berusaha menjebak Abigail dalam penjara yang ia buat. Sementara Abigail, seorang gadis lugu yang tidak pernah menyadari, bahwa dirinya telah masuk dalam perangkap Gray. .... Grayson Moore, seorang arsitek berdarah Inggr...